“Percikan Agama Cinta”: Tidak Sekadar Mata Uang Paling Likuid, Kejujuran Pun Membawa Selamat
Pentolan perampok pun terheran. Lalu bertanya pada Abdul Qadir tentang apa yang membuatnya begitu saja mengaku tentang harta yang ia bawa. Abdul Qadir pun menjawab bahwa ia teringat pesan sekaligus janji pada ibunya agar selalu jujur.
JERNIH– Saudaraku,
Pada suatu hari nan berbahagia, Syeikh Abdul Qadir al-Jailani (l. Amol, 17 Maret 1078–w.Bagdad, Februari 1166) pernah ditanya oleh muridnya, yakni Syeikh Muhammad bin Qaid Al-Awani, tentang bagaimana membangun kesuksesan hidup. Seketika itu, beliau pun menjelaskan bahwa dirinya menjunjung tinggi kejujuran. Dengan memegang teguh kejujuran, Syeikh Abdul Qadir selamat dari perbuatan jahat para perampok saat ia dalam perjalanan menuntut ilmu ke Baghdad.
Saat masih kecil, Abdul Qadir meminta izin pada ibunya pergi ke Baghdad guna menggali ilmu keislaman agar lebih sempurna. Kitab “Futuhul Ghaib” yang juga dikutip dalam “Samudera Hikmah” Syeikh Abdul Qadir al-Jailani menuliskan, bahwa beliau pertama kali masuk kota melingkar ini pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mustadhir Billah Abdul Abbas Ahmad bin Al-Muqtadi bin Amrillah Abul Qasim Abdullah Al-Abbasiy pada 488 Hijriyah (1095 Masehi).
Kendati berat hati, sang ibu pun mengizinkan dan memberi uang sebagai bekal dalam perjalanan—sebanyak empat puluh dinar. Diselipkan dalam lipatan pakaian di bawah ketiaknya. Sebelum berangkat, ibunya berpesan agar Abdul Qadir senantiasa jujur dalam kondisi apa pun.
Ia pun kemudian berangkat dengan rombongan kecil kafilah yang hendak menuju Baghdad. Saat sampai di wilayah Hamdan, rombongan itu dihadang para perampok. Mereka merampas harta benda semua orang yang turut bersama kafilah, kecuali Abdul Qadir. Mungkin karena ia dianggap masih terlamapau kecil untuk memilik harta benda.
Menyadari kekeliruan para perampok itu, Abdul Qadir mendekati salah seorang dari mereka, dan memberitahu bahwa ia membawa uang empat puluh dinar. Lantas menunjukkan di mana letak uangnya disimpan. Namun perampok itu malah meragukan ucapan Abdul Qadir dan menganggapnya hanya sebagai gurauan belaka. Ketika perampok lain bertanya tentang hal serupa, Abdul Qadir tetap menjawab seperti yang diutarakan sebelumnya.
Hingga kemudian kedua cecunguk itu melapor kepada pemimpinnya. Ia segera menghampiri Abdul Qadir dan menanyakan tentang harta yang dibawanya. Anak kecil itu kembali menjelaskan bahwa dirinya membawa uang empat puluh dinar yang diletakkan dalam lipatan baju. Pimpinan perampok pun lantas merobek jahitan baju yang berada di bawah ketiak Abdul Qadir, dan membuktikan apa yang telah ia dengar itu.
Pentolan perampok pun terheran. Lalu bertanya pada Abdul Qadir tentang apa yang membuatnya begitu saja mengaku tentang harta yang ia bawa. Abdul Qadir pun menjawab bahwa ia teringat pesan sekaligus janji pada ibunya agar selalu jujur. Sebab itulah ia memberitahu harta yang dibawanya pada perampok.
Demi mendengar jawaban tersebut, pimpinan perampok itu tersungkur dan menangis sejadi-jadinya. Ia pun langsung menyatakan tobat atas perbuatannya. Seketika anak buahnya pun mengikuti bertobat dan mengurungkan niat merampok harta benda rombongan yang hendak pergi ke Baghdad. Malahan, pimpinan rampok itu menghiba pada Abdul Qadir kecil agar menerima mereka sebagai muridnya. [Deden Ridwan]