SolilokuiVeritas

Pajak dan Kepercayaan

Di Indonesia kontrak sosial ini sering dikhianati. Kasus korupsi berjamaah, pejabat memamerkan gaya hidup mewah, hingga anggaran negara yang bocor dan salah kelola, semua itu membunuh kepercayaan. Masyarakat bertanya-tanya: “Untuk apa membayar pajak lebih banyak, bila akhirnya dikorupsi atau dipakai membiayai proyek yang tidak berguna?”

Oleh     :  Radhar Tribaskoro*

JERNIH–Di Pati, Bone, dan Cirebon, rakyat turun ke jalan hanya karena satu hal: pajak. Mereka bukan menolak negara, melainkan menolak merasa ditipu. Kenaikan PBB memang jadi pemantik, tapi bara sebenarnya ada di tempat lain: defisit kepercayaan. Lebih dari dua dekade setelah Reformasi, tax ratio Indonesia tetap mandek di angka 10–11 persen PDB. Pertanyaannya: apakah rakyat yang keras kepala, atau negara yang kehilangan legitimasi?

Gelombang protes ini menyingkap kenyataan yang lebih dalam: bahwa pajak di Indonesia telah berubah dari simbol kontrak sosial menjadi sumber kecurigaan. Setiap kali pemerintah berusaha memperlebar penerimaan—entah dengan menaikkan tarif, memperkenalkan pajak baru, atau sekadar mengoptimalkan pungutan yang ada—resonansinya bukan dukungan, melainkan perlawanan. Dari jalan-jalan desa hingga ruang-ruang diskusi kota, nada yang terdengar serupa: rakyat merasa tidak diwakili, tidak dilayani, dan akhirnya tidak percaya.

Maka pertanyaan yang muncul tak bisa dielakkan: mengapa rakyat tampak enggan menambah kontribusi pajaknya? Mengapa setiap rencana menaikkan tarif atau menetapkan pajak baru selalu menimbulkan resistensi? Apakah rakyat sungguh tidak peduli bahwa negara sedang kesulitan? Jawabannya lebih dalam: bukan karena rakyat tak peduli, melainkan karena rakyat tidak percaya.

Defisit Kepercayaan: Inti Masalah Pajak

Dalam teori keuangan publik, pajak bukan sekadar kewajiban finansial, melainkan kontrak sosial antara negara dan warganya. Negara berhak menarik sebagian pendapatan rakyat, namun harus menjamin bahwa kontribusi itu kembali dalam bentuk pelayanan dan perlindungan.

Masalahnya, di Indonesia kontrak sosial ini sering dikhianati. Kasus korupsi berjamaah, pejabat memamerkan gaya hidup mewah, hingga anggaran negara yang bocor dan salah kelola, semua itu membunuh kepercayaan. Masyarakat bertanya-tanya: “Untuk apa membayar pajak lebih banyak, bila akhirnya dikorupsi atau dipakai membiayai proyek yang tidak berguna?”

Defisit kepercayaan (trust deficit) inilah yang membuat setiap upaya fiskal menghadapi tembok resistensi. Contohnya: ketika pemerintah hendak menaikkan PPN dari 10 persen ke 12 persen, publik menolak karena menganggap beban jatuh ke rakyat kecil, sementara oligarki bisa menghindar lewat celah hukum. Wacana pajak karbon dan PPN sembako pun ditolak keras, bukan karena masyarakat anti lingkungan atau anti negara, tetapi karena mereka tidak yakin hasil pajak akan digunakan untuk kepentingan bersama.

Kontras dengan Skandinavia

Bandingkan dengan negara-negara Skandinavia—Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia—yang tax ratio-nya mencapai 40–45 persen PDB, hampir empat kali lipat Indonesia. Di sana, rakyat rela menyerahkan hampir setengah pendapatannya kepada negara, dan tidak ada gejolak besar.

Mengapa? Karena mereka percaya. Kita melihat empat faktor yang membentuk kepercayaan itu. Pertama, kepercayaan yang tinggi terhadap institusi. Rakyat yakin pajak kembali dalam bentuk pendidikan gratis, layanan kesehatan universal, transportasi publik murah, dan jaminan sosial yang nyata.

Kedua, distribusi adil. Pajak progresif berjalan efektif; yang kaya membayar proporsi lebih besar, sehingga yang miskin merasa dilindungi, bukan diperas. Ketiga, institusi bersih. Tingkat korupsi rendah, transparansi anggaran terjaga, dan pejabat publik hidup sederhana. Dan, last but not least, kontrak sosial ditegakkan. Masyarakat melihat bukti nyata bahwa negara bekerja untuk kepentingan bersama. Para pejabatnya tidak meminta keistimewaan buat diri dan keluarga, apalagi membangun dinasti.

Dengan demikian, pajak bukan dilihat sebagai beban, melainkan sebagai investasi kolektif untuk kesejahteraan.

Pelajaran dari Jepang dan Amerika

Sekarang coba kita membandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat—dua negara dengan beban utang sangat tinggi. Jepang memiliki utang lebih dari 260 persen PDB, AS sekitar 123 persen PDB. Namun keduanya masih dianggap aman oleh pasar global.

Mengapa? Salah satunya karena kapasitas fiskal mereka jauh lebih besar daripada Indonesia. Tax ratio Jepang mencapai 30 persen PDB, AS sekitar 27 persen. Itu berarti setiap kenaikan beban bunga utang masih bisa ditutup dengan penerimaan negara yang luas.

Indonesia? Dengan tax ratio hanya 10–11 persen PDB, setiap lonjakan suku bunga global atau depresiasi rupiah langsung menggerus APBN. Saat ini bunga utang kita sudah sekitar Rp 500 triliun per tahun, atau 16,6 persen dari penerimaan negara—mendekati batas rawan. Jika tax ratio tidak segera naik, ruang fiskal akan makin sempit.

Namun, mengapa rakyat menolak pajak? Rakyat pada dasarnya patuh, mereka bersedia membayar pajak bila beban hidup ringan. Padahal sebagian besar masyarakat masih bergelut dengan kebutuhan dasar. Tambahan pajak langsung terasa mengurangi daya beli. Kedua, rakyat tidak melihat manfaatnya. Mereka tidak merasakan pajak kembali dalam bentuk pelayanan publik yang nyata. Mereka tetap menghadapi biaya sekolah yang mahal, rumah sakit terbatas, jalan rusak. Pajak terasa hilang tanpa bekas. Lebih dari itu rakyat merasa pajak tidak didistribusikan secara adil. Rakyat kecil merasa lebih mudah dipajaki (lewat PPN, cukai), sementara konglomerat, pejabat, atau korporasi multinasional punya banyak cara untuk menghindar.

Dengan kondisi seperti ini, resistensi bukan soal tidak peduli negara, melainkan soal tidak percaya negara.

Bangun Kepercayaan, Bukan Hanya Naikkan Tarif

Menaikkan tarif PPN, menambah pajak karbon, atau memperluas objek pajak memang bisa memberi penerimaan tambahan dalam jangka pendek. Namun tanpa membangun kepercayaan, itu ibarat menimba air dengan ember bocor.

Apa yang harus dilakukan? Jawaban normatifnya adalah memperluas basis pajak bukan hanya menaikkan tarif. Agar wajib pajak menengah-atas dan korporasi lebih patuh, data kependudukan perlu diintegrasikan dengan transaksi keuangan dan aset. Pajak regresif yang menekan rakyat kecil dikurangi. Selanjutnya, tata kelola dan transparansi diperbaiki. Realisasi pajak dan belanja negara dilaporkan secara jelas dan mudah diakses publik. Rakyat harus melihat hubungan langsung antara pajak yang dibayar dan manfaat yang diterima.

Ketiga, jauhkan pemberantasan korupsi dari sekadar omon-omon. Sudah saatnya pemerintah menerapkan hukuman mati kepada koruptor. Kadang-kadang kita harus berani melakukan shock therapy kepada diri sendiri. Menghukum mati satu orang dapat membangunkan semangat jutaan orang untuk membayar pajak.

Dan terakhir, sediakan pelayanan publik yang terasa oleh rakyat. Pendidikan gratis berkualitas, kesehatan yang merata, dan infrastruktur dasar yang memadai. Begitu rakyat merasakan manfaat konkret, resistensi akan berkurang.

Kesimpulan

Tax ratio Indonesia rendah bukan sekadar masalah teknis, tetapi masalah kepercayaan. Selama rakyat tidak yakin bahwa uang pajak dikelola dengan adil dan efisien, setiap kebijakan fiskal baru akan selalu ditolak.

Sebaliknya, begitu trust tumbuh, bahkan tarif tinggi pun bisa diterima—seperti di Skandinavia. Pajak yang hari ini dilihat sebagai beban, bisa berubah menjadi investasi sosial yang memperkuat kohesi nasional.

Indonesia tidak kekurangan sumber daya pajak, tapi kekurangan legitimasi untuk memungutnya. Oleh karena itu, jalan keluar bukan semata menaikkan tarif, melainkan membangun kembali kontrak sosial yang hilang. [ ]

Cimahi, 23 Agustus 2025

* Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

Back to top button