“Percikan Agama Cinta”: Dengan Akal, dengan Hati, Mari Menuju Tuhan
Dengan mengenal diri, sesungguhnya manusia akan memahami Tuhan-nya. Segala hijab yang membuat dirinya jauh dari Tuhan, disingkirkan.
JERNIH–Saudaraku,
Mencari Tuhan sejatinya bersifat psikologis-eksistensial. Manusia mencoba mengenali jati dirinya secara utuh. Karena, dengan mengenal dirinya, sesungguhnya manusia akan memahami Tuhan-nya. Segala hijab yang membuat dirinya jauh dari Tuhan disingkirkan.
Mencari Tuhan sebenarnya adalah sebuah petualangan intelektual-spiritual. Pengalaman semacam ini bermula dari kegelisahan individu. Merenungkan sebuah kegetiran. Kemudian tersimpuh di balik keheningan malam.
Mencari Tuhan bukanlah sekadar simbolik. Berhenti di permukaan. Bukan sekadar “syariah”, tapi juga “hakikat”. Bukan sekadar “fiqih”, tapi juga “tasawuf”. Bukan sekadar bergerak di fakultas akal, tapi juga hati. Menyebrang di balik ungkapan kata-kata.
Karena akal yang mampu menemukan kebenaran. Namun hatilah justru yang membuat kita mencintai kebenaran itu, dari mana pun ia berasal, tanpa jarak. Kolaborasi kreatif akal-hati itulah acap memantulkan perbuatan terpuji.
Mencari Tuhan berarti merindukan kembali esensi agama sebagai dasar pelancongan jiwa. Mencintai kedamaian. Menghargai keragaman.
Bukan agama sebagai ideologi, yang kadang menjadi sumber halunisasi sejarah.
Mencari Tuhan sungguh terasa hampa. Minus diawali kegelisahan batin. Tiada dihiasi pengetahuan. Tanpa kebersihan hati. Tuhan akan tetap terasa jauh, meski sebenarnya melekat di hati. Melangit tanpa membumi. [Deden Ridwan]