“Percikan Agama Cinta”: Agama, Tutunan, dan Puncak Kehidupan
Sebaik-baik agama, berfungsi secara pribadi dalam diri masing-masing pemeluknya. Sebaik-baik hidup, adalah puncak keberagamaan kita.
JERNIH– Saudaraku,
Manakah yang mesti diselami dulu: hidup atau agama?
Tanpa perlu berdebat panjang sekalipun, kita pasti meyakini. Pengalaman beragama baru muncul setelah kita mengalami kebuntuan dalam petualangan hidup. Ya, mencari jawabannya pasti dalam agama. Di saat itu, kita tiba-tiba dekat dengan Tuhan. Agama merasa diperlukan. Namun tanpa sadar. Itulah justru kelak yang menjadi sumber permasalahan orang beragama. Lantaran meletakkan persoalan yang tidak tepat secara proporsional.
Ingatlah. Sebaik-baik agama, berfungsi secara pribadi dalam diri masing-masing pemeluknya. Sebaik-baik hidup, adalah puncak keberagamaan kita. Karena agama hadir sebagai pemandu terbaik demi mengenali aturan ilahiah yang terpatri dalam jantung kehidupan. Di sinilah fungsi syariat berlaku secara substansial. Esensinya, manusia yang tahu ilmu hidup, pasti beragama dengan cara santun. Mengerti tata krama, tata salira, tata nagara, tata buwana, dan tatak surya.
Maka, menjadi wajib hukumnya bagi kita tuk mengenali khazanah kehidupan sendiri. Mematrinya ke dalam dada. Ekspresi beragama, sama dengan laku indah kehidupan. “Urup iku urup: hidup itu cahaya,” demikian yang diajarkan Sunan Kaliga.
Siapa menghidupkan agama, berarti menyuburkan kebun kehidupannya. Siapa memeluk suatu agama, tanpa pemahaman hidup, besar kemungkinan ia akan melakukan perusakan pada diri sendiri. [Deden Ridwan]