“Percikan Agama Cinta”: Saat Pewaris Nabi Satu Persatu Pergi
“Jadi, kenapa saya Syiah? Gus Dur-lah yang harus bertanggung jawab, karena saya di-Syiah-kan oleh Beliau,” demikian guyonnya pada suatu hari.
JERNIH– Saudaraku,
Sedari 2020 hingga Februari 2021 ini, umat Islam Indonesia kehilangan banyak ulama kampiunnya. Ya, ulama yang terbilang sepuh maupun muda usia. Indonesia bersedih.
Kiwari, kita terpaksa harus merelakan lagi kepergian seorang cendekiawan Muslim, Jalaluddin Rakhmat, juga lazim disapa Kang Jalal, untuk selamanya pada Senin, (15/2), dalam usia 71 tahun. Menyusul sang istri yang berpulang empat hari sebelumnya.
Sungguh, sebuah kepulangan yang teramat sangat manis tuk dikenang. Kita merasa kehilangan sosok cendekiawan sekaligus ulama lintas batas atau madzhab ini.
Ketahuilah. Semasa hidup di dunia, Kang Jalal merupakan sosok cerdas nan memukau. Mahasiswa tingkat dasar mengenalnya sebagai tokoh komunikasi papan atas. Orator ulung. Kalangan aktivis menahbisnya sebagai pemomong sejati. Sementara masyarakat minoritas Syiah, harus berterimakasih atas jasa besarnya mendirikan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) pada Juli 2000.
Kendati begitu, ia tetap dikenang sebagai pribadi padi yang rendah hati, sopan santunnya terpuji, humoris, dan selalu ramah pada siapa pun. Itu karena prinsip yang dipegangnya: mengutamakan kepentingan bersama. Di samping itu, ia dikenal sebagai sosok yang pandai berdebat. Banyak lawan bicara bertekuk-lutut tatkala berhadapan dengannya.
Sejak muda, Kang Jalal dibesarkan dalam kalangan Nahdliyin, kemudian aktif di gerakan Muhammadiyah. Ia meraih gelar master komunikasi dari Iowa State University dan doktor ilmu politik dari Australian National University dan UIN Alauddin, Makasar.
Bergabung menjadi staf pengajar Unpad sejak 1978. Lalu kemudian terjun ke kancah politik pada 2013, dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Simaklah. Wakil Katib Syuriyah PBNU, Sa’dullah Afandi, punya kronik menarik tentangnya. Saat itu, tepat pada 1997, ia ditugaskan redaktur Warta NU guna mewawancarai Kang Jalal secara khusus, di Bandung.
Usai wawancara, ia memberanikan diri bertanya secara pribadi. “Kang, kenapa Anda seorang Muhammadiyah kok ‘hijrah’ ke Syiah?”
Kang Jalal pun kemudian membuka cerita. Bahwa dia—yang saat itu sudah menjadi mubaligh mentereng di Muhammadiyah—telah bertahun-tahun mengisi pengajian bulanan di RS Yarsi Jakarta. Tentu kajian tentang ke-Muhammadiyah-an yang selalu disampaikan.
Namun, ketika pendiri RS tersebut meninggal, ia diundang pengajian yang jamaahnya sebagian besar ibu-ibu tersebut, ternyata ada tahlilan juga.
“Wah, saya telah gagal me-Muhammadiyah-kan jamaah pengajian ini,” gumam Kang Jalal saat itu, bercampur bingung, kaget, tertawa, juga kecewa.
Jamaah pengajian Yarsi itu, mayoritas adalah pendatang dari Jawa yang sudah terbiasa dengan tradisi tahlilan di daerah asalnya. Menurut Kang Jalal, mereka sudah tak berpikir lagi bahwa amalan tersebut sebagai perbuatan bid’ah, tetapi justru menjadi bagian dari kearifan lokal yang sudah turun-temurun dilakukan demi mendoakan orang yang sudah meninggal.
Kang Jalal pun akhirnya “curhat” tentang kekecewaannya itu kepada Gus Dur. Seperti biasa, Presiden ke-4 RI ini hanya tertawa. Bukannya mengajak kembali ke NU, tapi justru merekomendasikan putra Kang Jalal untuk belajar Syiah ke Iran—ketika ia meminta rekomendasi Gus Dur—yang saat itu sebagai Ketua Umum PBNU—untuk beasiswa putranya.
Tak cukup sampai di situ, Gus Dur bahkan juga mengantar Kang Jalal dan putranya ke Iran, menitipkan langsung kepada ulama Syiah di sana.
Dalam perjalanan pulang dari Iran, Kang Jalal pun terlibat obrolan serius dengan Gus Dur.
“Gus, kenapa anak saya harus belajar ke Iran?” “Begini, Kang, Sampeyan kan kecewa menjadi mubaligh Muhammadiyah yang nggak direken jamaah, yang sudah puluhan tahun Sampeyan bina. Mending Sampeyan belajar Islam Syiah saja.”
“Kenapa nggak diajak ke NU, Gus?” tanya Kang Jalal, penasaran.
“Di NU itu sudah banyak kiai yang alim dan pintar ngaji kitab kuning. Sampeyan nanti paling cuma jadi santri, jadi jamaah mereka. Tapi kalau di Syiah, sampeyan pasti jadi tokoh.” Kang Jalal kaget. Gus Dur hanya terkekeh. Akhirnya, mereka pun tertawa bersama.
Sejak itulah, Kang Jalal sering diundang ke Iran, mengikuti kegiatan dan pertemuan internasional di negeri Persia tersebut. Sebagaimana yang disampaikan Gus Dur, kemudian ia pun menjelma jadi tokoh utama Syiah Indonesia.
Kang Jalal tak memungkiri, itu semua adalah “berkah” dari Gus Dur, yang telah membuka jalannya masuk ke Iran.
“Jadi, kenapa saya Syiah? Gus Dur-lah yang harus bertanggung jawab, karena saya di-Syiah-kan oleh Beliau,” demikian guyonnya pada suatu hari.
Selamat jalan, Kang Jalal. Jejak karya-karyamu menjadi warisan intelektual-spiritual abadi. Sangat berharga. Mugiya bagja salawasna… [Deden Ridwan]