
Beliau cerita tentang situasi geopolitik dunia, isu-isu Palestina dan tentu politik pangan dunia. Saya hitung, lebih dari lima kali saya bertemu dengan beliau dalam pertemuan selepas shalat Jum’at. Selalu diskusi, meskipun tidak lama, antara 3-10 menit saja. Biasanya membahas hal-hal terkait politik pangan yang diakhiri dengan pertanyaan : apakah sanggup di tahun 2050 dunia ini menyediakan pangan untuk sembilan miliar penduduknya?
Oleh : Kurnia Fajar
JERNIH– Pertengahan Mei 2018 selepas shalat Ashar, handphone saya mendadak berdering dari nomor tidak dikenal. Sebagai mantan sales saya tidak pernah absen angkat telepon meskipun dari nomor tak dikenal.
Suara berat terdengar dari si penelepon, setelah menjawab salam saya baru mengenali bahwa itu adalah senior saya di sebuah organisasi. Saya diminta bergegas pergi ke sebuah hotel di pusat kota Bandung. Sekitar 30 menit berikutnya saya sudah duduk di sebuah kafe bersama dua kawan lainnya. Ternyata agenda siang itu adalah brainstorming dengan Bapak Suripto, seoramg tokoh nasional yang sudah saya sering dengar namanya, sudah saya ketahui juga reputasinya.
Sebenarnya, tahun 2012 saya sudah pernah bertemu beliau, namun dalam sebuah acara publik sehingga tidak bisa diskusi secara intensif dan mendalam. Sore ini saya berkesempatan bicara lebih dalam dengan beliau. Saya ulurkan tangan dan berkenalan, “Saya Kurfa, Pak.”
Diskusi ringan berlangsung dan kedua kawan saya ini memanggil beliau dengan sebutan “Om Ripto”. Agar tidak canggung, saya ikut-ikutan memanggil beliau dengan sebutan Om. Padahal usia beliau di atas usia ayah saya. Seharusnya saya memanggil beliau Pakdhe.
Ketika pembicaraan makin serius, beliau menatap saya, “Kamu tahu, politik pangan, Kurfa?” Saya menggeleng. Beliau meminta saya untuk membaca buku yang judulnya “Berebut Makan (Politik Baru Pangan)”, karya Paul Mc Mahon, seorang pakar kebijakan pangan yang pernah bekerja di FAO. Buku yang menyajikan analisis menyeluruh tentang mengapa sistem pangan dunia mengalami krisis dan bagaimana politik global turut menentukan siapa yang kenyang dan siapa yang kelaparan.
Kemudian Om Ripto melanjutkan, “Kamu harus membaca buku itu sampai tuntas. Buatlah sebuah gagasan agar kita bisa menjadi pemain dan bertarung dalam percaturan pangan dalam skala dunia.”
Saya mencatat dan mengangguk-angguk, mendengarkan arahan beliau. Lalu diskusi dilanjutkan dengan penjelasan-penjelasan teknis atas pekerjaan yang akan kami lakukan. Sepanjang diskusi saya berkali-kali kagum atas pilihan-pilhan metode, dan tata bahasa yang digunakan.
Setelah pertemuan usai, kami bekerja, dan beberapa bulan berikutnya kami kembali untuk melakukan evaluasi. Setelah itu saya mencari dan membaca buku yang beliau suruh. Setelah selesai membaca, hati saya bergidik, sekaligus tertantang, bahwa saya dan juga Indonesia harus ikut serta dalam skenario politik pangan dunia.
Saya mengerti mengapa beliau meminta saya membaca buku tersebut. Saya merasa tersanjung, karena menurut beliau masih sangat sedikit politisi di Indonesia yang memiliki kesadaran hakiki kondisi pangan Indonesia hari ini. Sistem pangan global kita yang memiskinkan dan melaparkan seperdelapan umat manusia ini, di sisi lain memanjakan lebih banyak orang sampai menderita obesitas. Persoalannya tak melulu teknologi, melainkan satu kebijakan ke kebijakan lainnya.
September 2022 saya hijrah ke Jakarta dan sering berkegiatan di lingkungan Kementerian Pertanian, sehingga akhirnya saya “berlangganan” shalat Jumat di dalam kompleks perkantoran Kementan. Takdir akhirnya mempertemukan saya dengan Om Ripto kembali. Selepas shalat Jumat saya sapa beliau, dan hebatnya, beliau masih mengenali saya.
Beliau cerita tentang situasi geopolitik dunia, isu-isu Palestina dan tentu politik pangan dunia. Saya hitung, lebih dari lima kali saya bertemu dengan beliau dalam pertemuan selepas shalat Jum’at. Selalu diskusi, meskipun tidak lama, antara 3-10 menit saja. Biasanya membahas hal-hal terkait politik pangan yang diakhiri dengan pertanyaan : apakah sanggup di tahun 2050 dunia ini menyediakan pangan untuk sembilan miliar penduduknya?
Setelah saya kembali ke Bandung saya tidak pernah bertemu lagi dengan beliau. Saya hanya mengetahui dari video dan artikel-artikel tentang kepedulian beliau terhadap Palestina. Dalam jalan perjuangan membela Palestina, bangsa Indonesia memiliki banyak tokohnya. Ada yang mungkin sering muncul di layar. Ada yang masyhur di panggung-panggung. Tapi pasti selalu ada “tangan-tangan dingin” yang ada di balik layar. Nah beliau ini salah satunya.
Kalimat beliau masuk begitu menghujam di hati, “Saya sudah sering menyaksikan bangsa Palestina teraniaya, terusir dan terbunuh. Maka saya tak ingin turut menyaksikan kehancuran Al-Aqsha. Selagi saya hidup, Al-Aqsha harus tetap berdiri, dan bangsa Palestina harus terbebaskan.” Ucapan Om Ripto tersebut kadang membuat saya malu tidak sehebat beliau membela Palestina.
Jam 14.00 siang beberapa hari lalu, Whatsapp Group berbunyi, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa’fuanhu”. Turut berduka cita atas wafatnya sosok seorang guru Alm. Bpk H. Suripto, SH. Kemudian disertai caption tambahan sebagai Tokoh Intelijen dan Pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hari itu beliau berpulang.
Meski hanya mengenal beliau sesaat, namun saya banyak mendapatkan insight dari obrolan-obrolan dengan beliau. Beliau memberikan booster semangat, menancapkan misi dan cita-cita saya untuk berkontribusi dalam politik pangan dunia. Selamat jalan Om Ripto! Ya Allah ampunilah dia, berilah rahmat dan sejahtera dan maafkanlah dia… [ ]






