Solilokui

Peran “Majakuning” dalam Sastra-Budaya Sunda

Semangat dan stamina Ajip Rosidi dalam memajukan bahasa,sastra dan budaya Sunda tak pernah surut. Sangat luar biasa. Melebihi siapa pun yang merasa “Sunda Aspri (Asal Priangan). Ajip Rosidi mengakui dibesarkan di lingkungan “pakaleran” yang kesundaannya tidak sekental Priangan.

Oleh   : Usep Romli HM

Mimpi membentuk Provinsi Sunda, yang sering diwacanakan sejak dua dasawarsa lalu (konon akan diputuskan resmi dalam “Kongres Sunda” yang dibatalkan dulu akibat Covid 19), sebagai pengganti nama Provinsi Jawa Barat, menimbulkan reaksi untuk membentuk Provinsi Cirebon. Alasannya, perbedaan budaya dan bahasa antara Sunda dan Cirebon. Karena memang Cirebon punya bahasa dan budaya tersendiri, sehingga tak akan terwadahi oleh Provinsi Sunda.

Kelak Provinsi Cirebon akan mencakup wilayah “Ciayumajakuning” (Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan).

Terlepas dari pro-kontra di sekitar masalah politik, geografis, dan administrasi, secara kebahasaan “Majakuning” (Majalengka dan Kuningan) lebih dekat kepada Jawa Barat atau Tatar Sunda, daripada ke Cirebon-Indramayu. Justru bahasa dan budaya Sunda melekat erat dalam kehidupan sehari-hari penduduk Majalengka dan Kuningan. Telah menjadi “kulit daging” dan menjadi “ciri sabumi cara sadesa“.

Banyak orang asli kelahiran Majalengka dan Kuningan, yang berkiprah dalam kegiatan sastra serta budaya Sunda. Bukan hanya sekedar “tukang ngaramekeun” atau “lauk buruk milu mijah“. Melainkan menjadi tokoh-tokoh terdepan di tingkat nasional dan internasional.

Sebut saja nama Ajip Rosidi. Pria kelahiran Jatiwangi,  Majalengka, 31 Januari 1938 ini, sudah tak asing lagi dalam memperjuangkan kelestarian bahasa, sastra dan budaya Sunda. Sejak terjun ke dunia sastra Indonesia, tahun 1951, Ajip Rosidi sudah memiliki obsesi menjunjung tinggi karya kedaerahan. Aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang membela hak serta eksistensi sastra-budaya Sunda. Mulai dari mengkuti Kongres Politik dan Kebudayaan Sunda, mendirikan penerbitan buku-buku dan majalah Sunda,  memperkenalkan hasil-hasil karya bahasa-susatra Sunda ke luar Sunda melalui upaya penulisan kembali dongeng-dongeng dan ceritera pantun Sunda dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, menyelenggarakan penelitian, perekaman serta transkrip floklore dan pantun Sunda, menghimpun karya-karya sastrawan Sunda dalam berbagai antologi. Seperti “Kanjutkundang” (1963, 2003), “Sajak Sunda” (2008). Menyusun “Ensiklopedi Sunda” (2000) dan “Apa Siapa Orang Sunda” (2002), menyelenggarakan “Kongres Internasional Budaya Sunda” (KIBS) tahun 2001 dan 2011, serta mendirikan “Pusat Studi Sunda” (PSS) dan “Perpustakaan Ajip Rosidi” di Jalan Garut 2 Bandung.

Kiprah paling fenomenal dari Ajip Rosidi adalah mendirikan Yayasan Kabudayaan “Rancage” (1988), yang setiap tahun memberi hadiah sastra bagi buku sastra dan orang yang berjasa terhadap bahasa-sastra daerah Sunda, Jawa  Bali, Lampung, dan Batak. Hingga kini, pemberian hadiah “Rancage” sudah berlangsung 32 tahun tanpa terputus. Acara pemberian “Rancage” sekaligus ulang tahun kelahiran ke-82 Ajip berlangsung di tanah kelahirannya, Jatiwangi, 31 Januari 2020, dimeriahkan pameran buku, pameran lukisan dan pertunjukan seni selama hampir seminggu.

Semangat dan stamina Ajip Rosidi dalam memajukan bahasa,sastra dan budaya Sunda tak pernah surut. Sangat luar biasa. Melebihi siapa pun yang merasa “Sunda Aspri (Asal Priangan). Ajip Rosidi mengakui dibesarkan di lingkungan “pakaleran” yang kesundaannya tidak sekental Priangan.

Adik kandung Ajip, Prof.Dr. H.Ajatrohaedi (1939-2006), juga terkenal sebagai sastrawan Sunda dan Indonesia. Ajat  menghasilkan karya-karya sastra bahasa Sunda dan Indonesia.  Sebagai sejarawan, arkeolog dan filolog, Ajatrohaedi aktif merekonstruksi sejarah Sunda, dengan melakukan penelitian di situs-situs Sunda, menyalin naskah-naskah Sunda Kuno,  dll.

Selain itu ada juga Ajip yang lain dari Jatiwangi, Ajip Bakar. Penulis yang telah berpulang ini adalah seorang kolumnis yang produktif pada era 1980-an.

Regenerasi sastrawan-budayawan Sunda asal Majalengka, hingga kini berlangsung mulus. Tercatat nama Rahmat Iskandar (Rais), Oom Somara de Uci, HD Rustandi, Hj.Amalia Nurohmah, Ferianto, dll., yang produktif menulis cerpen, novel dan artikel berbahasa Sunda serta menerbitkan buku/media berbahasa Sunda di Majalengka.

Dari Kuningan, ada figur Ki Umbara alias Wirdjaranusulaksana (1918-2004). Terkenal sebagai penulis “carita jurig” (misteri), namun mengandung muatan dakwah Islam. Puluhan judul buku Sunda karya-karya Ki Umbara telah menyemarakkan khazanah sastra Sunda moderen. Pernah menjabat redaktur dan wakil pimpinan Redaksi Majalah Sunda “Mangle” (1963-2000), dan menerbitkan majalah Sunda “Pelet” (1966). Meraih “Rancage” atas jasa-jasanya memelihara dan mengembangkan bahasa-sastra Sunda (1993).

Ada pula Yus Rusamsi (1934). Di samping penulis, terkenal pula sebagai pelukis yang mahir mengekspresikan keindahan alam Pasundan. Menulis beberapa judul novel dalam bahasa Sunda, antara lain “Dedeh” (1967), dan ulang-kisah beberapa ceritera pantun Sunda buhun dalam bahasa Indonesia.

Serta Prof.Dr.H.Edi Suhardi Ekadjati (1942-2005). Karya-karyanya tentang sejarah Sunda, menjadi rujukan para peminat dan peneliti sejarah Sunda. Pidato pengukuhan sebagai Doktor Ilmu Sejarah berjudul “Sunda, Nusantara,dan  Indonesia, Tinjauan Sejarah” menunjukkan perhatiannya yang amat mendalam kepada sejarah dan budaya Sunda.

Sedangkan Prof. Dr. H.Muhammad Surya, anggota DPD-RI (2004-2014), mantan ketua umum PB PGRI  (1998-2008), kelahiran Citangtu, Kuningan 1941 (wafat 2018), menampakkan “kesundaan” dalam bukunya “Menjadi Guru, Terus Guru, Selamanya Guru” (2008). Ia aktif mendorong guru-guru di Jawa Barat untuk membaca suratkabar/majalah berbahasa Sunda dengan memberikan insentif langganan gratis selama satu tahun.

Juga dua orang wartawan muda Kuningan, Ajun Mahrudin dan N’Ding Mangku, berhasil membuat karya jurnalistik dalam bahasa Sunda, mengungkap berbagai keunikan budaya masyarakat Kuningan, dan dihimpun dalam buku “Kuwung-Kuwung” (2007).

Pada tahun 1940-an terbit buku detektif Sunda “Laleur Bodas”, karya bersama  dua orang sastrawan Kuningan, Sambas dan Sungkawa (Samsu) menggunakan latar belakang kehidupan kota Kuningan masa itu. 

Bahkan, anggota DPD-RI 2004-2009, asal Cirebon, PRA Arief Natadiningrat, SE, memasang iklan kampanye pencalonannya kembali sebagai anggota DPD-RI 2009-2014, di beberapa media lokal Priangan, dengan  kalimat “dari Pajajaran untuk Mewakili Jawa Barat”. Maka seumpama kelak Provinsi Cirebon terwujud, dan Majalengka serta Kuningan tercakup di dalamnya, sumbangsih kedua daerah itu terhadap bahasa dan sastra Sunda tentu akan tercatat dengan tinta emas. Tak akan lenyap hanya karena perpisahan provinsi. [  ]    

Back to top button