Pemburu Sejati Versus Pemburu Bayaran
Orang miskin bisa jadi tidak terlalu sedih dengan kemiskinannya, tetapi bisa sakit hati jika melihat orang-orang kaya memajang ketimpangan itu secara glamor di etalase publik. Ini jadi lahan subur bersemainya benih gejolak sosial, seperti yang terjadi pada sejarah masa lalu di berbagai puak dan bangsa.
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH–Belum lama ini di medsos viral kritikan sangat keras dari seorang sosiolog Universitas Indonesia terhadap para seleb yang seolah berlomba pamer kekayaan lewat tv, lebih-lebih lagi via kanal Youtube.
Kritikan itu didasari tiga alasan. Pertama, kelakuan macam itu menginisiasi arah yang salah tentang arti kesuksesan.
Kedua, kelakuan itu tidak peka terhadap ketimpangan sosial-ekonomi di tanah air. Dengan standard penghasilan Rp 500.000/bulan, Badan Pusat Statistik (BPS) menerka jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 10-12 persen. Standard yang sangat minimal. Jika batasnya agak dinaikkan jadi Rp 1 juta/bulan, niscaya jumlah orang miskin Indonesia akan berlipat-lipat.
Ketiga, pameran kekayaan dari segelintir orang berpotensi memicu kecemburuan sosial dan ancaman di masa depan, yakni memupuk kemarahan kaum miskin terhadap orang-orang kaya. Orang miskin bisa jadi tidak terlalu sedih dengan kemiskinannya, tetapi bisa sakit hati jika melihat orang-orang kaya memajang ketimpangan itu secara glamor di etalase publik. Ini jadi lahan subur bersemainya benih gejolak sosial, seperti yang terjadi pada sejarah masa lalu di berbagai puak dan bangsa.
Tetapi seorang podcaster menyodorkan perspektif lain. Para seleb yang pamer kekayaan itu sebenarnya sedang bekerja (mencari uang) melalui content-content-nya di Youtube. Persoalannya, content semacam itu ternyata justru laris-manis, dilimpahi “like” dan “subscribing” oleh masyarakat luas. Sementara tayangan yang edukatif, meritokratif, atau sarat nilai malah sepi penonton. Jadi, netizen punya andil besar atas “dosa” ini. Dan sikap masyarakat ini didasari oleh cara berpikir, juga pendidikan, yang salah.
Ini kelirunya: penghargaan kita terhadap orang yang sukses secara ekonomi lebih tinggi dibanding pengakuan kita terhadap orang yang berprestasi atau bahkan terhadap orang yang berkarya buat kemaslahatan orang banyak. Dalam perilaku sehari-hari, orang berharta lebih mudah kita sanjung ketimbang orang baik, orang sederhana, atau orang yang berkarya. Ini didukung oleh tivi dan medsos, “tabung” tontonan yang bikin kita malas berpikir mendalam.
Jadi, ada pergeseran nilai dari yang sejati, esensial, dan berkarakter, ke arah yang polesan, make up, dan pencitraan.
Tentang ini, saya teringat satu dialog yang direkam oleh Plato, 2300 tahun yang lalu. Dibukukan dalam judul “Sophist“, dan bisa diunduh secara bebas di gutenberg.org. Memang isinya tidak khusus tentang pameran kekayaan semacam itu. Tapi analoginya tentang pertarungan antara “yang sejati” dengan “yang polesan” bisa kita pinjam sebentar.
Dalam buku itu, Plato merekam obrolan antara gurunya — Socrates, dua sejawat Socrates, dan seorang asing dari kota Elea. Mereka ngrumpi tentang kebiasaan para pematung Yunani yang memahat batu dengan citra baru, yang tidak ada rujukan aslinya.
Para pemahat punya hobi membuat patung yang digagah-gagahkan. Tubuh dibuat gempal-kekar, dada dibusungkan, keluar dari gambaran manusia asli. Pokoknya gahar. Tidak ada orang Yunani — atau bahkan manusia secara umum — yang penampilannya begitu. Tetapi anehnya, masyarakat justru percaya dan terobsesi untuk memiliki tubuh seperti patung itu. Ada pergeseran penghormatan antara “yang sejati” dengan “yang dicitrakan”.
Dalam dialog itu, pendukung keaslian dianalogikan sebagai seorang pemburu sejati (faithfull hunter). Sementara pemuja citra diibaratkan pemburu bayaran (hired hunter).
Pemburu sejati berburu karena kecintaannya pada perburuan. Semacam panggilan jiwa. Hasil buruannya dibagikan secara cuma-cuma kepada warga kota. Sedangkan pemburu bayaran, sesuai namanya, berburu karena diupah, motif yang lebih profan.
Menghikmati hidup yang esensial, makna yang lebih hakiki, kita identikkan sebagai pemburu sejati. Sedangkan lawannya yang memuja polesan, kita semati sebagai pemburu bayaran.
Puasa, menurut saya, adalah salah satu cara mencari yang hakiki, menahan diri terhadap yang polesan. [ ] (goeska@gmail.com)