“Percikan Agama Cinta”: Etika, Akhlak, Adalah Kunci Beragama
“Masalah umat Islam bukanlah karena kekurangan sumber ajaran moral. Kita miskin kesadaran moral. Kita tuna akhlak,”
JERNIH– Saudaraku,
Suatu pagi, tiba-tiba aku teringat waktu mondok, di Pesantren Darul Mutaallimin, Sukabumi, Jawa Barat. Nuansa NU di pesantren ini sangat kental. Bayang-bayang suasana pondok berikut pernak-perniknya begitu melintas kuat di pikiranku.
Aku teringat nasihat-nasihat kiaiku. Masih membekas. Namanya Almagfurllah, Allahu yarhamhu, K.H. Yusuf Thobari. Akrab dipanggil Mama Ajengan. Beliau adalah sosok kiai sepuh-kharismatik yang dikenal ahli sekaligus pengamal tarekat-tasawuf. Ketika itu, Mama Ajengan menyampaikan kuliah subuh tentang Islam dan etika (tasawuf). Jujur tema ini tergolong serius untuk ukuran santri zaman itu.
Aku duduk di pojok madrasah, tempat pengajian rutin diadakan. Selalu berada di baris terdepan. Posisi idamanku. Entah kenapa, aku merasa nyaman duduk-lesehan di posisi itu. Meskipun tergolong santri “ingusan”, aku bisa khusyu’ mengikuti kuliah itu. Mama Ajengan pun mulai menyampaikan pengajiannya. Para santri merapatkan barisan, siap menyimak.
Mama Ajengan mulai dengan kata-kata bertenaga. Islam dan etika (tasawuf) tak dapat dipisahkan. Bagaikan ikan dan air. Keduanya sama-sama memiliki kesamaan dasar. Ya, menyelidiki dan menentukan ukuran baik-buruk dengan melihat pada amal perbuatan manusia. Etika mengajarkan nilai baik-buruk kepada manusia berdasarkan akal pikiran dan hati.
Sedangkan agama mengajarkan nilai baik-buruk kepada manusia berdasarkan wahyu (kitab suci). Benar, kebenaran wahyu itu mutlak. Tapi, tetap dapat diuji dengan akal pikiran. Karena itu, menurut Mama, akal ini merupakan anugerah sangat berharga yang diberikan Allah hanya kepada manusia. Mesti digunakan seoptimal mungkin demi mendalami ayat-ayat suci.
Aku mulai terpesona. Menyimak pengajian itu dengan fokus. Walaupun sebenarnya, aku sendiri kurang paham. Anehnya, aku malah asyik-masyuk. “Agama dan etika saling melengkapi. Tak perlu dipertentangkan”, kata Mama, memecah lamunanku sejenak.
Mama Ajengan pun melanjutkan kuliah-nya. Aku kembali mengangkat kepala, menatap sang guru. Sementara teman-teman santri lain mulai ada yang garuk-garuk kepala. Entahlah. Mungkin kebingungan. Ada pula santri yang tampak seperti tertidur. “Agama membutuhkan etika untuk secara kritis melihat tindakan moral yang mungkin tidak rasional”, lanjut Mama.
Sementara etika sendiri membutuhkan agama agar manusia tidak mengabaikan kepekaan rasa dalam dirinya. Etika menjadi berbahaya ketika memutlakkan akal. Karena akal bisa merelatifkan segala tindakan moral yang melekat pada agama.
Bagi Mama, Islam merupakan sumber ajaran moral yang amat kaya. Tak akan habis-habis jika terus digali sampai kapan pun. Bahkan, kita ini justru berkelebihan dalam petuah-petuah, wejangan-wejangan, dan nasihat-nasihat moral. Tumpah-ruah. Melimpah di mana-mana.
Aku semakin khusyu’. Sampai-sampai tak sadar, pengajian segera berakhir. Di ujung pengajian, Mama menegaskan dengan kalimat pamungkas yang menggetarkan bantinku. “Masalah umat Islam bukanlah karena kekurangan sumber ajaran moral. Kita miskin kesadaran moral. Kita tuna akhlak,”ungkapnya, tegas.
Ketahuilah. Kemampuan internal jiwa kita untuk menginternalisasi ajaran-ajaran moral itu sedemikian rupa, masih terbatas. Akibatnya, cara hidup kita pun masih jauh dari nilai-nilai agama. Menyedihkan.
Sungguh pengajian itu sangat membekas. Aku semakin kagum sama guru dan kiaiku. Ilmunya mutabahhir. Belakangan, aku sadar. Etika menjadi kunci beragama. Apa yang disampaikan Mama Ajengan puluhan tahun silam masih terasa relevan. Di situlah peran etika sebagai bentuk gerakan penyadaran amat terasa. Hanya dengan bantuan etika, proses pemanusiaan untuk memanifestasikan nilai-nilai moral yang esensinya merupakan harkat kemanusiaan itu sendiri, pelan-pelan bisa diwujudkan.
Aku yakin. Etika tidak dapat menggantikan agama. Catat itu. Tapi, etika dapat membantu agama dalam memecahkan masalah yang sulit dijawab oleh agama. [Deden Ridwan]