“Percikan Agama Cinta”: Pencuri Pepaya dan Korbannya yang Bijak
Usut punya usut, ia malah memikirkan betapa susahnya orang yang mencuri itu. Harus bersembunyi pada tengah malam hari supaya tidak ketahuan, dan harus memanjat dalam keadaan gelap. Susah payah untuk memetiknya. Perlu perjuangan.
JERNIH– Saudaraku,
Sohibul hikayat kisah ini adalah canggah kami, yang tersambung turun temurun, hingga kepadaku dan kini tiba di hadiratmu.
Suatu hari di bulan Sya’ban. Ia mendapati pohon pepaya di pekarangan rumahnya berbuah. Kendati hanya beberapa buah saja, tapi ternyata sudah siap dipetik.
Keesokan hari ketika hendak memetik, rupanya buah-buah itu hilang dicuri orang. Canggah kami pun merasa sedih, dan istrinya merasa heran, karena melihat suaminya murung lantaran pepayanya dicuri orang.
Usut punya usut, ia malah memikirkan betapa susahnya orang yang mencuri itu. Harus bersembunyi pada tengah malam hari supaya tidak ketahuan, dan harus memanjat dalam keadaan gelap. Susah payah untuk memetiknya. Perlu perjuangan.
Tak kehabisan akal. Canggah pun sengaja meminjam tangga untuk ditaruh di bawah pohon, hanya demi memudahkan jikalau sang pencuri itu datang lagi.
Namun pada esok hari, canggah mendapati buah pepayanya masih ada. Tangga itu pun tidak bergeser sama sekali. Alhasil beliau bersabar dan berharap pencuri itu akan datang lagi malam berikutnya.
Namun hari-hari berikutnya juga tetap saja buah pepaya itu masih ada di tempat. Kala senja, ada seorang pemuda datang bertandang sembari menenteng beberapa buah pepaya besar di tangan. Tamu ini, belum pernah dilihat oleh canggah kami sebelumnya.
Singkat cerita. Setelah berbincang cukup lama dan ketika pemuda itu hendak pamit, ia dengan sangat menyesal mengaku telah mencuri pepaya itu. Pun memohon maaf.
Sebenarnya pada malam sebelum itu, ia hendak mengambil buah pepaya yang tersisa. Namun ia segera tersadar ketika melihat ada tangga. Ia pun tersentuh hatinya dengan kebaikan sang pemilik pohon karena kearifan dan kesabarannya.
Semenjak itu, ia bertekad takkan mencuri lagi. Maka untuk itu, ia pun berikrar mengembalikan pepaya canggah kami–sebagai penebus kesalahan, dengan membeli pepaya itu ke pasar.
Saudaraku, renungkanlah. Dengan kelembutan hati, ternyata sang pencuri menjadi terkilik. Ingat. Itu terjadi bukan karena teriakan takbir yang menggema di atas podium. Bukan. Ia terkitik justru karena keagungan cinta. [Deden Ridwan]