Narudin ini suka mengingatkan saya pada Nuruddin. Bedanya terasa tipis namun tebal. Dalam Quran, Nar itu seringkali diartikan sebagai neraka, sedangkan Nur diartikan sebagai pelita: litukhrijannasa minaddulumati ilannuur: membawa manusia dari kegelapan pada cahaya.
Oleh : Doddi Ahmad Fauji
JERNIH– Dengan mengucapkan terima kasih kepada para cendikiawan terdahulu, yang membuat bangsa kita seperti sekarang ini, baik dan buruk adalah bangsa sendiri, maka saya mulai pidato kenegaraan ini.
Untuk ketiga kalinya saya menulis tentang Narudin Pituin (Narpit). Ketiga tulisan ini saya buat, guna meluruskan pendapat yang terbaca tak masuk akal, alis ngawur, namun beredar di ranah publik, baik melalui sosmed maupun blog atau web. Saya memandang perlu men-counter pendapatnya itu, karena bisa menjadi waham yang dianut banyak umat.
Dia tak pernah mengeritik saya, namun tulisannya, baik yang berupa kritik terhadap orang lain, ataupun sunjang-sanjung karena Narpit diberi uang, akan beredar sebagai wacana di ranah publik, yang bisa menjadi waham itu.
Tulisan pertama saya turunkan, karena Narpit sering menjepit pihak lain dengan dalih kritik. Sutardji Calzoum Bachri dan Maman S. Mahayana ditanduk, sastrawan Haikuku dan sastrawan Sunda diseruduk, dll. Ia menurunkan kritik, mengikuti adagium dari Tiongkok: Bila Anda anak kemarin sore, ingin dikenal dalam dunia per-kungfu-an, tantanglah para suhu. Jika Anda kalah, Anda tetap akan dikenal hebat.
Adagium itu dijalankan oleh Narpit, dan sialnya, dua orang doktor dari PTN berbeda di Bandung, tampak mangut-mangut mengiyakan Narpit.
Dua doktor tersebut memang bukan suhu. Namun seperti SCB atau Maman tak akan terpancing. Waktu ketemu pada 2016 di Depok saat saya diundang Dato Asrizal Nur, saya ketamu Maman, dan ia bilang, kalau saya ladeni, ya akan tambah besar kepala dia.
Tulisan kedua, ketika Narpit bermaksud memberikan sunjang-sanjung atas novel “Sang Tokoh” karya Kyai Wina Armada Sukardi. Tulisan sunjang-sanjung dari Narpit itu, setelah saya cerna, isinya tidak tepat. Misalnya melabeli novel Sang Tokoh dengan istilah novel bertendensi. Saya memandang perlu membantah, karena novel tersebut diterbitkan oleh SituSeni, dan saya membaca bahkan mengedit-koreksi logika dalam novel.
Novel “Sang Tokoh” bukan novel bertendensi, yang menurut Narpit, sama dengan novel “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Saya menduga, Narpit tidak membaca tuntas novel, dan ia mengambil cuplikan-cuplikan yang dianggap penting menurutnya. Gaya tulisannya pun terasa kering, dan tak menyentuh substansi isi novel.
Memang banyak yang mengaku kritikus, memetakan sebuah karya dengan meminjam teori kritik dari Barat. Ia bercerita tentang teori itu, kemudian mencontohkan aplikasinya dalam menilai karya. Metode seperti itu saya rasa tidak tepat. Kenapa?
Begini, teori dari Barat itu, lahir dari analisis terhadap karya yang muncul di sana, di Barat, lalu dipinjam oleh para kritikus kita untuk mengkaji objek (karya) yang dihasilkan sastrawan kita. Maka tentu akan banyak janggalnya, sebab secara linguistik, terdapat perbedaan frase, sintaksis, dan wacana dalam karya sastra di Barat dengan yang ada di kita.
Analoginya begini: Teori Barat saya ibaratkan seperti garpu dan pisau yang digunakan untuk merecah steak, dibawa ke Indonesia, digunakan untuk merecah serabi atau ulen (penganan dari nasi ketan yang ditumbuk—red Jernih). Jelaslah janggal, walau memang tampak keren.
Sebaiknya para kritikus kita, menciptakan teori sendiri yang diberangkatkan dari penelitian karya yang beredar di kita. Bukankah teori itu lahir dari hasil penelitian terhadap objek yang diteliti? Dan bukan meminjam teori dari luar untuk mengkaji objek yang ada di sini. Bila itu yang dilakukan, memang Anda akan terlihat keren, karena orang sulit paham dengan bahasan Anda. Terhadap tulisan yang orang sulit paham, dalam hati saya suka ngagerentes: hadeuh dasar inlander! Kuat terasa rasa minder di sana.
Tulisan ketiga, adalah tulisan yang ini, yang berkaitan dengan penggunaan AI (artificial intelligen) sebagai alat bantu dalam mencipta karya kreatif, utamanya tulisan. Saya harus meng-counter ucapan Narpit karena bisa menjadi waham itu.
Narpit diwawancara oleh penyair cum jurnalis senior, Pulo Lasman Simanjuntak. Pertanyaan dari pewawancara, terlihat indikasi bahwa ia anti AI. Ia meminjam seseorang yang dikira-kira atau dirasa bakal satu pendapat, untuk menyatakan pendapat ke khalayak ramai. Hal begini, biasa dilakukan para wartawan, terkadang atas suruhan redaktur bahkan pemred. Sialnya, Pulo Lasman mewawancarai orang kusut dalam berpikir yang telah menularkan waham atau pendapat ngawur yang tidak logis itu, maka muncullah pernyataan yang serampangan, misalnya mengatakan seperti ini:
- “Orang berakal sehat tentu tak menolak teknologi, tetapi menulis puisi atau karya seni lainnya ‘haram’ dengan AI.”
Komentar dari saya: Apakah Anda pernah menggunakan google search engine? Sejak kapan? Perlu dicatat, bahwa telusur google itu sejak kemunculannya telah menggunakan AI, tapi tentu AI generasi rekiplik. Sekarang, google search engine tentu makin canggih, berkat pencanggihan AI. Jika Anda menulis dan memanfaatkan google search, maka Anda haram, loh.
Saya mengontak Kyai Riri Satria yang pakarnya di bidang AI, memintanya menjadi narasumber tentang manfaat dan madhorot AI di hadapan para guru Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat YKPPJB. Riri menuturkan sejarah AI, yang proyek penelitiannya dimulai tahun 1958 oleh IBM. Penelitian ini ditertawakan banyak kalangan termasuk oleh para pecatur dunia.
Namun pada 1997, Riri menambahkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mesin berhasil mengalahkan pecatur top dunia dalam sebuah pertandingan catur. Saat itu supercomputer IBM Deep Blue, berhasil mengalahkan juara catur dunia, Gary Kasparov, dalam sebuah pertarungan legendaris di New York yang berlangsung dalam beberapa putaran.
Itu tahun 1997 ya, sekarang 2025, sudah lebih dari dua dekade. Bisa kita rasakan betapa canggihnya perkembangan teknologi.
- “Justru membuktikan tanpa AI puisi-puisi penyair besar tercipta, ” kata Narudin Pituin yang juga dikenal sebagai ahli semiotika.
Komentar saya: Perlu diingat bahwa puisi-puisi penyair besar tercipta itu kan masa lalu, ketika AI generasi terkini yang sedang booming itu memang belum ada. Kita lihat 10 tahun yang akan datang, bisa jadi puisi-puisi mencengangkan lahir dari penyair-penyair besar setelah mereka bersentuhan dengan AI sebagai alat bantu. Ingat, alat bantu ya!
Riri menegaskan, AI itu buatan manusia. Adalah bodoh dan menzalimi diri jika manusia tunduk pada AI. Artinya, kecerdasan manusia tetap tidak akan tertandingi, meskipun dalam film Bicentennial Man (1999) yang dibintangi Robin William, ternyata humanoid bisa mengalahkan manusia, sebab si robot cerdas itu, bahkan bisa merevolusi dirinya dari robot menjadi manusia beneran yang bisa kentut dan bercinta pada usianya yang ke-200.
- Di masa depan baik Gen Alpha maupun Gen Z akan mencoba AI untuk menulis karya sastra (terutama puisi). Namun, itu hanya akan dilakukan oleh Gen Alpha dan Gen Z yang bukan penulis serius. Hanya penulis sekadar, yang dapat disebut “penulis naluri” alias penulis dengan dorongan nafsu binatang belaka, bukan atas nama intelektualitas tinggi atau pertimbangan akal sehat.
Komentar saya: Kok baru mencoba-coba di masa depan sih? Di masa kini pun, semua manusia dari berbagai negerasi sudah mencoba AI, bukan hanya untuk menulis, tapi juga untuk ekspresi di bidang lain, macam lukisan, logo, musikalisasi puisi seperti dilakukan panembahan Herry Dim, dll.
Dari pernyataan ketiga itu, makin terlihat Narpit asal ucap, dan pewawancara tampaknya tidak mengetahui perkembangan penggunaan AI di tengah publik.
Memang penulis generasi yang sekarang usianya di atas 70 tahunan, cenderung jumud memandang perkembangan. Mereka selalu bernostalgia ke belakang, seakan nilai terbaik berada di masa lalu. Mereka tidak memandang ke depan, yang akan lebih gila lagi dengan aneka penemuan. Repot juga jika sudah seperti itu. Sebaiknya memang jangan menggunakan sosmed dan teknologi, supaya tidak menggerutu dan ngedumel melulu. Mohon baca dah puisi “Sang Anak” karya Kahlil Gibran, semoga meraih aufklarung, dan tercerahkan seperti Sang Budha!
Wawancara itu dikirim oleh Laman ke grup PPP yang sedang mengadakan Lomba Cipta Puisi Piala Kebangsaan dengan tema Pagar Laut, yang dalam salah satu S&K nya membolehkan peserta menggunakan AI sebagai alat bantu, terutama misalnya untuk riset. Memang Lomba ini menganjurkan para penyair melakukan riset mendalam terkait tema besar Pagar Laut itu, supaya puisi yang muncul bukan asal ucap, seperti mencret, kalau dalam istilah Rendra.
Puisi itu karya filsafat. Siapa pun menulis puisi, bermaksud menyodorkan kebenaran dalam amanatnya, meski kebenaran versi manusia sifatnya adalah alternatif. Kebenaran absolut hanya milik kebenaran itu sendiri. Jika kebenaran versi manusia bisa menyamai kebenaran absulut, itu hanya api Tuhan dalam batinnya menyala.
Nah, mereka yang masih menggerutu, ngedumel, menyebarkan waham seperti Narpituisme, rasa-rasanya itu adalah kaum jumud yang terhijab untuk mendapatkan Nur Jatnika dari Hyang Tunggal, nan Widi Wassa.
Karena puisi karya filsafat, maka seorang penyair serius akan melakukan riset tanpa diperintah. Nah, berkah dari AI ini adalah mempermudah riset.
Pulo Lasman mengirimkan tulisan itu ke PPP, yang berkali-kali diumumkan di PPP, postingan di luar konteks lomba akan langsung dihapus. Tapi tampaknya Lasman tak membaca pengumuman, sehingga mengirimkan tulisan pendapat Narpit itu. Sangat meng-syedihkan kalau kata Kyai Aris Kurniawan, masyarakat sastra kok tak gemar membaca bahkan untuk pengumuman yang simpel seperti itu.
***
Narpit, DJA dan Ndoboisme
Nah ini, dua manusia yang berjalan di jalur sama namun bedanya seperti langit dan bumi. Yang satu meminta, yang satu menabur di jalur serupa, yaitu ndobos.
Narpit mengeritik DJA begitu sengit. Lalu dikasihlah receh oleh DJA, maka berbaliklah Narpit begitu menyunjang-nyanjung DJA. Hingga dua kali, it’s oke-lah dikasih. Minta yang ketiga, ya ditabok. Maka baliklah Narpit mengeritik lagi DJA. Lucu kan?
Jadi, saya menempatkan Narpit sebagai pelawak. Namun narpituisme-nya itu bisa menjadi bahaya latin yang harus ditangkal dengan Betadine.
Sialnya, dia itu orang Subang, sama dengan Kyai Noorca Massardi and brother, atau Kyai Hawe Setiawan. Saya juga lahir di Subang, tapi dari TK besar di Bandung. Saya mau bilang, orang Subang yang seperti Narpit, ya hanya Narpit. Betul kan, Pak Kin Sanubary?
Sial kedua, dia juga lulusan UPI, beda jurusan dan angkatan dengan saya. Dan untungnya, dia tak masuk ke grup ASAS yang lulusannya antara lain: Ujianto Sadewa, Willy Fahmy Agiska, Faisal Syahreza, Edwar Maulana, Wida Waridah, dll.
Berdasarkan informasi dari Taufiq Rahman Nawawi, Narpit pernah menghebohkan fakultas FPBS, karena dia membawa selebaran, dan mengatakan ia menerima undangan baca puisi dari panitia festival di Amerika serikat. Informasi ini dibawa ke Fakultas, hingga membuat Pembantu Dekan Urusan Mahasiswa terkagum-kagum.
Begitu diperiksa, ternyata itu hanya brosur yang disebar bebas, atau dikirimkan ke orang-orang tertentu melalui email. Tapi untuk berangkat ke sana, penerima brosur harus mengadakan uang sendiri untuk transportasi, akomodasi, termasuk konsumsi sampingan. Jelas dong PD Urusan Mahasiswa tak mau mendanai Narpit.
Dalam hal terima brosur ini, sama juga dengan DJA, mengumumkan sastrawan Indonesia yang menerima undangan meraih Nobel dari Panitia adalah DJA, padahal cuma brosur yang bisa diunduh oleh siapa pun. Euh, ini mah ndobos kan?
Kaum Ndobos ini sering berkata seperti ini, menurut Dobosky… terkesan nama intelektual dari Rusia. Begitu dicari lewat mesin terlusur nama Dobosky sebagai pakar sastra misalnya, ternyata tidak ada. Begitulah kaum Ndobos seperti Narpit atau DJA, yang sedikit-sedikit dalam tulisannya mengatakan, menurut Dobosky, semiotik adalah tai kucing rasa coklat.
Nah, Ndobosime adalah waham yang harus kita tangkal, kan?
Hal ketiga yang bikin sial, waham Narpit ini telah memakan banyak korban, termasuk doktor dari Mbandung yang nganu, yang kini telah menjadi profesor itu, yang mengagumi Narpit. Meng-syedihkan bukan Kyai Shiny Ane El’poesya?
Narudin ini suka mengingatkan saya pada Nuruddin. Bedanya terasa tipis namun tebal. Dalam Quran, Nar itu seringkali diartikan sebagai neraka, sedangkan Nur diartikan sebagai pelita: litukhrijannasa minaddulumati ilannuur: membawa manusia dari kegelapan pada cahaya.
Narudin itu orang yang santun, tapi akalnya goblok. Nuruddin itu orangnya goblok, tapi akalnya santun. Dua entitas yang dapat menjadi tesis-antitesis.
Saya selalu percaya, bahwa manusia adalah tempat perubahan, namun jangan sampai berubah ke arah yang suul khotimah (buruk di akhir). Kita mesti husnul khotimah, supaya masuk sorga. Meureun sih!
Jadi wahey Narpit, berhentilah mendakwahkan waham Ndobosime ya. Sebagai kaka tingkat (anjrit teh aing euy kudu nerima kenyataan), kau masih muda, masih terbentang jalan untuk bertaubat. Berhentilah menjadi pedagang obat yang menggunakan strategi jitak, lalu ditawarkan obatnya. Berhentilah menjadi pembuat virus, lalu mendagangkan anti-virusnya.
Tulisan ini bermaksud mewartakan kepada berbagai kalangan, terutama kepada kaum jumud terhadap AI, bahwasannya menangkis waham buruk itu tergolong jihad dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahil munkar. Cag! []
*Solilokui adalah ruang opini. Pendapat penulis tak harus sejalan dengan garis kebijakan dan pemahaman redaksi Jernih.co