“Percikan Agama Cinta” : Syamsuddin, Matahari Penerang, Penguat Hayat
Syamsuddin bukanlah sekadar mantan seorang birokrat di lingkungan Kemenag yang berkarir cemerlang, melainkan mewujud menjadi sosok mata air keteladanan: mengajarkan tentang makna seni seorang pemimpin dalam melayani publik melalui kanal pengabdian berbasiskan pengorbanan. Ia mengajarkan pula tentang makna amanah sebuah kuasa di tengah kegaduhan korupsi yang merajalela di negeri ini.
JERNIH– Saudaraku,
Rabu, 21 April 2021, tepat pada Hari Kartini, aku diundang oleh sahabat lama, kawan seperjuangan, bernama Hasan M. Noer. Dia dikenal sebagai seorang penulis “gaek”, aktivis, dan juga direktur sebuah penerbitan buku yang sudah dijalaninya dengan penuh cinta selama puluhan tahun.
Ya, sosok Hasan ini jalan hidupnya senafas denganku: menjadikan gestalt dunia buku–tepatnya dunia konten–sebagai ladang mencari nafkah sekaligus pengabdian. Karena aku yakin, dunia konten itu bukan sekadar peristiwa ekonomi, tapi juga perkara budaya. Tanpa kesadaran literasi yang berbasiskan konten, arah kehidupan bangsa ini dipastikan amburadul: saling benci dan ancam, minus keadaban. Tengoklah kehidupan saat ini. Mengerikan sekaligus menyedihkan. Itu terjadi karena tuna budaya listerasi sejak dalam gerak fikir dan hati.
Ketahuilah. Sore itu sahabatku Hasan punya hajatan istimewa. Digelar di Hotel Takes Mansion, Kawasan Kebun Sirih, Jakarta Pusat. Penyelenggaranya: Puslitbang Pendidikan Agama Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI. Syaikh Hasan, demikian biasa aku memanggilnya dengan nada guyon, baru saja merilis (bersama Syamsuddin) sebuah buku menarik yang berjudul: “Tiada Pernah Menyerah!” Ditilik dari judulnya buku itu pasti sangat menginspirasi. Aku yakin buku itu ditulis dari kisah nyata (true story) dengan mengambil genre perjalanan hidup seseorang.
Benar, dugaanku. Buku itu ternyata sungguh sebuah inspiring story. Diangkat dari kisah nyata pergulatan hidup seorang anak manusia bernama: Syamsuddin. Aku percaya, menyimak cerita di suatu sore yang penuh ceria itu, karakter Syamsuddin bukanlah “manusia biasa”. Ia adalah sosok pribadi tangguh: berjuang sepenuh hati demi memperbaiki nasib hidupnya yang penuh onak duri dan nestapa.
Simaklah. Menyelami kisahnya, aku seolah diajak terbang ke alam kesadaran-spiritual yang terhampar di langit cahaya. Tatkala mendarat di suatu ruangan hotel berbintang yang dipenuhi para hadirin, emosi jiwaku tiba-tiba terengkuh. Mengalirkan lautan makna yang membasuh kering-kerontang drama sebuah denyut.
Percayalah. Tak terasa air mata pun menetes. Mengingatkanku pada sebuah pertarungan hidup serupa. Pastilah Syamsuddin-Syamsuddin lain bertebaran di mana-mana: menginspirasi dan memotivasi; membangun rasa antusiasme dan kemerdekaan ide; menggugah keberanian menghadapi tantangan demi menaklukan sekaligus melayani dunia berbasiskan kasih-sayang.
Renungkanlah. Di suatu sore menjelang buka puasa, para hadirin peserta diskusi yang berjumlah 30 orang–juga para pembaca buku ini–pasti tersadarkan tentang makna sebuah perjuangan hidup. Syamsuddin bukanlah sekadar mantan seorang birokrat di lingkungan Kemenag yang berkarir cemerlang, melainkan mewujud menjadi sosok mata air keteladanan: mengajarkan tentang makna seni seorang pemimpin dalam melayani publik melalui kanal pengabdian berbasiskan pengorbanan. Ia mengajarkan pula tentang makna amanah sebuah kuasa di tengah kegaduhan korupsi yang merajalela di negeri ini.
Untuk menangkap pesan-pesan moral yang diharapkan bisa menjadi mata air keteladanan seorang Syamsuddin, engkau bisa menyelami isi bukunya dari hati ke hati, lalu pejamkan matamu sejenak, kemudian tatap kehidupan sehari-hari dengan mengalir. Pasti engkau akan merasakan getarannya.
Saudaraku, kisah di buku ini adalah cermin. Output-nya adalah inspirasi. Tak ada ruang kritik untuk jenis buku semacam ini. Tempat engkau merengkuh nilai-nilai cinta untuk melanjutkan penjelajahan hingga di ujung waktu. Setiap cerita yang mengasyikkan sekaligus meyakinkan, pasti akan memberikan sebanyak mungkin pencerahan bagi setiap pembaca sesuai seleranya. Pun setiap buku bergizi akan selalu jadi teman sejati demi memperbaiki kualitas diri. [Deden Ridwan]