“Ngitung Lembur, Ngajajah Milang Kori” Jadi Trend Wisata Alam
Sayang, pada awal masa reformasi, Mei 1998, keutuhan hutan Gunung Kareumbi dan Gunung Masigit, dirusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Diranjah, dijarah. Pepohonan dibabat habis. Rusa-rusa serta fauna lainnya, diburu, hingga lenyap tak bersisa.
Oleh Usep Romli H.M.
“Ngitung lembur, ngajajah milang kori” adalah ungkapan terkenal ciptaan bujangga Sunda abad 19, Raden Haji Muhammad Musa (1822-1886), dalam wawacan “Panji Wulung” (1871).
Kalimat dalam “pupuh Pangkur” itu, berarti menjelajah pekampungan, melewati gapura-gapura batas kota. Menggambarkan kisah seseorang yang sedang mencari pengalaman hidup dengan mengembara ke mana-mana.
Tradisi “ngitung lembur, ngajajah milang kori”, sekarang sedang nge-trend lagi. Mungkin dalam istilah-istilah lain yang lebih “gaul”. Seperti lintas alam, kemping, menikmati lingkungan pedesaan. “A’la campaigne” kata orang Prancis metropolis.
Salah satu jalur wisata alam yang cukup ramai, untuk “ngitung lembur ngajajah milang kori” selama dua dasa warsa terakhir, antara lain Cicalengka, Kabupaten Bandung, ke arah Curug Sindulang, terus ke Cimulu, Desa Pangeureunan, Kecamatan Balubur Limbangan, Garut. Atau sebelum Curug Sindulang, belok kanan menuju arah Kubang, ke Pangeureunan, Cipeujeuh, hingga kota Kecamatan Balubur Limbangan.
Jalan yang ditempuh relatif bagus. Walau sering digunakan sebagai jalur “offroad”, baik roda empat maupun roda dua. Panorama di sepanjang jalan dan di lokasi, memang indah. Berada di lembah Gunung Kareumbi dan Gunung Masigit. Pada tahun 1970-an, Gunung Kareumbi dan Gunung Masigit dijadikan areal penangkaran rusa oleh Letjen Ibrahim Adjie, mantan Pangdam (VI) Siliwangi (1960-1966) dan Dubes RI di Yugoslavia(1966-1974).
Sayang, pada awal masa reformasi, Mei 1998, keutuhan hutan Gunung Kareumbi dan Gunung Masigit, dirusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Diranjah, dijarah. Pepohonan dibabat habis. Rusa-rusa serta fauna lainnya, diburu, hingga lenyap tak bersisa.
Kini kedua hutan tutupan (cagar alam) itu sedang direhabilitasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dengan melibatkan para pecinta alam yang dimotori Wanadri, Walhi, dll. Para wisatawan yang berkunjung ke Curug Sindulang juga, suka disarankan menanam satu dua pohon di tempat-tempat yang tersedia sepanjang aliran Sungai Citarik.
Dari Sindangwangi, beberapa ratus meter sebelum Curug Sindulang, belok ke kanan menuju arah Kubang. Sepanjang perjalanan, terhampar ladang-ladang subur. Penghasil aneka macam sayuran, bunga-bungaan, dan tanaman lain yang bernilai jual cukup bagus.
Di pinggir-pinggir pekampungan, sudah banyak tanah dikapling-kapling luas. Mung-kin untuk lahan villa peristirahatan. Cocok sekali, karena di samping ada peman-dangan indah, hawa sejuk, juga telah tersedia infrastruktur memadai, seperti jalan dan listrik. Mungkin dua tiga tahun mendatang , kawasan ini akan mirip Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Di Desa Pangeureunan, Kecamatan Balubur Limbangan, tepatnya di Kampung Poronggol, terdapat makam bersejarah yang banyak diziarahi. Yaitu makam Sunan Rumenggong, leluhur para “Dalem” atau bupati Kabupaten Limbangan, hingga awal abad 19, sebelum menjelma menjadi Kabupaten Garut, 16 Pebruari 1813.
Di Desa Cipeujeuh, terdapat industri rumah tangga kuliner “Opak Cipeujeuh”. Terkenal sejak abad 17, karena merupakan makanan khusus untuk “seba” (persembahan) kepada Kangjeng Dalem. Salah seorang Dalem Limbangan, Wangsadita I (1726-1740), merasa “kalandep” (berselera) oleh “Opak Cipeujeuh” yang gurih renyah. Sehingga ia berpesan, agar opak tersebut terus dibuat dan mutu cita rasanya dipertahankan.
Karena itu, opak Cipeujeuh mampu bertahan hingga sekarang. Menjadi salah satu cendera mata dalam “ngitung lembur ngajajah milang kori” di kawasan Kareumbi- Masigit. Melengkapi sayur-sayuran segar yang dapat diperoleh sepanjang perjalanan. [ ]