
Apakah Indonesia sedang menuju model authoritarian developmentalism — pembangunan ekonomi yang efektif di bawah kontrol politik yang kuat? Ironinya, pola ini mungkin justru populer di mata publik. Survei LSI (2024) menunjukkan lebih dari 60 persen responden menilai stabilitas dan pembangunan ekonomi lebih penting daripada kebebasan politik.
Oleh : Perdana Wahyu Santosa*
JERNIH– Banyak kalangan bergunjing bahwa Indonesia sedang mengalami paradoks pembangunan. Mengapa? Karena dalam dua dekade terakhir ini, tercatat indikator kesejahteraan masyarakat — pendidikan, kesehatan, dan daya beli — menunjukkan peningkatan signifikan. Sebuah prestasi tentunya.
Namun di saat yang sama, indikator kebebasan politik dan kualitas demokrasi justru menurun. Fenomena ini tentu menggugah sekurang-nya dua pertanyaan mendasar: mengapa pembangunan manusia bisa meningkat, sementara kualitas demokrasi malah menurun? Apakah kemajuan ekonomi kini berjalan tanpa kebebasan politik?
Dua Tren yang Berlawanan Arah?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia terus naik dalam lima tahun terakhir: dari 72,81 pada 2020 menjadi 75,02 pada 2024. Lonjakan ini mencerminkan perbaikan simultan di tiga dimensi utama IPM: usia harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita. Penduduk Indonesia kini hidup lebih sehat, berpendidikan lebih lama, dan memiliki daya beli yang meningkat.
Namun, laporan tahunan Freedom House memperlihatkan kenyataan berbeda. Skor kebebasan Indonesia justru turun dari 65 (2015) menjadi hanya 56 (2025). Statusnya tetap “Partly Free”, menandakan demokrasi yang berjalan namun tidak sepenuhnya substantif. Dengan skor itu, Indonesia kini sejajar dengan Singapura (48) namun jauh tertinggal dari Jepang (96), Australia (95), dan Amerika Serikat (84).
Dapat dipahami bahwa dalam satu dekade terakhir, masyarakat Indonesia hidup lebih baik tetapi tidak lebih bebas berdemokrasi?. Pembangunan fisik dan sosial tumbuh, namun kebebasan berekspresi, transparansi, dan juga akuntabilitas justru menurun. Di sinilah letak paradoksnya.
Pembangunan Manusia
Pertama-tama, peningkatan IPM memang layak diapresiasi. Dengan angka 75,02 pada 2024, Indonesia kini mendekati kategori “tinggi” dalam klasifikasi global UNDP. Usia harapan hidup meningkat menjadi 73,9 tahun; Rata-rata Lama Sekolah (RLS) mencapai 8,85 tahun; dan Harapan Lama Sekolah (HLS) mencapai 13,21 tahun. Ini artinya, generasi muda Indonesia berpotensi menikmati masa pendidikan lebih panjang daripada generasi sebelumnya.
Kebijakan sosial seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Program Keluarga Harapan (PKH) memainkan peran besar. Pemerintah juga memperluas jaminan kesehatan universal melalui BPJS dan membangun infrastruktur dasar di luar Jawa. Semua ini memperkuat modal manusia, memperluas akses terhadap pendidikan, dan meningkatkan taraf hidup kelompok rentan.
Selain itu, pembangunan ekonomi relatif stabil. Kemiskinan turun dari 11,22 persen (2015) menjadi 8,47 persen (2025). Walau perlambatan terjadi akibat pandemi COVID-19, ketahanan sosial tetap terjaga. Dengan 204 juta pengguna internet (2023), transformasi digital membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat kecil, terutama sektor UMKM digital.
Secara kasat mata, memang Indonesia tampak bergerak ke arah yang benar. Namun sayangnya kemajuan ini belum berbanding lurus dengan kualitas demokrasinya.
Demokrasi Melemah
Laporan penurunan skor demokrasi Indonesia selama satu dekade terakhir menunjukkan pola yang konsisten. Sejak 2015, indeks kebebasan sipil, independensi media, dan supremasi hukum mengalami tekanan siatematis. Laporan Freedom House 2025 mencatat beberapa faktor kunci:
Pertama, penyusutan ruang kebebasan berekspresi. Penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap dianggap membatasi kritik warga terhadap pemerintah atau pejabat publik. Banyak aktivis dan jurnalis menghadapi kriminalisasi karena pendapat di media sosial.
Kedua, dominasi eksekutif dan lemahnya oposisi politik. Koalisi pemerintahan yang terlalu besar mengurangi fungsi pengawasan parlemen. Demokrasi kehilangan daya “gesek” yang justru diperlukan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Dalam sistem yang terlalu terkonsolidasi, efisiensi pemerintahan meningkat, tetapi ruang kritik menyempit.
Ketiga, oligarki ekonomi-politik mempersempit partisipasi warga biasa. Pembangunan infrastruktur besar-besaran memang meningkatkan daya saing nasional, tetapi juga memperkuat pengaruh kelompok modal terhadap kebijakan publik. Akibatnya, partisipasi politik rakyat cenderung formalistik — datang ke TPS, bukan lagi ikut menentukan arah kebijakan.
Pembangunan Tanpa Demokrasi?
Fenomena ini memunculkan diskusi penting di kalangan ekonom dan ilmuwan politik: apakah Indonesia sedang menuju model authoritarian developmentalism — pembangunan ekonomi yang efektif di bawah kontrol politik yang kuat?
Model ini sering diasosiasikan dengan negara seperti Singapura, Viet Nam atau China, di mana negara memegang kendali penuh atas arah pembangunan, sementara kebebasan politik dibatasi demi stabilitas dan efisiensi. Terbukti negara-negara tersebut mengalami kemajuan ekonomi signifikan dan situasi sosial-politik relatif stabil. Dalam konteks Indonesia, gejala serupa mulai terlihat: negara semakin dominan, kebijakan sosial makin terpusat, dan peran masyarakat sipil menurun.
Ironinya, pola ini mungkin justru populer di mata publik. Survei LSI (2024) menunjukkan lebih dari 60 persen responden menilai stabilitas dan pembangunan ekonomi lebih penting daripada kebebasan politik. Maknanya bahwa demokrasi, bagi sebagian besar masyarakat, belum dianggap kebutuhan primer seperti harga pangan, gaji, perumahan atau biaya pendidikan dan kesehatan.
Dalam situasi demikian, negara yang mampu menyediakan kesejahteraan minimal dianggap “cukup baik”, meskipun ruang kebebasan menyempit. Ini menimbulkan dilema filosofis: apakah demokrasi masih dianggap sarana menuju kesejahteraan, atau justru dianggap penghambat efisiensi?
Paradoks ini mengingatkan kita pada tesis klasik Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998: “Development is freedom.” Pembangunan sejati tidak hanya meningkatkan pendapatan dan kemakmuran, tetapi juga memperluas kebebasan manusia untuk menentukan hidupnya sendiri. Jika kebebasan menyusut di tengah pembangunan, maka ada yang keliru dalam arah kebijakan.
Indonesia kini menghadapi tantangan penting: bagaimana menjaga keseimbangan antara efektivitas pembangunan dan kebebasan politik. Negara memang membutuhkan stabilitas sosial-politik, tetapi stabilitas tanpa partisipasi bagaikan ilusi. Demokrasi tetap membutuhkan ruang publik yang memadai, media yang independen, dan sistem hukum yang melindungi kebebasan berpendapat.
Penutup
Pembangunan manusia yang berkelanjutan harus melibatkan partisipasi warga, bukan sekadar melayani mereka sebagai penerima kebijakan. Pemerintah perlu membuka kanal dialog publik, memperkuat data keterbukaan informasi, dan menjamin perlindungan hukum bagi jurnalis dan aktivis. Di era digital, penguatan literasi politik dan media menjadi kebutuhan mendesak — bukan sekadar program tambahan.
Kenaikan IPM dan turunnya indeks demokrasi menunjukkan bahwa kesejahteraan material dan kebebasan politik bisa berjalan di jalur berbeda. Namun keduanya tidak boleh dipertentangkan. Pembangunan tanpa demokrasi hanya menciptakan kenyamanan sementara, tanpa daya tahan moral dan sosial. Sebaliknya, demokrasi tanpa pembangunan hanya menumbuhkan frustrasi rakyat terhadap kebebasan yang hampa.
Indonesia dinilai telah berhasil meningkatkan taraf hidup warganya. Langkah berikutnya adalah pemerintah memastikan kemajuan itu disertai dengan ruang kebebasan yang bertanggung jawab. Pembangunan manusia sejati bukan sekadar membuat rakyat hidup lebih sejahtera, tetapi membuat hidup mereka lebih bermakna, dengan martabat, kebebasan, dan kesetaraan sebagai fondasi utama.[ ]
* Guru Besar Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI dan Direktur Riset GREAT Institute


