Pelajaran dari Dayton
Saya telah mendengar terlalu sering para pemimpin mengatakan ‘jangan pernah lagi’ setelah tindakan genosida yang mengerikan, pembersihan etnis, dan kekerasan negara. Resolusi telah disahkan dan pidato dibuat, janji diberikan. Namun kita melihat hal yang sama terjadi berulang kali dan tidak ada yang dilakukan untuk menghentikannya meskipun tinta pada janji itu belum kering.
Oleh : Jonathan Powell*
JERNIH– Dua puluh lima tahun yang lalu, pada hari ini, Perjanjian Dayton ditandatangani di sebuah pangkalan angkatan udara di Ohio, yang mengakhiri tiga tahun pertempuran berdarah di Bosnia.
Kesepakatan hampir saja tidak terjadi. Menurut biografi yang ditulis dengan sangat baik oleh George Packer tentang diplomat Amerika Serikat Richard Holbrooke, sehari sebelumnya semua orang telah menyerah dan menyetujui dengan siaran pers yang sudah dibuat untuk mengumumkan kegagalan negosiasi. Mereka sedang mengemasi tas, siap pulang.
Tetapi proses tersebut diselamatkan oleh orang yang tidak terduga—sekaligus tak disukai, Slobodan Milosevic, pemimpin Serbia, yang sangat membutuhkan kesepakatan dan membuat kesepakatan dramatis pada menit-menit terakhir yang tidak dapat ditolak pihak Muslim Bosnia. Mereka menutup perjanjian sebelum ada yang kemungkinan berubah pikiran.
Ada banyak perayaan untuk kesepakatan itu, tetapi perdamaian yang terjadi sangat tidak sempurna. Tidak ada Jalan Richard Holbrooke atau patungnya di Sarajevo. Kaum Muslim terpaksa menelan pil pahit yang membuat Serbia meraih keuntungan dari kekerasan yang mereka lakukan. Konflik kemudian bergeser pindah ke Kosovo.
Sistem pemerintahan yang kaku diterapkan di Bosnia telah mencegah negara itu pulih dengan baik. Pembagian kekuasaan yang dipaksakan atas dasar etnis membuat orang tidak mungkin ‘mengusir keluar para bajingan’ melalui pemilihan umum, dan mereka dikutuk mesuk ke dalam jurang rezim yang korup dan tidak efektif. [Pemisahan antara Serbia, Kroasia dan Muslim sudah jelas. Walikota Srebrenica adalah seorang Serbia yang bahkan sampai hari ini menyangkal terjadinya genosida]. Komunitas internasional telah beralih dan mengabaikan masalah ini. Tapi setidaknya Dayton telah menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi saat itu.
Dayton adalah perdamaian yang tidak sempurna karena komunitas internasional menunggu begitu lama untuk campur tangan. Sudah terlambat untuk membalikkan apa yang terjadi dalam perang saudara. Orang Eropa dan Amerika duduk berpangku tangan, sementara kelompok etnis yang berbeda di Balkan saling membantai. Hanya genosida di Srebrenica, dan publisitas yang menyertainya, yang memaksa mereka. Pembantaian tak terkatakan terhadap pria dan anak laki-laki Muslim, pemerkosaan terhadap wanita Muslim dan pengiriman sisanya ke Tuzla, akhirnya membuat dunia tersentak. Sekarang mereka harus melakukan sesuatu. Itu mengarah pada upaya diplomatik serius yang didukung oleh pemboman yang memaksa Serbia duduk ke meja perundingan. Dalam hal itu, jelas Srebrenica-lah yang memimpin semua datang ke Dayton. Tetapi tentu saja, jangan ada genosida, baru kemudian memaksa komunitas internasional bertindak.
Ketika hari jadi Srebrenica ditandai pada bulan Juli, kita semua mendengar seruan saleh,”Jangan pernah ada lagi”, dari para politisi dan diplomat. Betulkah? Jika kita bersungguh-sungguh dengan apa yang kita katakan, apakah kita akan tetap diam saat genosida terjadi di Rwanda? Akankah kita mengangkat bahu saat orang-orang Suriah mengalami neraka di tangan Assad? Akankah kita menyaksikan dengan belas kasihan penderitaan anak-anak Yaman, tetapi tidak melakukan apa-apa? Akankah kita melihat pertempuran dimulai lagi di Tigray, Ethiopia?
Saya telah menghabiskan sebagian besar hidup saya bekerja pada konflik bersenjata dan negosiasi untuk mengakhirinya. Saya telah mendengar terlalu sering para pemimpin mengatakan ‘jangan pernah lagi’ setelah tindakan genosida yang mengerikan, pembersihan etnis, dan kekerasan negara. Resolusi telah disahkan dan pidato dibuat, janji diberikan. Namun kita melihat hal yang sama terjadi berulang kali dan tidak ada yang dilakukan untuk menghentikannya meskipun tinta pada janji itu belum kering.
Jika kita benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang kita katakan tentang ‘tidak pernah lagi’, ingatan para korban Srebrenica dan semua pembantaian lainnya perlu disengat ke jiwa kita, sehingga kita tidak mengizinkan pengulangan dan penciptaan korban baru dan kebencian baru.
Setiap generasi perlu menjaga ingatan tetap hidup. Jika yang kita maksud adalah benar-benar ‘tidak akan pernah lagi’, kita akan jauh lebih bersedia untuk campur tangan untuk mencegah konflik bersenjata sebelum terjadi, dan menghentikannya sebelum dimulai. Kita tidak perlu menunggu sampai mereka berada di ruang tamu kita dalam acara CNN. Kita akan terlibat dengan kelompok-kelompok yang ‘beyond the Pale’ tanpa khawatir memberi mereka legitimasi untuk menghentikan lebih banyak kematian. Kita akan menekan pemerintah untuk berbicara daripada melawan. Ini bukan permohonan untuk menyerah pada tuntutan laki-laki dengan kekerasan. Sebaliknya kita harus mendukung negosiasi kita dengan ancaman kekerasan agar mereka menganggap kita serius.
Perdebatan di PBB tentang “Hak untuk Melindungi”, tugas internasional untuk campur tangan guna mencegah bencana kemanusiaan pasca perang Kosovo, pada awal abad ini gagal diveto Rusia dan Cina. Hari jadi Dayton dan memori Srebrenica seharusnya membuat kita kembali ke sana.
Daripada sekadar menandai hari jadi yang pahit, mari kita lakukan sesuatu untuk menghentikan perayaan yang lebih pahit seperti Srebrenica. [ ]
Jonathan Powell adalah CEO Inter Mediate, sebuah LSM yang menangani konflik bersenjata di seluruh dunia, dan kepala negosiator pemerintah di Irlandia Utara dari tahun 1997-2007. Bahan dikirimkan ke Jernih.co oleh yang bersangkutan