“Percikan Agama Cinta” : Imam yang Ideal, Masih Mimpi Tengah Hari
Maka, sungguh bangga, ketika ia mewujud sebagai peternak energi harapan. Memotivasi tiada henti anak-anak muda untuk terus bangkit, sejajar dengan manusia-manusia lain di belahan bumi.
JERNIH– Saudaraku,
Aku rindu pemimpin lincah, cepat, dan sigap dalam merespons segala situasi. Bergerak bebas sesuka hati, kapan pun dan di mana pun. Maka, sungguh wajar, jika ia sesekali melabrak aturan protokoler demi menyapa warga secara cepat.
Aku rindu pemuka ramah. Mudah tersenyum. Menandai ketulusan hati seorang imam. Menebar rasa optimistik kepada siapa pun untuk berpikir dan bertindak secara bermakna. Maka, sungguh bangga, ketika ia mewujud sebagai peternak energi harapan. Memotivasi tiada henti anak-anak muda untuk terus bangkit, sejajar dengan manusia-manusia lain di belahan bumi.
Aku rindu pemangku sederhana dan merakyat. Mencerminkan kedekatan dan kemenyatuan dirinya dengan orang-kebanyakan tanpa sekat-sekat kultural yang menakutkan. Ia kerap hadir di tengah keramaian. Menyapa warga. Tak ada lagi jarak antara dirinya dengan rakyat. Maka, tidak aneh, jika ia lebih suka memilih cara blusukan ala Umar Bin Khattab untuk menyapa seluruh warga di setiap ufuk.
Aku rindu pengampu yang sedikit bicara. Namun singkat, bernas, padat. Langsung menusuk inti persoalan tanpa basa-basi. Menggambarkan seorang pelayan yang lebih suka bekerja daripada berbicara. Maka, sungguh tepat, jika slogan yang ia pilih adalah kerja, kerja, kerja! Hal itu adalah refleksi dari lubuk hatinya yang terdalam.
Aku rindu pereka otentik. Berjuta pengikut sekaligus musuh fanatik. Memiliki tarikan serempak penolakan. Tak alergi kritik. Karena jika hanya punya salah satunya, bukanlah pemimpin sejati.
Sontak bunyi alarm mengeras: kring.. kring.. kring.. Menandakan pukul 2.30 WIB. Aku tiba-tiba kaget. Terbangun dari tidur. Ooh, ternyata aku asyik bermimpi. Semua pemimpin ideal itu baru sebatas mimpi. Aku sadar, harus kembali ke alam nyata, meski penuh kecewa.. [Deden Ridwan]