Partai Sosialis Indonesia, Sumitro dan Krisis PRRI/Permesta
Pada tahun 1970 satu artikel di majalah ‘Ramparts’ ditulis oleh David Ransom mengangkat isu yang kemudian menjadi terkenal, berkaitan dengan kelompok teknokrat Orde Baru yang kerap disebut ‘Mafia Berkeley’. Ransom menyebut cikal bakal kelompok tersebut pada kontak antara dua diplomat anggota PSI, Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001)
Oleh : Pradipto Niwandhono
JERNIH– Periode 1950-an menjadi penting dalam sejarah Indonesia bukan hanya berkaitan dengan pemilihan umum pertama, tetapi juga polarisasi politik serta persoalan regionalisme akut yang nyaris mencerai-beraikan persatuan negara-bangsa ini.
Salah satu dari krisis dengan muatan regionalisme tersebut adalah peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada tahun 1957-1958, suatu momen ketika Indonesia nyaris menjadi seperti Korea, terkoyak menjadi dua bagian karena konflik Perang Dingin. Tulisan ini merupakan suatu refleksi kesejarahan di tengah beberapa ramalan politik mengenai potensi terpecahnya Indonesia di masa depan.
Peristiwa PRRI sendiri untuk waktu cukup lama masih terbilang tema minor dalam wacana kesejarahan di Indonesia, dan kurang kontroversial dibandingkan dengan peristiwa percobaan kudeta dan pembantaian massal pada tahun 1965-1966. Akan tetapi dengan tampilnya Prabowo Subianto sebagai calon presiden sekaligus figur oposisi dalam politik Indonesia sekarang, ada kecenderungan untuk kembali mengungkit masa lalu keluarga Prabowo, khususnya terkait peran sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pemberontakan separatis enam puluhan tahun silam tersebut.
PSI dan polarisasi politik tahun 1950-an
Kajian klasik Herbert Feith berjudul “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” (1962) menggambarkan kepemimpinan politik Indonesia terbagi dalam dua kategori : pemersatu atau penggalang solidaritas (solidarity maker), dan pengelola (administrator) negara. Kelompok pertama dapat dikatakan diwakili oleh aliran ‘tradisionalis’ dalam kehidupan sosial-politik Indonesia. Kepemimpinan kharismatik dengan figur Sukarno (1901-1970) sebagai pusatnya, menjadi penggerak golongan ini.
Sementara itu, kelompok kedua lebih merepresentasi aliran ‘modernis’ yang sebagian besar mewakili golongan intelektual dan teknokrat dengan latar belakang pendidikan Barat. Tokohnya seperti Mohammad Hatta (1902-1980) dan Sutan Sjahrir (1909-1966) bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI). Pada dasarnya hampir semua kelompok ideologis dan elemen politik dapat dikatakan terpolarisasi ke dalam aliran tradisionalis dan modernis, baik di kalangan nasionalis, santri Islam, kaum sosialis-Marxis, hingga jajaran militer.
Berlangsungnya Perang Dingin antara blok kapitalis melawan blok komunis memiliki pengaruh kuat terhadap polarisasi politik di tingkat nasional. Kelompok ideologis yang paling terkena dampak dari perkembangan internasional ini adalah golongan sosialis.
Pada masa pergerakan hingga menjelang Perang Dunia II, kaum Marxis adalah para modernis, penentang eksploitasi ekonomi kolonial yang bekerja melalui tangan-tangan kekuasaan feodal, sekutu lokal mereka. Sementara pada masa pendudukan militer Jepang, kelompok ini membangun jaringan perlawanan melawan fasisme.
Dimulainya Perang Dingin sekitar tahun 1947-1948 mengakibatkan pecahnya kongsi kaum sosialis antara golongan komunis penganut Marxisme-Leninisme, dengan golongan sosialis demokrat. Kelompok terakhir ini kemudian membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada bulan Februari 1948, sementara kaum komunis memisahkan diri dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang kemudian terlibat dalam pemberontakan di Madiun. Secara ideologis, PSI lebih banyak dipengaruhi oleh pergerakan kaum sosialis demokrat di Eropa Barat, khususnya model sosialisme Fabian di Inggris daripada pergerakan sosialisme demokratik Jerman. Hal ini sedikit banyak menjelaskan posisi partai tersebut dalam konstelasi politik global masa Perang Dingin.
Polarisasi modernis dan tradisionalis juga berlangsung dalam ranah kemiliteran. Kaum modernis militer terdiri dari para perwira profesional didikan Barat (umumnya mantan tentara KNIL), sementara aliran ‘tradisionalis’ atau ‘populis’ militer merupakan militer didikan Jepang atau direkrut dari laskar-laskar revolusi.
Dalam rangka memajukan institusi kemiliteran, para tokoh modernis khususnya Abdul Haris Nasution (1918-2000), dan T.B. Simatupang mendukung reorganisasi kemiliteran untuk menjadikan TNI sebagai yang berdisiplin tinggi, solid, dan memiliki wawasan sosial politik disamping kecakapan profesional. Akan tetapi upaya tersebut mendapat tentangan dari para tentara mantan laskar revolusi.
Peristiwa ini telah memicu krisis politik pada tahun 1952 ketika parlemen melakukan intervensi atas upaya reorganisasi tentara. Kelompok Nasution dan pendukung ‘rasionalisasi’ militer menggerakkan unjuk rasa di depan istana negara pada tanggal 17 Oktober, menuntut pembubaran parlemen, akan tetapi tuntutan ini ditolak oleh Presiden Sukarno. Insiden tersebut menyebabkan Nasution berhenti dari jabatannya sebagai kepala staf Angkatan Darat, akan tetapi juga menjadi titik awal dari keterlibatan militer yang semakin besar dalam kancah politik di tahun-tahun berikutnya.
Sumitro dan ‘Mafia Berkeley’
Pada tahun 1970 satu artikel di majalah ‘Ramparts’ ditulis oleh David Ransom mengangkat isu yang kemudian menjadi terkenal, berkaitan dengan kelompok teknokrat Orde Baru yang kerap disebut ‘Mafia Berkeley’. Ransom menyebut cikal bakal kelompok tersebut pada kontak antara dua diplomat anggota PSI, Soedjatmoko dan Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001) dengan perwakilan Amerika Serikat untuk memperjuangkan dekolonisasi.
Pada intinya Amerika mendukung kemerdekaan Indonesia dengan konsesi ekonomi Indonesia terbuka bagi kapital Barat. Dalam perkembangan selanjutnya kerja sama tidak hanya meliputi aspek ekonomi, namun kemudian juga meliputi ranah intelektual dan kemiliteran. Berbagai lembaga pendonor AS ikut mensponsori berbagai kajian keilmuan untuk wilayah Asia Tenggara dan Indonesia, melanjutkan tradisi kolonial Eropa. Tujuan utama mereka tak lain adalah membendung kekuatan komunis di Asia Tenggara.
Ketika itu Sumitro tampil sebagai pemikir ekonomi Indonesia paling produktif, di samping Hatta dan Sjafruddin Prawiranegara dari Masjumi. Dalam spektrum pemikiran ekonomi Sumitro mewakili aliran Keynesian dalam teori pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berorientasi pada negara kesejahteraan (welfare state).
Orientasi Fabianisme PSI sedikit banyak bersesuaian dengan pendekatan Sumitro sendiri, mengingat John Maynard Keynes sebagai salah seorang pemikir ekonomi yang mempengaruhi Sumitro merupakan lulusan London School of Economics (LSE) yang didirikan oleh Fabian Society.
Sebagai akademisi dan dekan Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia (UI), Sumitro Djojohadikusumo sempat menggagas dibentuknya semacam ‘cabang’ LSE di Jakarta dengan mendatangkan pengajar dari Inggris sebagai pengganti orang-orang Belanda yang pulang ke negaranya. Akan tetapi karena pada saat itu British Council sebagai lembaga pendonor tidak mampu membiayai kerja sama tersebut, pilihan selanjutnya jatuh pada Ford Foundation yang kemudian berhasil menggalang kerja sama UI dengan University of California, Berkeley dan diresmikan pada Juli 1956.
Kesediaan Sumitro menerima tawaran Ford Foundation tersebut adalah karena ketua departemen ekonomi dari Berkeley adalah seorang sosialis asal Yunani yang diketahui sepaham dengannya. Dari kerja sama ini lahirlah istilah ‘Mafia Berkeley’ sebagai sebutan untuk para teknokrat-ekonom Indonesia masa Orde Baru semacam Widjojo Nitisastro, Emil Salim, dan Ali Wardhana.
Salah satu masalah yang diperselisihkan kaum nasionalis-populis dan golongan modernis-teknokrat adalah persoalan implikasi ekonomi dari persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar) bulan Desember 1949. Perjanjian tersebut selain menghasilkan pengakuan terhadap kemerdekaan, juga membebankan hutang negara Hindia Belanda kepada Indonesia.
Akibatnya, negara Indonesia yang masih muda harus menghadapi persoalan ekonomi yang serius. Menurut Richard Robison dalam “Indonesia : The Rise of Capital” (1986) kaum elite politik waktu itu terbagi dalam dua pendirian. Pertama, kelompok yang mendukung penanaman modal asing atau Cina untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Kedua, kelompok pendukung nasionalisasi perusahaan asing dengan menggunakan negara sebagai alat bagi akumulasi kapital dan industrialisasi.
Akan tetapi adanya persoalan Irian Barat menyebabkan Indonesia memutuskan persetujuan KMB secara sepihak pada bulan Mei 1956. Setelah itu perimbangan politik lebih condong pada para pendukung nasionalisasi ekonomi, di mana nasionalisasi tersebut benar-benar dilakukan pada peralihan tahun 1957-1958. Sementara di lain sisi kaum modernis mulai terpinggirkan dari kekuasaan politik dan tidak memiliki jalan lain kecuali oposisi.
Peran Sumitro dalam krisis PRRI
Pemberontakan bermotif regionalisme yang kemudian mencapai klimaks sebagai peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) berawal dari persoalan kesenjangan sosial-ekonomi daerah dan pusat, tapi kemudian lebih didorong oleh kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh komunisme dan otoritarianisme Sukarno, khususnya setelah pengunduran diri Hatta sebagai wakil presiden pada tanggal 1 Desember 1956. Terlebih lagi di Sumatra Barat (Minangkabau) di mana pengaruh modernisme Islam cukup kuat, kekecewaan dan kekhawatiran terhadap sentralisme Jawa dan komunis menjadi sangat besar.
Pada momen tersebut konflik pusat dan daerah memperoleh dimensi baru sebagai bagian dari skema Perang Dingin untuk melawan komunisme. Kemudian dengan dicetuskannya konsep ‘Demokrasi Terpimpin’ oleh Sukarno, kaum oposisi yang umumnya terdiri dari sejumlah politisi Masyumi dan PSI bergabung bersama perwira pembangkang di Sumatra maupun Sulawesi.
Keterlibatan PSI dalam pemberontakan berawal dari pelarian Sumitro Djojohadikusumo dari Jakarta pada bulan Mei 1957, konon untuk menghindari pemeriksaan akan dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya. Meski dugaan ini tidak pernah dibuktikan, kenyataan menunjukkan bahwa Sumitro diketahui bergabung dengan para perwira pembangkang di Sumatra (Minangkabau dan Batak) dan melakukan perjalanan ke Singapura maupun negara-negara Eropa untuk mencari dukungan Barat bagi perlawanan terhadap Jakarta.
Bersama dengannya bergabung pula beberapa tokoh Masyumi dan mantan perdana menteri Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap dan Sjafruddin Prawiranegara. Dalam beberapa buku karya Audrey Kahin, termasuk yang ditulisnya bersama George Kahin, “Subversion As Foreign Policy” (1995) disebutkan bahwa peran Sumitro cukup penting dalam menghubungkan gerakan para pembangkang militer dengan perwakilan Amerika Serikat di Singapura, termasuk Dulles bersaudara di Washington.
Dalam pertemuan di Palembang bulan September 1957 yang dihadiri Sumitro bersama Ahmad Hussein, Simbolon, dan beberapa perwira pembangkang dari Sumatra dan Sulawesi dikemukakan beberapa tuntutan utama termasuk mengembalikan kepemimpinan dwitunggal Sukarno-Hatta, menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah, serta pelarangan PKI dan gerakan komunis trans-nasional di Indonesia (dalam arti tidak termasuk aliran Marxisme nasional semacam Partai Murba Tan Malaka yang memiliki pendukung kuat di Sumatra).
Penekanan pada isu komunisme dilakukan untuk menarik dukungan luar negeri bagi perjuangan mereka. Akan tetapi mereka sedikit dikecewakan karena tanggapan Hatta terhadap komunisme — meski bersifat anti-agama, tetapi mengakui daya tarik dan ketepatan analisis Marxis terhadap ketimpangan ekonomi — lebih netral dari yang diharapkan. Sejak itulah kaum pembangkang menempuh sikap yang lebih keras.
Pada akhirnya situasi memuncak pada bulan Januari dan Februari 1958 dengan diproklamasikannya PRRI di Sumatra Barat dan Permesta di Sulawesi Utara. Rudolf Mrazek dalam buku biografi “Sjahrir : Politics and Exile in Indonesia” (1994) mengungkapkan bagaimana posisi pimpinan PSI termasuk Sjahrir menghadapi keterlibatan Sumitro dalam pemberontakan.
Meskipun berseberangan haluan dengan Sukarno, pada dasarnya Sjahrir tidak menyetujui Sumitro bergabung dengan pemberontakan. Beberapa kali utusan partai, antara lain Djohan Szahroezah, dikirim untuk menemui Sumitro, menganjurkannya untuk menjauhkan diri dari kelompok pemberontak. Akan tetapi himbauan tersebut ditolaknya.
Menurut Sjahrir, pemberontakan bersenjata itu akan merupakan awal dari dominasi militer dalam politik Indonesia, dan ‘Demokrasi Terpimpin’ Sukarno yang baru dimulai itu akan berakhir dalam kekacauan. Kaum militer di bawah Nasution pada dasarnya ‘memiliki cita-cita militeristis dan fasis’.
Kegagalan pemberontakan PRRI dimulai dengan terungkapnya dukungan Amerika Serikat setelah tertangkapnya pilot Amerika, Allan Lawrence Pope setelah tertembak jatuh pada tanggal 18 Mei 1958. Dengan pengungkapan tersebut pihak Amerika kemudian menghentikan bantuannya kepada kaum pemberontak dan mencoba memulihkan hubungan dengan Indonesia dengan lebih bersikap ‘netral’ dalam konflik di Indonesia. Selanjutnya mereka mulai menjalin kontak dengan militer di sekitar Nasution, yang meskipun tampak mendukung Sukarno, juga menjadi rival tangguh bagi kaum komunis. Sejak saat itu pasukan TNI tidak menjumpai kesulitan yang berarti dalam menumpas kaum pemberontak.
Sebaliknya peristiwa tersebut telah ikut membentuk imaji tentang PSI yang konspiratif khususnya pada tahun-tahun 1960-an dan tidak pernah benar-benar hilang hingga Orde Baru sekalipun. Sebuah partai intelektual kosmopolitan yang memiliki jaringan koneksi internasional, agen subversi kekuatan asing (Barat) di Indonesia.
Pada Agustus 1960, partai tersebut dibubarkan bersama Masyumi dengan alasan keterlibatan dalam PRRI / Permesta. Selanjutnya pada Januari 1962, Sutan Sjahrir bersama sejumlah orang PSI dan Masyumi ditangkap, tidak lama setelah terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Sukarno.
Penangkapan terhadap seorang mantan perdana menteri dan diplomat yang berjasa dalam perjuangan dekolonisasi Indonesia itu menjadi suatu skandal, dimana baik pihak militer maupun kaum kiri saling melempar tanggung jawab dalam kejadian tersebut. Hanya Soedjatmoko, yang karena kedekatan personalnya dengan Soebandrio atau Sukarno menjadi satu dari sedikit tokoh PSI yang lolos dari persekusi.
Sementara itu Sumitro bersama Des Alwi (anak angkat Sjahrir) dan sejumlah tokoh PSI di pengasingan melanjutkan peranan mereka sebagai penghubung antara agen-agen Barat dan militer ketika konfrontasi dengan Malaysia dimulai, dan baru bisa kembali ketika rezim Demokrasi Terpimpin berakhir. [ ]
Referensi :
– Audrey Kahin, “Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2008
– Audrey Kahin & George Mc.T.Kahin, “Subversi Sebagai Politik Luar Negeri”, Jakarta, Graffiti Press, 1997
– Farabi Fakih, “The Rise of Managerial State in Indonesia : Institutional Transition During the Early Independence Era 1950-1965”, Leiden, PhD Thesis, 2014.
– Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Ithaca, Cornell Modern Indonesia Project, 1962
– M. Dawam Rahardjo, “Nasionalisme, Sosialisme, dan Pragmatisme : Pemikiran Ekonomi Politik Sumitro Djojohadikusumo”, Jakarta, LP3ES, 2016
– Richard Robison, “Indonesia : The Rise of Capital”, Singapore, Equinox Publishing, 2009
– Rudolf Mrazek, “Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia”, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1997