Solilokui

Pantulan Diri

Setelah  mampu memimpin diri, bolehlah orang mengembangkan harmoni keluar dengan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Pemimpin bukan hanya mengikuti kemauan rakyat, tapi juga mendidik rakyat meraih kematangan pribadi.

Oleh     :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, kesenangan melihat orang lain bersalah atau menutupi kejahatan besar dengan menggunjing kejahatan kecil adalah proyeksi dari cahaya kegelapan di langit jiwa kita sendiri. Dalam warna dasar kegelapan itu, pepohonan tua berbuah hampa; sedang tunas-tunas muda layu sebelum berkembang. Bagai menegakkan batang terendam, setiap percobaan kebangunan, jatuh kembali ke kemunduran.

Yudi Latif

Kita ingin sarapan pagi dengan harapan, tapi tak banyak orang yang menyalakan cahaya jiwa. Bagaimana bisa mengubah dunia, jika tak bisa mengubah diri sendiri? Jalaluddin  Rumi  berkata, “Kemarin  aku  merasa  pintar,  karenanya  aku  ingin mengubah dunia. Sekarang aku lebih bijaksana, maka aku mulai mengubah diriku sendiri.”

Setelah  mampu memimpin diri, bolehlah orang mengembangkan harmoni keluar dengan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Pemimpin bukan hanya mengikuti kemauan rakyat, tapi juga mendidik rakyat meraih kematangan pribadi.

Dalam istilah Bung Karno, pemimpin harus dapat ”mengaktivir kepada perbuatan”: “mengaktivir bangsa yang ia pimpin kepada perbuatan. Kalau cuma menyerukan perbuatan, tetapi dalam kenyataan tak mampu mengaktivir rakyat kepada perbuatan, buat apa bermimpi jadi pemimpin.”

Pengalaman  bangsa-bangsa menunjukkan hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan “modal moral” yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis. Yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual (orang baik), namun terutama kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi  kebajikan perseorangan itu ke dalam mekanisme dan kelembagaan politik yang bisa memengaruhi perilaku publik.

Jika sang “juru selamat” tak kunjung datang, mengapa pemimpin yang ada tak berusaha memperkokoh “modal moral” politiknya?

Tak pernah ada kata terlambat untuk perbaikan dan pertobatan. Bagi para pemimpin yang ada, sebaikya menggemakan do’a St. Francis Asisi: “Tuhanku, jadikan  aku  instrumen  kedamaian-Mu. Tatkala ada  kebencian,  kutaburkan  cinta; tatkala ada luka, maaf; tatkala ada keraguan, keyakinan; tatkala ada keputusasaan, harapan; tatkala ada kegelapan, cahaya; tatkala ada kesedihan, keceriaan.” [dsy]

Back to top button