“Percikan Agama Cinta”: Trong Kohkol Kabeh Morongkol, Dur Bedug Justru Murungkut
Mereka menudingnya sesat lantaran adzan bukan pada waktu shalat fardhu. Mereka menuduhnya menjalankan ajaran bid’ah. Mereka memaksanya keluar dari langgar untuk segera mendapat penghakiman.
JERNIH—Saudaraku,
Syahdan. Seorang pemuda mengumandangkan adzan pada Shubuh yang dingin. Memang tak ada hujan atau angin musson dari barat. Namun para lelaki dewasa di kampung itu, nampaknya tengah asyik terlelap dibalik kemul selimutnya. Lantas mereka pun alpa menghadiri shalat di langgar, yang kesepian. Pemuda kita yang sudah memungkasi iqamahnya, terpaksa maju ke mihrab. Itu bukan kali perdana ia tampil menjadi imam tanpa makmum.
Usai salam, ia tepekur sejenak. Fajar sudah merekah di ufuk timur.
Manakala matahari telah naik sepenggalahan, pemuda kita adzan kembali. Ya, azan tersebut tentu di luar kelaziman karena di luar waktu shalat.
Belum lagi sempat ia rampungkan panggilan shalat itu, datanglah berbondong-bondong lelaki dewasa mendampratnya. Mereka menudingnya sesat lantaran adzan bukan pada waktu shalat fardhu. Mereka menuduhnya menjalankan ajaran bid’ah. Mereka memaksanya keluar dari langgar untuk segera mendapat penghakiman.
Tapi pemuda kita tetap tenang. Keriuhan itu redam dengan sederet kata yang ia ungkapkan.
“Bagaimana saya bisa dituding sesat, padahal ketika sudah saya kumandangkan adzan pada Shubuh tadi, tapi tak satu pun dari kalian yang hadir di langgar. Pantaskah saya bertanya pada saudara sekalian, ajaran apa yang saudara anut hingga mau menghadiri panggilan adzan selain waktu shalat fardhu?”
Demi mendengar kalimat tersebut, barisan lelaki itu mundur teratur. Kepala mereka tertunduk malu. Wajahnya bersungut-sungut. Mungkin mereka baru tersadar, betapa selama ini ada yang salah dari cara mereka berislam. Ada yang keliru dari iman yang mereka yakini. [Deden Ridwan]