“Percikan Agama Cinta”: Ketika Nurani Absen
Bisa jadi hantu-hantu itu adalah dirimu sendiri: berupa postingan di media sosial. Maka, hentikan segala kutukan dan sanjungan, sebelum engkau benar-benar mampu melewati duri-duri itu dengan selamat
JERNIH– Saudaraku,
Indahnya kehidupan bukan terlihat dari mata memandang, telinga mendengar atau lidah mengecap, namun pada makna yang engkau letakkan di setiap momen insiden hidup ini.
Kejadian akhir-akhir ini. Sungguh sangat memilukan. Tragis. Membuatku terperosok pada garis terdalam: merenungkan sejenak perjalanan menuju cahaya. Kenapa tragedi-demi-tragedi engkau rayakan secara heroik atas nama keagungan ilahi?
Ketahuilah. Ternyata bermula gara-gara egomu berkuasa, mengalahkan kewarasan. Sementara pesan-pesan langit menjadi tameng setiamu. Engkau tanggalkan akal-sehat sececah. Lalu, engkau meletakkannya di ujung lutut. Demi itu, engkau kerdilkan nurani dari gerak-batas takahmu. Tanpa kendali akal-nurani, engkau bergerak bak keledai mencabik-cabik tanaman milik petani yang siap panen.
Tanpa sadar. Padahal tali keledai itu sengaja dilepas sang hantu yang menginginkan kebrutalan menguasai ruang. Percayalah, engkau terpancing karena akal-nurani absen menemanimu. Ya, sudah menjadi hukum alam. Ada aksi pasti mengundang reaksi. Keangkeran tiba-tiba merajalela. Menempa larut dalam kebiadaban, hingga engkau kehilangan makna.
Sadarlah. Dalam situasi segenting apa pun, akal-nuranimu pastikan tetap hadir. Hanya dengan kekuatan akal-nurani engkau bisa memaknai setiap peristiwa secara bermakna. Taklukanlah hantu-hantu yang memotong tali keledai itu dengan kewarasanmu. Bisa jadi hantu-hantu itu adalah dirimu sendiri: berupa postingan di media sosial. Maka, hentikan segala kutukan dan sanjungan, sebelum engkau benar-benar mampu melewati duri-duri itu dengan selamat. [Deden Ridwan]