“Palika”, Jago Menyelam di Lubuk Sungai Besar
Kepada “palika” yang sudah dikenal, ikan-ikan itu terus mendekat. Mulailah aki membelai satu dua tubuh ikan besar. Kemudian mengajak berkata-kata, serta membujuk, mengajak mereka ke luar
Oleh : Usep Romli H.M.
“Palika” adalah gelar bagi seseorang yang pandai menyelam. Masuk ke dalam air hingga berjam-jam. Di tiap kampung atau desa yang dilewati sungai besar, seperti Cimanuk, yang mengalir dari Garut, lewat Sumedang, Majalengka, hingga bermuara di Indramayu, selalu ada satu dua orang “palika”.
Dari seorang mantan palika yang diwawancara Tim Pengumpul Folklore Jawa Barat, dakam ranka Tahun Buku Internasional 1972, yang diselenggarakan UNESCO, diperoleh keterangan. Untuk menjadi seorang “palika” harus dibimbing dan dilatih oleh “palika” senior. Juga harus punya ketahanan pisik prima, keberanian menghadapi risiko terburuk, dan rendah hati. Tugas pokoknya setelah resmi menjadi palika, adalah menolong orang tenggelam, hanyut atau hilang di sungai. Sering berhasil menyelamatkan rang tenggelam atau hanyut, tapi sering pula gagal. Yang bersangkutan meninggal. Bahkan ada yang jasadnya tak ditemukan.
“Seseorang yang sakit-sakitan, kurang bernyali dan besar kepala, tidak layak menjadi palika,“kata Mahmud (67 th), seorang cucu “palika” terkenal di Limbangan, Garut, tahun 1930-1970-an. Ia menuturkan keterangan kakeknya yang wafat tahun 1988. “Ayah saya dan saya sendiri, tidak berhasil menjadi “palika” melanjutkan keahlian kakek karena punya penyakit kambuhan. Ayah menderita asma, yang tak kuat menghadapi cuaca dingin. Apalagi menyelam ke dalam air. Saya suka kaligata (alergi kulit). Kalau kena dingin seluruh badan “gimpa” dan gatal-gatal.”
Tapi Mahmud mampu menjelaskan ke”palika”an kakeknya, karena suka membantu menjaga buhul tali tambang yang mengikat tubuh kakeknya ketika menyelam. Tali tambang itu diikatkan kepada sebatang kayu, pohon bambu atau tonggak yang sengaja dibuat. Ditancapkan kuat-kuat. Buhul tali itu harus dijaga oleh anggota keluarga. Terutama anak, cucu, atau adik kandung. Tidak boleh ditinggalkan barang sejenak pun.
“Takut nanti ada yang berhianat. Memutuskan tali. Membuat “palika” tersesat di dalam lubang “sedong” dan mati di sana,” tutur Mahmud, yang berkali-kali menyaksikan kakeknya menyelam di beberapa lubuk besar Sungai Cimanuk. Termasuk Leuwi Gombong yang legendaris. ”Jika ada orang kota pesan ikan kancra besar, kakek segera menyelam. Menangkap dua tiga ekor. Tentu mendapat imbalan lebih dari lumayan.”
Tentang “sedong”, Mahmud menerangkan, berdasarkan kisah kakeknya. Di tebing-tebing bagian dasar lubuk, biasanya terdapat lubang-lubang mirip gua. Ada yang sebesar pintu rumah, ada yang cuma seukuran badan orang dewasa. Nah, setelah mengikat badan dan memeriksa buhul tali pada pohon sudah kuat serta ditunggui orang kepercayaan, “palika” turun ke lubuk. Lalu menyelam ke arah lubang-lubang gua yang sudah dikenalnya. Masuk ke situ. Dan keluar di sebelah sana. Tempat yang disebut “sedong”, merupakan gua besar, tinggi dan luas. Setengah atau seperempatnya berisi air sesuai dengan ketinggian air lubuk di luar. Di dalam “sedong” itu, berkumpul aneka jenis ikan penghuni Sungai Cimanuk. Dari yang terkecil hingga yang terbesar.
Mata ikan-ikan besar menyala seperti lampu sorot, menembus kegelapan “sedong”. Mereka mendekati “palika” seperti ingin memeriksa siapa yang datang.
“Jika belum dikenal, ikan-ikan itu segera kabur. Menjauh ke seberang. Mungkin masuk lagi ke “sedong” lain di seberang “sedong” itu. Makanya, para “palika” yunior suka didampingi “palika” senior, masuk ke dalam “sedong” dan ”berkenalan” dengan ikan-ikan penghuninya. Kepada “palika” yang sudah dikenal, ikan-ikan itu terus mendekat. Mulailah aki membelai satu dua tubuh ikan besar. Kemudian mengajak berkata-kata, serta membujuk, mengajak mereka ke luar. Agar mau mengorbankan diri untuk ditangkap.
Biasanya ada satu dua ekor ikan yang meluluskan permintaan aki. Lalu bersama-sama ke luar, dan diangkat ke darat. Agar ikan mau takluk, tentu tidak sembarangan. Ada jampi-jampi atau “jangjawokan” yang disebut “pangleumpeuh” (pelemas). Untuk menguasainya, perlu puasa sekian hari sekian malam. Ya, bagian terberat dari proses menempuh pendidikan palika,” ujar Mahmud.
Pada jaman kolonial, ketika Kangjeng Dalem (Bupati) atau Tuan Residen (pejabat Belanda atasan bupati), macangkrama di sungai, para “palika” amat berperan. Mereka menggiring ikan-ikan dari dalam sedong ke tengah lubuk, untuk ditangkap dengan jala. Semakin banyak ikan besar tertangkap, semakin gembira para pembesar itu. Untuk upah para “palika”, cukup sebatang cerutu merek “Karel 2” dan segelas kopi hangat.
Seiring dengan perubahan lingkungan dan penurunan kesadaran manusia dalam menjaga kelestarian alam, keberadaan “sedong” berikut isinya banyak yang musnah. Salah satu di antaranya, akibat bencana letusan Gunung Galunggung, April 1982. Debu dari letusan gununng itu, mendangkalkan sungai-sungai. Maka banyak “sedong” yang tertutup.
Disusul kemarau panjang hingga setahun terus-menerus. Pada waktu datang hujan, aliran air bercampur debu mengandung belerang dan mineral lain, masuk ke sungai-sungai. Membuat ikan-ikan bergelimpangan mati. Termasuk yang ada di dalam “sedong”.
“Kehidupan “palika” pun ikut terputus,”kata Mahmud . [ ]