Solilokui

Operator Telco vs OTT: Pertarungan yang Mengubah Lanskap Industri Telekomunikasi

OTT mengubah nilai ekonomi industri telekomunikasi: mereka memonetisasi perhatian dan data sedangkan operator masih mengandalkan penjualan kapasitas.

JERNIH – Industri telekomunikasi Indonesia sedang mengalami perubahan mendasar. Jika dulu operator seluler seperti Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison, dan XL Axiata menjadi “raja” mutlak komunikasi dan data, kini posisi mereka terancam oleh gelombang besar pemain Over The Top (OTT) seperti WhatsApp, Instagram, TikTok, Netflix, dan YouTube. Para OTT ini bukan sekadar memanfaatkan infrastruktur operator, tetapi juga memonetisasi pengguna dengan nilai yang jauh lebih besar dibanding pendapatan yang diterima operator dari layanan data.

Hal ini lah yang menimbulkan reaksi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengusulkan penggunaan tarif premium untuk layanan Voice over Internet Protocol (VoIP) maupun video call pada OTT seperti WhatsApp. Jika itu terjadi maka Anda harus membayar lebih untuk kedua layanan di atas, alias tidak berlaku gratis sebagaimana sekarang.

Di beberapa negara seperti UEA dan Arab Saudi sudah memberlakukan hal ini. Tentu saja di sisi industri dalam hal ini operator telco yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) senang. Dengan begitu operator akan memperoleh pendapatan baru dari model bisnis tersebut.

BIANG PENGGERUS PENDAPATAN

OTT disebut-sebut sebagai biang yang menggerus pendapatan operator. Gampangnya, operator sudah capek-capek membangun berbagai infrastruktur yang mahal dan padat modal, OTT dengan gampang dan begitu saja memanfaatkan. Dus, mereka memperoleh laba yang lebih besar pula. Biaya operasional mereka rendah sementara margin keuntungannya tinggi.

Operator-operator besar di Indonesia masih menghasilkan puluhan triliun rupiah per tahun (Telkom group tercatat sekitar Rp 150 triliun pada 2024; Indosat Rp 55,9 triliun; XL Axiata melaporkan Rp 34,4 triliun), tetapi pertumbuhan margin dan sumber pendapatannya stagnan karena sebagian besar nilai tambah berpindah ke layanan OTT (platform pesan, video, media sosial, e-commerce, dan iklan digital). Sementara itu, pasar iklan digital di Indonesia terus tumbuh — yang menjadi lahan subur bagi OTT untuk memonetisasi pengguna jauh melebihi model pendapatan tradisional telco.

OTT tidak perlu membangun menara BTS, membayar lisensi spektrum, atau mengurus perawatan jaringan. Mereka cukup menyediakan aplikasi dan layanan berbasis internet, sementara seluruh beban investasi infrastruktur ditanggung operator telco. Aplikasi seperti WhatsApp dan TikTok bersifat lintas negara. Sekali dikembangkan, mereka dapat diakses miliaran orang. Semakin banyak pengguna, semakin besar nilai platform—terutama bagi pengiklan.

OTT mengandalkan monetisasi melalui iklan berbasis data, in-app purchase, dan langganan premium. Dengan analisis perilaku pengguna, iklan menjadi lebih tepat sasaran dan bernilai tinggi—sesuatu yang sulit dilakukan operator telco secara langsung.

Bahkan OTT bisa meluncurkan fitur baru secara cepat melalui pembaruan aplikasi. Operator telco, yang terikat regulasi ketat, sering kali lambat mengadopsi model bisnis atau teknologi baru.

SUMBER PENDAPATAN OTT

OTT mengumpulkan metrik penggunaan dan perilaku yang detail (durasi, konten populer, klik, demografi) dan menjual inventori iklan yang bernilai tinggi. Di pasar yang iklan digitalnya tumbuh pesat, pemilik platform iklan (OTT) meraih margin lebih baik daripada penjual “kuota” data. Mereka memonetisasi perhatian dan data.

Sekali platform OTT sukses, biaya marginal untuk menambah pengguna hampir nol. Bandingkan dengan telco yang terus membayar CAPEX (spektrum, menara, pemeliharaan) dan membuat leverage keuntungan OTT jauh lebih tinggi.

Dari sisi peran konten, OTT juga mendominasi konsumsi konten (video singkat, streaming, sosmed) sehingga kontrol pada funnel iklan dan transaksi di dalam aplikasi mendorong ARPU (average revenue per user) yang lebih tinggi dibanding penjualan paket data murni. Pertumbuhan iklan digital di Indonesia menjadi bukti langsungnya.

KELEMAHAN OPERATOR

Operator telco kalah dan dalam kekalahannya itu lambat sekali melakukan antisipasi. Selama bertahun-tahun, operator telco melihat kekuatan mereka ada di jaringan. Mereka berinvestasi besar-besaran pada coverage dan kapasitas, tetapi kurang agresif dalam membangun layanan digital yang kompetitif.

Dalam hal model bisnis, operator terjebak di tarif data. Mereka masih mengandalkan paket kuota sebagai sumber utama pendapatan. Sementara itu, OTT justru mengubah data menjadi bahan bakar untuk bisnis konten dan periklanan.

Struktur organisasi, KPI, dan anggaran biasanya berpusat pada ketersediaan jaringan (coverage, kapasitas) dan bukan pada produkt manajemen digital, growth hacking, atau monetisasi iklan. Ini menimbulkan inertia inovasi. Hal itu dapat dilihat dari pertumbuhan pendapatan telco yang relatif konservatif.

Ditambah lagi pemerintah lambat berekasi terutama soal regulasi. Operator telco dibebani pajak, biaya lisensi, dan kewajiban layanan universal, sedangkan OTT global beroperasi tanpa beban regulasi lokal yang setara.

Di China, pemerintah mengambil langkah tegas. Sejumlah OTT luar negeri di-stop. Sebagai gantinya China membuat sendiri aplikasi sejenis yang bahkan dalam waktu singkat berubah menjadi OTT dalam negeri. Sedang di banyak negara termasuk Indonesia, Upaya menghadirkan layanan OTT lokal (misalnya aplikasi chat buatan operator) sering gagal bersaing karena miskin fitur, minim inovasi, dan kurangnya promosi masif.

Dengan potret seperti ini, suka tidak suka, mau tak mau, operator telco Indonesia mesti berbenah. Tidak cukup hanya berinovasi dan mengubah diri menjadi perusahaan digital telkomunikasi (telco digital company). Di sisi lain juga tidak boleh mengganggu kenyamanan pengguna individu yang selama ini sudah merasakan kenyamanan atas layanan dan tarif.

Masih ada potensi baik pada pasar B2B juga skema tarif premium baru dalam konteks Quality of Service. Kalau masuk ke ranah ini, kerjasama dengan OTT amat penting, bahkan memicu OTT untuk meningkatkan standar kualitas layanan dan konten.(*)

BACA JUGA: Pemikiran GREAT Institute untuk Transformasi Digital Nasional

Back to top button