Pencari Ramadhan, Penghindar Ramadhan
“Atakum Ramadhanu sayyidusy syuhuri ! Fa marhaban bihi wa ahlan. Ja-a syahrush shiyami bil barakati. Fa akrim bihi min za-irin huwa-atin. Telah datang kepadamu bulan, penghulu segala bulan. Ucapkanlah selamat datang kepadanya. Telah datang bulan shaum membawa segala macam keberkatan. Maka alangkah mulianya tamu yang datang itu.”
Oleh : Usep Romli HM
Bulan Ramadhan, bulan perjuangan. Awal kejayaan umat Islam muncul pada bulan Ramadhan, Melalui peristiwa Perang Badar, yang terjadi pada tanggal 8 Ramadhan tahun 2 Hijrah. Pada waktu itu, 330 pasukan Islam, dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw, berhadapan dengan 950 pasukan kafir Quraisy yang dipimpin para jago perang kawakan seperti Abu Jahal, Abu Sofyan, Abu Lahab, dkk.
Namun pasukan Islam yang minim pengalaman, tanpa membatalkan puasa mereka, berhasil mengalahkan pasukan Quraisy yang berjumlah tiga kali lipat. Perang Badar menjadi titik tolak semangat etos juang dan etos kerja kaum Muslimin.
Bulan Ramadhan tahun ini, bertepatan dengan serangan wabah Corona Covid-19. Ada beberapa kalangan merengek-rengek agar MUI mengeluarkan fatwa membolehkan umat Islam tidak melaksanakan puasa. Alasannya, tubuh yang berpuasa, akan lemah, tak akan sanggup menahan virus.
Apakah virus Covid-19 lebih hebat daripada pasukan Quraisy pada perang Badar? Sehingga umat Islam harus meninggalkan kewajiban berpuasa? Belum tentu. Malah mungkin saja, raga dan jiwa umat Islam lebih tangguh menghadapi apa pun, termasuk virus Covid-19, dalam keadaan berpuasa.
Dalam keadaan menjalankan ketakwaan kepada Allah SWT. Dan kepada yang bertakwa kepadaNya, Allah SWT menjamin, akan memberi jalan ke luar dari segala masalah plus memberi rejeki tanpa hitungan dari arah tak terduga-duga (QS Ath Thalaq:2).
Persis seperti yang dialami umat Islam dalam perang Badar. Mereka mendapat jalan kemenangan sempurna, di luar dugaan perkiraan manusia. Jumlah 330 minim pengalaman, mengalahkan 950 pasukan berpengalaman di medan perang.Karena itu, Ramadan senantiasa menjadi dambaan setiap Muslim yang beriman.
KisahKhoja Ahmad Mubarak, sufi pengembara (darwis), abad 16, ini dapat dijadikan bahan renungan.Setiap menjelang Ramadan, Khoja Ahmad selalu menatap “hilal” (bakal bulan sabit), pertanda datang bulan Ramadhan, dengan wajah berseri-seri. Di sebuah perhentian kafilah kota Balkh, Afghanistan, ia menyerukan sabda Nabi Muhammad Saw, tentang kegembiraan menyambut Ramadhan :
“Atakum Ramadhanu sayyidusy syuhuri ! Fa marhaban bihi wa ahlan. Ja-a syahrush shiyami bil barakati. Fa akrim bihi min za-irin huwa-atin. Telah datang kepadamu bulan, penghulu segala bulan. Ucapkanlah selamat datang kepadanya. Telah datang bulan shaum membawa segala macam keberkatan. Maka alangkah mulianya tamu yang datang itu.”
Selama menjalankan ibadah shaum seraya berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lain, beritikaf dan menyantuni fakir miskin serta orang-orang lemah, Khoja Ahmad selalu menampakkan wajah berbeda-beda. Suatu kali ia sangat murung. Suatu kali ia sangat gembira. Sahabat sepengembaraannya mempertanyakan hal itu.
Khoja Ahmad menjawab : “Hatiku selalu dihinggapi perasaan cemas. Takut kesempatan setahun sekali ini terlepas dariku. Lalu aku tak dapat apa-apa dari keberkahan Ramadhan. Ingatkah kau akan sabda Nabi Saw. Bahwa telah datang kepada kita bulan Ramadhan penuh berkah. Allah telah mewajibkan bagi kita shaum di dalamnya. Pintu sorga dibukakan. Pintu neraka dikunci rapat. Semua syaitan dibelenggu erat. Dalam Ramadhan itu pula, terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa tidak diberikan kebajikan malam itu, maka tidak diberikan kebajikan kepadanya.
Wahai, sahabat! Mampukah kita memasuki sorga yang terbuka lebar itu dengan kehinadinaan diri kita? Mampukan kita lolos dari neraka yang terkunci rapat itu dengan kesombongan ego kita? Mampukan kita melepaskan diri dari tipu daya syaithan yang terbelenggu itu dari kelengahan kita yang sudah menjadi kebiasaan? Dan mampukah kita memanfaatkan “malam seribu bulan” dengan kebajikan kita yang serba terbatas ? Untuk itu aku selalu cemas dan cemas !”
“Tapi sesekali kulihat engkau tampak gembira, “sahabatnya kembali bertanya. “Aku punya harapan, “jawab Khoja Ahmad,”karena sabda Nabi Saw mengenai bulan Ramadhan adalah janji penghapusan dosa bagi orang yang melakukan fardhu shaum di dalamnya, menjalankan sunnah Nabi dengan mendirikan ibadat malam hari. Ramadhan itu sendiri terdiri dari tiga fase. Sepuluh hari pertama, ampunan. Sepuluh hari kedua, rahmat. Dan sepuluh hari ketiga, pembebasan dari api neraka. Siapa yang tak berharap akan ampunan, rahmat dan pembebasan dari siksa?”
Kisah di atas menjadi tuturan ceritera rakyat (folklore) di kalangan pengikut sufi tradisional. Banyak dikutip para pengamat sufi. Antara lain Idris Shah (wafat 1996), penulis buku “Tales of Sufi”, “The Way of Sufi”, dll. Banyak disukai, karena mengandung unsur koreksi diri (muhasabah) terhadap watak manusia, yang pada dasarnya lemah namun selalu ambisius, mulia namun kadang-kadang sesat dan hina, mengetahui kebenaran namun sering lupa karena diselimuti kabut kesalahan.
Prinsip “takut” (khauf) dan “harap” (raja’), yang dipopulerkan Imam Gazhali (abad 11), penulis “Ihya Ulumuddin”, menjadi acuan para “shoimin” (orang-orang yang menjalankan shaum), dalam menghadapi ujian Ramadhan. Takut menjalani lapar, dahaga dan menghindari nafsu syahwat siang hari yang semua bersifat pisik, tidak dibarengi ketetapan hati dari gangguan waswas, ketertutupan mata, telinga dan mulut dari berbagai penglihatan, pendengaran, dan ucapan kotor. Sehingga shaumnya kehilangan nilai. Hanya mendapat lapar dan dahaga saja, serta lesu dan ngantuk akibat bangun malam. Pahalanya nol besar (Hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan at Thabarani).
Sebab, setiap manusia, sering terkoptasi oleh tiga hal yang oleh Nabi Saw dianggap merusak (tsalatsa muhlikat). Yaitu “i’jabul mir’i bi nafsihi” (takjub terhadap diri sendiri), “syahhun matha’un” (kekikiran yang akut), dan “hawaun mattaba’un” (hawa nafsu yang diperturutkan).
Sedangkan harapan (raja’) terletak pada keagungan nilai Ramadhan itu sendiri, yang terbuka bagi siapa saja yang ingin mengecapnya, dengan syarat “imanan” (beriman kepada Allah dan RasulNya), dan “ihtisab” (mengharap ampunan Allah). Kesempatan setiap manusia menikmati bulan Ramadhan setiap tahun, dengan “imanan wahtisaban” merupakan kesempatan untuk menghapus dosa-dosa kecil dalam tenggang waktu itu, selama tidak berbuat dosa-dosa besar. Sabda Nabi Saw : “Ash shalatul khamsu wal jumu’atu ilal jumu’ati wa ramadhanu ila ramadhani mukaffiratun lima bainahunna idaj tunibatil kaba-iru”. Shalat liwa waktu, shalat Jum’at ke Jum’at dan dari Ramadhan ke Ramadhan, menjadi penebus dosa yang ada di antaranya, selama menjauhi dosa-dosa besar. (hadits sahih riwayat Muslim).
Sufi pengembara Khoja Ahmad Mubarak, mengingatkan kita, agar memperhatikan adab dan tertib shaum Ramadhan sebagai sarana. Bukan tujuan. Sedangkan tujuan dari Ramadhan itu sendiri, adalah pencapaian taqwa.
Ia ingin shaum itu sebenar-benar shaum. Total. Menyeluruh. Tidak hanya sekedar lapar dan dahaga saja. Karena untuk tiba ke tujuan “tattaqun” (bertaqwa) diperlukan alat dan penggunaan alat yang baik dan benar. Tidak asal-asalan.
“Innama yataqabbalullahu minal muttaqien” Sesungguhnya Allah hanya menerima amal ibadat dari orang yang taqwa kepadaNya saja (Q.s.al Maidah : 27).
Semoga kita menemukan Ramadhan sebagaimana yang dicari Khoja Ahmad Mubarak, dan tidak kehilangan momentum amat berharga itu, hanya karena kecengengan dan kemalasan menjalankan perintah Allah SWT . [ ]