Solilokui

“Percikan Agama Cinta”: Kyai Tanpa Serban

Namanya menggurat. Menembus batas-batas lokal. Mengikatkan diri ke dalam jaringan intelektual secara global.  Gagasan-gagasan besarnya untuk menegakkan Islam kemajuan yang moderat, inklusif, dan modern–menyatu dengan umat, menyatu dengan bangsa–telah melarutkan dirinya dalam gerak ikhtiar menciptakan perdamaian dunia melalui forum-forum dialog antariman dan peradaban yang  ia gagas bersama tokoh-tokoh agama dunia.

JERNIH–Saudaraku,

Dia adalah salah seorang dosen pavoritku di Fakultas Ushuluddin, IAIN Ciputat. Pengampu mata kuliah “Pemikiran Politik Islam Modern”. Tak pelak,  dia dikenal sebagai pakar politik Islam. Dunia akademik sungguh mengakuinya. Bahkan, hingga manca negara.

Deden Ridwan

Ketahuilah. Dia sosok cerdas. Cakrawala pikirannya sangat luas dan terbuka. Jauh dari kesan sikap ekslusif, intoleran, dan apalagi radikal. Dalam setiap kesempatan, dia acap kali mempromosikan Islam damai: menyantuni keragaman. Baginya, meyakini sama-dengan menghargai perbedaan. Mempelopori kerja sama antara agama di kalangan aktivis kampus.

Tak hanya itu, dia sangat ramah. Penuh perhatian. Semua aktivis potensial kampus lintas Ormas selalu menjadi atensinya. Usai kuliah, misalnya, para aktivis itu sering dia kumpulkan di Rumah Makan Serba Nikmat. Restoran beken di Ciputat ketika itu, tak mungkin terjangkau aktivis-mahasiswa.

Setelah terkumpul, lalu kami diajak diskusi. Serius-santai. Penuh tertawa. Tentang tema-tema aktual. Tentu sambil ditraktir makan siang. Tak jarang, selesai acara, sebagian dari mereka, dia kasih uang transportasi. Dan, aku termasuk yang sering kebagian “berkah” itu. Mengasyikkan. Hahaha…

Ada cerita menarik. Dia ternyata pembaca tulisan-tulisanku di koran nasional. Aku ge-er juga… Suatu ketika tulisanku dimuat di halaman opini Kompas. Kebetulan dia datang ke kampus untuk mengajar. Sebelum memberi kuliah, dia kerap  mencariku. Setelah ketemu, ternyata dia hanya mau menyampaikan apresiasi.

“Tulisan Anda bagus sekali, tajam, kritis. Teruskan menulis”, ungkapnya.

Kemudian dia spontan membuka dompet, mengambil uang sekenanya. “Ini tambahan honor untuk membeli buku”, lanjutnya.

“Terima kasih, Kanda”, jawabku spontan, penuh bahagia luar biasa. Terbunga-bunga.

Aku hanya terdiam: terkesima, bangga. Setelah aku telusuri, ternyata kebiasaan baik itu tak hanya berlaku padaku. Tapi juga kepada penulis-penulis lain, teman-temanku. Tak hanya sekali. Selalu begitu. Sudah menjadi tradisi.

Benar, dia bahkan menjadi mentor sekaligus “pelindung” para aktivis, membuka akses. Aku pernah ditunjuk menjadi Ketua Forum Diskusi Politik-IAIN Ciputat. Salah satu agendanya: mengundang para tokoh nasional untuk memberikan kuliah di kampus. Tak aneh. Itu terjadi karena selain dikenal sebagai akademisi dan aktivis, dia (ketika itu) juga andalah sosok politisi andal; bahkan sekarang pun!

Nah, siapa sesungguhnya tokoh itu? Lahir dari keluarga santri, di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus 1958, Muhammad Sirajuddin Syamsuddin menjejakkan kakinya begitu kokoh.

Prestasinya berjajar. Kendati dia memulainya dari kondisi sangat terbatas. Kehidupan desa yang teduh, jauh dari bising metropolitan, telah menempa jiwanya dengan nilai-nilai agama.

Dia pun tumbuh menjadi sosok matang, menjelma menjadi pribadi yang kian dewasa membaca kehidupan; bekal tak ternilai bagi perjalanan hidupnya kelak kemudian hari.

Setapak demi setapak ia gapai impiannya. Din Syamsuddin—panggilan karib Muhammad Sirajuddin Syamsuddin–lalu berdiaspora, melanglang dari satu tempat ke tempat lainnya.

Pondok Pesantren Modern Gontor di Ponorogo Jawa Timur menjadi pelabuhan pertamanya, berlanjut ke Ibu Kota Jakarta menempuh pendidikan tingginya di IAIN Syarif Hidayatullah, lalu kurang lebih 10 tahun menimba ilmu di Negeri Uncle Sam, di University of California Los Angeles (UCLA), hingga akhirnya ia meraih gelar Ph.D. di bidang Islamic Studies.

Kini, namanya tak lagi asing di dunia akademik dan dakwah Islam. Ia adalah seorang aktivis sejati, yang mengabdikan nyaris seluruh hidupnya untuk kemajuan peradaban Islam di Indonesia.

Ia juga akademisi, Guru Besar Pemikiran Politik Islam UIN  Syarif Hidayatullah, Jakarta. Serasa lengkap label yang ia sandang. Dua periode ia memimpin salah satu ormas terbesar di Indonesia: Muhammadiyah. Lalu menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Namanya menggurat. Menembus batas-batas lokal. Mengikatkan diri ke dalam jaringan intelektual secara global.  Gagasan-gagasan besarnya untuk menegakkan Islam kemajuan yang moderat, inklusif, dan modern–menyatu dengan umat, menyatu dengan bangsa–telah melarutkan dirinya dalam gerak ikhtiar menciptakan perdamaian dunia melalui forum-forum dialog antariman dan peradaban yang  ia gagas bersama tokoh-tokoh agama dunia.

Din Syamsuddin, tak pelak, adalah sosok istimewa. Seorang santri, cendekiawan, sekaligus ulama modern tanpa serban.

Tentu, figur fenomenal ini tidak lahir dari kemanjaan. Ia dibentuk oleh perjuangan, doa, dan kuatnya tekad  untuk mencapai cita; lorong panjang perjalanan hidup yang layak menjadi inspirasi bagi banyak orang, menjadi  teladan mulia bagi kaum muda Islam Indonesia.

Saudaraku, apakah dia seorang radikal? Labeling itu jelas salah besar. Namun sebagai aktivis, dia mungkin punya kedekatan dengan kelompok mana pun, rasanya amat wajar. Apalagi jejaknya menujukkan dia pandai bergaul dengan siapa pun. Yang dia bela mungkin bukan orang atau kelompok, tapi kebebasan dan kemanusiaan. [Deden Ridwan]

Check Also
Close
Back to top button