Solilokui

Citarum yang Kini Perlaya

Mungkin kalau sekarang diadakan lagi penelitian terbaru, tidak akan ditemukan lagi ikan penghuni Citarum, baik asli, maupun kaburan dari kolam-kolam. Karena Citarum  sekarang sudah mati suri. Citarum tinggal tubuh tanpa ruh.

Oleh :  Usep Romli HM 

Rasa prihatin, simpati, dan empati ditujukan kepada masyarakat Bandung di bantaran Citarum. Terutama kawasan Bojongsoang, Dayeuhkolot, Baleedah, Sapan, dan sekitarnya, yang kembali menderita akibat luapan banjir Sungai Citarum. Di tengah derita ancaman virus Corona Covid-19, derita saudara-saudara kita di situ bertambah. Harus mengungsi ke tempat-tempat yang tak tersentuh air.

Dan itu bukan sekarang saja, tatkala semua orang disibukkan dengan ancaman Corona. Namun selalu berulang setiap tahun. Berulang dan berulang.

H Usep Romli HM

Berbagai upaya telah diselenggarakan untuk meredam amuk Citarum. Antara lain penyelenggaraan progam “Citarum Harum” yang dipelopori TNI/AD Kodam III Siliwangi, pembuatan terowongan pengelak air di Curug Jompong oleh Kementerian PUPR. Semua masih belum mencapai hasil maksimal. Banjir masih terus berkecamuk setiap musim hujan. 

Semua bersumber  dari kondisi Citarum, yang sudah tak berfungsi dan berperan sebagai sungai sumber peradaban manusia. Malah menjadi sumber petaka berkepanjangan. Seperti dilukiskan oleh geolog Budi Brahmanto, dalam buku “Esai Bumi” (ed. Oman Abdurrahman, dkk., Badan Geologi, 2015), kondisi Citarum sehari-hari sekarang, bersampah, hitam, bau, dan berbusa deterjen. Segala jenis sampah yang dibuang masyarakat Cekungan Bandung berkumpul semua di sini. Limbah rumah tangga (termasuk limbah septic-tank), limbah pabrik, plastik, styrofoam, sendal jepit, boneka, dan lain-lain, bahkan sisa-sisa bangunan dari bahan besi yang ikut terbawa banjir. Semuanya tersangkut sementara pada batu-batu keras intrusi dasit, sisa-sisa gunung  api purba berumur Pliosen di Curug Jompong, selatan Cimahi.

Berdasarkan survey lapangan, diketahui 78,9 persen  penyumbang terbesar polusi Citarum adalah industri. Di situ,  terkandung unsur-unsur kolusi dan korupsi, yang membuat Citarum merana terlunta-lunta. Sayang,  aneka macam praktik kotor antara penguasa dan pengusaha, belum terungkap resmi ke permukaan, baik oleh survey maupun audit pihak berwenang. Terutama mengenai “dana keamanan”, yang lebih murah daripada biaya untuk mengelola Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Namun itu baru sebatas “harewos bojong” (bisik-bisik prasangka) belaka. Sulit diungkap secara fakta. Namun yang jelas, pemerintah selalu gagal mengelola Citarum  berikut anak-anak sungainya. Tak mampu menegakkan hukum lingkungan. Tak mampu memberi sanksi terhadap pencemar lingkunan dan “pembunuh” Citarum.  Mungkin selain membuang limbah bukan dianggap kriminal, juga siapa yang akan mendakwa mereka? Semua pihak bungkam membisu.

Citarum, kebanggaan generasi terdahulu, akan segera terhapus dari lembaran sejarah. Tinggal kenangan saja, kelak. Hanya akan tinggal dalam catatan nostalgia, sebagaimana dilakukan sastrawan Sunda terkenal, yang juga tokoh pers nasional Syarif Amin alias Moh.Kurdi, dalam buku “Keur Kuring di Bandung” (‘Ketika Saya di Bandung’), terbitan 1982. Mengungkap kenangan manis tahun 1930-an, piknik ke Citarum. Dari kota Bandung, naik sepeda. Sengaja untuk membeli ikan yang ditangkap menggunakan rumpon, bubu, atau jala. Tatkala Citarum masih benar-benar mulus.

Sekarang Citarum sudah membangkai. Diubrak-abrik perilaku manusia yang tak merasa berdosa membuang segala macam kotoran, baik dari rumah tangga, maupun dari pabrik industri. Dan yang lebih mengherankan, adalah sikap perilaku manusia yang seharusnya menegakkan hukum untuk melindungi kelestarian Citarum, namun abai dan tak acuh seraya merasa tindakannya itu tidak berdosa sama sekali.  

Apa yang diharapkan dari Citarum hitam legam, yang meluap pada musim hujan dan kering kerontang musim kemarau? Ikan? Tak ada lagi.  Hasil penelitian Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, di Jatiluhur, Puwakarta (2005), menunjukkan, 20 jenis ikan Citarum sudah punah. Antara lain arengan (Labeo chrysophekadion), beunteur (Puntius binotatus), betok (Anabas testudineus), genggehek (Mystacokeuceus marginatus), jongjolong (Dermogenys pusillus), kancra (Labeobarbus pusilus), lele (Clarias batracus), lalawak (Puntius bromoides), dll.

Itu lima belas tahun lampau. Mungkin kalau sekarang diadakan lagi penelitian terbaru, tidak akan ditemukan lagi ikan penghuni Citarum, baik asli, maupun kaburan dari kolam-kolam. Karena Citarum  sekarang sudah mati suri. Citarum tinggal tubuh tanpa ruh.  [  ]

Back to top button