POTPOURRI

“Hai Harun Al-Rasyid, Engkau Lebih Zuhud Daripadaku”

Fudhail membalas, “Engkau lebih zuhud dariku. Karena zuhudku terhadap dunia dan ia memang sesuatu yang fana, sedangkan zuhudmu terhadap akherat, padahal ia abadi.”

JERNIH– Sejak meninggalkan dunia maksiat, wali sufi Fudhail bin Iyadh menekuni berbagai ilmu agama, terutama hadits. Ia berguru dari banyak ulama pada masanya. Di antaranya adalah Sufyan ats-Tsauri, al-A’masy, Manshur bin Mu’tamir, dan Hisyam bin Hassan. Beberapa nama lain seperti Sulaiman at-Taimy, ‘Auf al-‘Araby, ‘Atha’ bin as-Saaib, serta Shafwan bin Salim menjadi guru-guru Fudhail.

Akhirnya Fudhail dikenal sebagai pakar ilmu hadits, dan kepadanya sempat berguru beberapa ulama besar, bahkan imam mazhab, seperti Imam Syafi’i, Ibnu al-Mubarok, al-Humaidy, Yahya bin al Qaththan, Abdrurrahman bin Mahdi, Qutaybah bin Sa’id, serta Bisyr al Hafy.

Suatu ketika, Fudhail bertanya kepada seseorang, “Berapa usiamu sekarang?”

“Saya 60 tahun,” jawabnya.

“Kalau begitu, sejak 60 tahun lalu engkau berjalan menuju Rabbmu dan mungkin hampir sampai kini,”kata Fudhail.

Orang yang ditanya kemudian mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raajiun.”

Mendengar itu, Fudhail kembali bertanya, “Apakah engkau tahu makna perkataan yang baru saja engkau ucapkan?”  Orang itu menggelengkan kepalanya.

“Barangsiapa yang memahami bahwa semua manusia adalah milik Allah dan kepada-Nya akan kembali, maka hendaklah menyadari pula, mereka akan dimintai pertang-gungjawaban. Maka, hendaklah mempersiapkan diri dengan memperbaiki akhlak dan perbuatannya. Berharaplah agar Allah mengampuni kesalahan masa lalu. Akan tetapi, bila tetap melakukan keburukan, sungguh termasuk orang-orang yang merugi.”

Fudhail juga kerap menasihati murid-muridnya perihal keutamaan ikhlas. Menurut dia, rasa ikhlas merupakan kunci ketenteraman hidup. Popularitas di tengah manusia tidak berarti apa-apa bila hal itu justru melupakan diri dari mengingat Allah.

“Jika engkau mampu untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Engkau tidak akan merugi walaupun tidak dikenal. Engkau pun tidak akan merugi walaupun tidak dipuji. Engkau tidak akan merugi walaupun kamu tercela di mata manusia, asalkan dalam pandangan Allah engkau terpuji.”

Nasihat lainnya berkenaan dengan bahaya riya. Fudhail mengingatkan, janganlah ibadah menjadi alat untuk meraih simpati manusia. Hendaknya setiap amal ibadah yang kita lakukan di dunia semata-mata hanya karena Allah Ta’ala.

“Engkau berhias untuk manusia, bersolek untuk mereka, dan engkau terus berbuat riya sehingga mereka mengenalmu sebagai orang yang saleh. Mereka melaksanakan kebutuhan engkau, melapangkan tempat duduk untuk engkau, dan berinteraksi dengan engkau karena mereka salah duga selama ini. Keadaanmu benar-benar buruk jika demikian adanya (riya).”

                                                **

Suatu hari Fudhail yang memiliki pembantu yang pandai bernama Ibrahim bin Al-Asy’ats dan seekor keledai, berkata, “Sungguh aku mengetahui diriku benar-benar maksiat kepada Allah melalui bumknya perangai pembantu dan keledaiku.”

Fudhail juga bekerja mengurusi kesejahteraan air minum para jamaah haji di samping mengurusi kebutuhan keluarganya. Fudhail berkata, “Engkau telah menjadikan aku dan keluargaku lapar dan Engkau biarkan aku berada dalam kegelapan malam tanpa lampu. Sesungguhnya Engkau melakukan seperti halnya terhadap para kekasih-Mu. Lalu dengan kedudukan apakah aku mendapatkan semua ini dari-Mu?”

Fudhail selalu mengingat cerita perbincangan Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Rasulullah SAW. Saad meminta Nabi SAW, “Berdo’alah kepada Allah agar aku menjadi orang yang do’anya dikabulkan.”

Rasulullah SAW menjawab, “Hai Sa’ad, bersihkanlah makananmu, niscaya do’amu dikabulkan. Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya seseorang manakala memasukkan ke dalam dirinya makanan haram, maka ibadahnya ditolak selama empat puluh hari. Dan siapa saja yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, maka neraka paling layak baginya.” Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, tidak menerima, kecuali yang baik.”

Mengenai ibadah Fudhail pernah berkata, “Seorang hamba tidak akan mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang lebih baik daripada ibadah fardhu. Ibadah fardhu adalah modal, sedangkan nawafil (amalan sunnah) adalah keuntungan.”

Ucapannya ini dipetik dari sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits qudsi yang beliau riwayatkan dari Rabbnya, “Barangsiapa memusuhi wali (kekasih)-Ku, maka Aku menyatakan perang dengannya. Tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai dari apa yang Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba-Ku akan selalu bertaqarrub kepada-Ku dengan amal-amal sunnah sampai Aku mencintainya. Bila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia berbuat, serta menjadi kakinya yang dengannya ia melangkah. Manakala ia meminta kepada-Ku, Aku sungguh memberinya dan jika memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku benar-benar memberinya perlindungan.” (Muttafaq ‘alaih).

                                                **

Fudhail memberi sangat membenci kekuasaan politis. Mengenai hal ini Fudhail berkata, “Seseorang mendekati bangkai yang berbau busuk jauh lebih baik daripada mendekati mereka, para penguasa.”  

Ia juga berkata, “Seandainya ulama bersikap zuhud terhadap dunia, pasti leher-leher para penguasa tiran akan tunduk kepada mereka.”

Fudhail pernah memberi nasihat kepada Imam Suryan bin ‘Uyainah, seorang ulama besar, “Kalian, wahai para ulama, adalah lampu yang menerangi negeri. Tetapi, kemudian kalian menjadi lapisan kegelapan. Kalian adalah bintang yang dijadikan pedoman, namun setelah itu kalian menjadi sesuatu yang membingungkan. Tidakkah seseorang dari kalian malu kepada Allah bila datang kepada para penguasa lalu mendapatkan harta dari mereka, sementara ia tidak mengetahui dari mana asalnya harta itu.

Kemudian ia kembali mengajar dengan bersandar pada mihrab seraya berkata, “Si Fulan telah raenceritakan kepadaku dari Si Fulan.” Ia juga berkata, “Mengapa kalian mendekati para penguasa? Padahal betapa besar pemberian mereka kepada kalian; mereka telah meninggalkan jalan akhirat untuk kalian, sementara kalian justru berdesak-desakan di atas jalan dunia.”

Harun al-Rasyid  berjalan di jalan kemewahan hidup, namun terkadang ia memiliki rasa takut yang sangat kepada Allah. Ia berkata kepada Fudhail, “Betapa zuhudnya engkau.” Fudhail membalas, “Engkau lebih zuhud dariku. Karena zuhudku terhadap dunia dan ia memang sesuatu yang fana, sedangkan zuhudmu terhadap akherat, padahal ia abadi.” [ ]

Back to top button