“Percikan Agama Cinta” : Mendekap Agama Tapi Membiarkan Diri Miskin Makna

Kita cenderung lupa, bahwa akidah (īmān) baru menjadi rahmat jika dibungkus dengan iḥsān (cinta). Sayangnya, spirit iḥsān (cinta) ini sering terlupakan, tertelan riuh-rendah keagamaan yang bergemuruh di atas permukaan.
JERNIH—Saudaraku,
Iḥsān adalah puncak beragama. Iḥsān identik dengan beribadah penuh cinta kepada-Nya sebagai tujuan hidup; dan berakhlak mulia sebagai tujuan Risalah Nabi Saw.

Jadi, iḥsān sesungguhnya adalah cinta yang melahirkan akhlak. Kalau orang beribadah, akhlaknya kurang, akhirnya fiqih (syariah) dijadikan sebagai alat bertengkar. Demikian pula orang beriman, merasa dirinya beriman dan akidahnya kuat-lurus (salīm al-aqīdah), tapi akhlaknya “minus”, akidah ini yang menjadikan mereka bermusuhan.
Maka, di mana-mana umat pun ribut berdebat soal akidah (īmān) dengan penuh kebencian, dan bahkan menganggap kelompoknya masing-masing merasa paling benar. Kita cenderung lupa, bahwa akidah (īmān) baru menjadi rahmat jika dibungkus dengan iḥsān (cinta). Sayangnya, spirit iḥsān (cinta) ini sering terlupakan, tertelan riuh-rendah keagamaan yang bergemuruh di atas permukaan. Miskin makna. [Deden Ridwan]