Solilokui

Pidato Imajiner Anies Baswedan Merespons Pengumuman Komisi Pemilihan Umum Tentang Hasil Pilpres

Lalu jika Anda bertanya, apa sikap kami? Sikap kami adalah membiarkan segalanya berjalan. Silakan! Situasi yang taken for granted, yang memaksa dengan segala kekuatannya, telah membuat kami berada tubir bala. Apakah Anda memaksa kami untuk memberikan ucapan selamat kepada pasangan yang disebutkan sebagai pemenang, sementara semua telah berjalan penuh dengan dusta dan kelancungan? Jangan menuntut kami untuk berlaku gentleman dan penuh etika, sementara atmosfera yang ada pengap dengan dusta dan pura-pura! Silakan berkuasa, bila memang itu yang menjadi dambaan jiwa, yang harus terjadi sebelum Izrail datang menyapa.  

Oleh     : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Assalamualakum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Selamat sore dan salam sejahtera untuk semuanya.

Bapak-Ibu sekalian, saudara-saudara sebangsa setanah air yang saya hormati dan saya cintai,

Hari ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan pengumuman resmi, yang hasilnya dalam versi KPU telah kita ketahui bersama. Apapun penilaian kami tentang hal tersebut, adalah kewajiban kami untuk terlebih dulu memberikan apresiasi kepada KPU yang telah bekerja hingga hasil Pilpres yang sama-sama kita tunggu-tunggu itu dapat kita dengar dan pirsa, sesuai waktu yang ditetapkan.  

Namun Bapak-Ibu dan saudara-saudara sebangsa setanah air,

Bila nila setitik saja bisa membikin rusak susu sebelanga; maka kalau peribahasa itu kita jadikan metafora untuk jalannya Pemilu, terutama Pilpres 2024, Pilpres 2024 sejatinya bukan lagi rusak, melainkan binasa.

Terlalu banyak nila berupa berbagai hal yang secara umum bisa kita sebut sebagai kecurangan, terjadi sebelum, pada dan setelah hari-H pencoblosan suara. Nila-nila kecurangan itu satu demi satu terkuak, membercak di putih bersihnya “kain Pilpres 2024”. Saking banyaknya nila yang membercak, bahkan kita semua yang awalnya mengira bercak-bercak nila kecurangan itu akan mengubah kain putih tersebut menjadi pola polkadot pun, salah menduga. Kain putih Pilpres 2024, ibaratnya telah menjadi kain berwarna nila, dengan sedikit bagian putih di sana-sini.

Dengan kata lain, apa yang kita saksikan membuat kita tak lagi bisa menyebut hal-hal yang terjadi itu sebagai ‘’kecurangan Pemilu” yang bila kita bandingkan bisa seumpama buah-buah melinjo di dalam sayur asam. Yang terjadi, lebih kepada “Pemilu curang”, di mana kecurangan itulah yang menjadi inti, esensi dan ruh Pemilu, terutama Pilpres 2024.

Dimulai dari proses yang memungkinkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden pasangan calon no 02. Sebagaimana kita ketahui, ada drama yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang itu, yang dirasakan banyak warga negara Indonesia bukan hanya tidak elok, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai etis, terutama yang berhubungan dengan Kolusi-Korupsi-Nepotisme (KKN), nilai-nilai yang menjadi amanat Reformasi 1998.  

Di MK, proses itu menimbulkan persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Hasilnya, sebagai Paman Gibran, Anwar Usman, pada saat ia menjadi ketua MK, terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Ini menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan Gibran ke laga Pilpres 2024 memang bermasalah. Sejak itu, Gibran sejatinya telah kehilangan legitimasi demokratis. Wajar, bila proses yang meruapkan bau busuk KKN itu membuat sebuah media massa terkemuka di negeri ini, pada Oktober 2023 itu langsung menyebut pasangan Prabowo-Gibran sebagai contoh kandidat paling buruk dalam sejarah Indonesia modern. Media tersebut menyebut Gibran sebagai “anak haram konstitusi”, dan karena itu—saya kutip verbatim–“seharusnya segera mundur dari pencalonan agar tak semakin merusak tatanan bernegara”.

Di sisi KPU pun urusan pencalonan Gibran ini telah membawa persoalan etik sendiri. Dalam sidang etik yang digelar Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), 5 Februari 2024 atau hanya sembilan hari menjelang hari pencobosan, lembaga itu  memvonis Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan enam komisioner KPU lainnya melanggar etik. Hasyim diberi sanksi peringatan keras terakhir, karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman penyelenggara Pemilu. Mereka dinilai bersalah lantaran menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden  pada 25 Oktober 2023. Padahal ketika itu peraturan KPU masih mengharuskan usia minimal calon ialah 40 tahun.

DKPP memang memutuskan bahwa pencalonan Gibran sebagai kandidat wakil presiden atau wapres tetap sah, kendati KPU terlambat mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Tetapi, selain pencalonannya bermasalah secara etik, fakta itu pun sejatinya bisa menjadi bukti guna menggugat penetapan pencalonan kandidat wapres Prabowo Subianto itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pendaftaran Gibran bermasalah lantaran saat mendaftar belum cukup umur karena aturan baru KPU saat itu belum dikeluarkan.

Namun bukan hanya itu yang membuat proses Pilpres 2024 terlalu kental dengan aroma lancung. Yang juga sangat disayangkan karena terkesan meminggirkan kepentingan dan bersihnya sejarah negeri semata hanya untuk kepentingan politik dinasti, adalah intervensi telanjang dari Presiden Jokowi yang kuat diduga menggunakan alat dan aparat negara untuk memenangkan Gibran.

Terlalu banyak temuan kami sehubungan dengan pelibatan dan atau cawe-cawe aparat negara, termasuk aparat keamanan, ASN serta perangkat desa. Temuan kami itu bahkan juga menjadi temuan publik dan temuan media massa, yang meliput dan menyebarluaskan beragam fakta yang mengiris nurani kita akan masa depan demokrasi Indonesia itu, di media-media mereka. Semua itu meliputi, anta-ra lain, pengumpulan para perangkat desa, apel-apel aparat keamanan, ASN, dan sebagainya, yang diisi antara lain dengan dukungan untuk pasangan calon tertentu. Belum lagi ‘penyelewengan’ dalam bentuk pemberian Bantuan Sosial (Bansos) di luar waktu yang seharusnya sesuai rencana.  

Semua itu seakan-akan sebuah dorongan besar bagi warga Indonesia untuk pesimistis akan masa depan etik dan budaya luhur bangsa ini.  Seakan pembuktian bahwa konstatasi sejarawan-politisi Inggris, Lord John Emerich Edward Dalberg-Acton, atau lebih dikenal sebaga Lord Acton, bahwa “Kekuasaan cende-rung korup, dan kekuasaan absolut pastilah korup (“Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”), menjadi sahih kebenarannya.

Segala pemakaian kekuasaan yang sewenang-wenang itu, seperti melecehkan hati nurani bangsa yang sejak awal pun gandrung dan cinta akan keadilan. Sebab bila tidak, mustahil bangsa ini akan berjuang dengan darah, derita dan air mata untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan dari tangan-tangan kotor dan dzalim para penjajah. Kekuasaan yang bermain saat Pilpres kemarin, tak ubahnya penjajah Inggris yang menindas bangsa dan rakyat Irlandia pada masanya. Yang membuat Perdana Menteri Irlandia, Eamon de Valera, pada 16 Mei 1945 itu berkata lantang kepada Churchil,”Ternyata memang sulit bagi si kuat untuk adil kepada si lemah.” Sayangnya, yang terjadi kemarin-kemarin itu adalah sikap dan perlakuan tak adil dari oknum pemerintah kepada rakyatnya sendiri yang sepenuh jiwa mendamba keadilan.

Bapak-Ibu sekalian, saudara-saudara sebangsa setanah air,

Tentu saja kami tidak akan membiarkan pelecehan atas keadilan dan penghinaan pada hak-hak warga negara tersebut berlalu begitu saja. Ini sama sekali bukan urusan ridho atau tidak, masalah legowo atau bukan. Legowo dan ikhlas hanya berlaku pada saat semua proses berjalan adil dan hak-hak warga pun dihormati dan dimuliakan. Masalahnya lebih kepada tegakah kita memberikan warisan kepada anak-cucu kita berupa cermin sejarah yang tak hanya buruk dari rupa, tapi juga busuk dalam aroma?

Persoalannya, jika Anda tanya apakah kami akan menempuh jalur hukum, yang saat ini hanya tersisa satu-satunya, yakni jalur Mahkamah Konstitusi? Saya katakan dengan lantang dan pasti,”Tidak!”  Kami tidak akan menuntut siapa pun, atau menempuh jalur hukum apa pun. Sebab kami yakin, jalan satu-satunya yang disediakan itu, hanyalah jalur fatamorgana yang pada akhirnya menjerembabkan kami ke jurang untuk kedua kalinya. Pertama di KPU, lalu di MK.

Kami tak akan menuntut diadakannya pemilihan suara ulang, atau juga dengan diskualifikasi yang membuat pasangan 02 hanya melongo sebagai penonton di pinggir lapangan. Kami menyadari harga material yang harus dibayar bangsa ini, oleh kita bersama. Itu akan sangat memberatkan keuangan bangsa yang sejatinya sudah papa. Mungkin, memang kita sebagai bangsa telah mengikhlaskan diri dijadikan bahan guyonan bangsa-bangsa lain di dunia.  

Lalu jika Anda bertanya, apa sikap kami? Sikap kami adalah membiarkan segalanya berjalan. Silakan! Situasi yang taken for granted, yang memaksa dengan segala kekuatannya, telah membuat kami berada tubir bala. Apakah Anda memaksa kami untuk memberikan ucapan selamat kepada pasangan yang disebutkan sebagai pemenang, sementara semua telah berjalan penuh dengan dusta dan kelancungan? Jangan menuntut kami untuk berlaku gentleman dan penuh etika, sementara atmosfera yang ada pengap dengan dusta dan pura-pura! Silakan berkuasa, bila memang itu yang menjadi dambaan jiwa, yang harus terjadi sebelum Izrail datang menyapa.  

Akan halnya perubahan, sejak awal, kami yang peduli akan nama baik sejarah bangsa ini telah bertekad untuk tak akan pernah berhenti. Kita harus berubah  dan memastikan alur jalan bangsa ini benar dan sehat. Bagi kami, semua ini hanya simpang jalan, sebuah ujian akan sikap dan keyakinan.  

Untuk itu kami mengajak semua pihak yang peduli akan masa depan dan kebaikan bangsa ini, mari kita berhenti dan menghirup udara sejenak. Ternyata, saat ini baru pada titik ini kita sampai. Tapi yakinkah, ini bukan akhir perjalanan. Ini hanya titik rehat bagi semua pejuang bangsa yang bergerak dengan kehendak melihat bangsanya menjulang dengan bangga. Kita harus mencari jalan dan upaya lain, tapi yang jelas, haram hukumnya mematikan semangat perubahan yang telah menyala di dada sekian juta warga!   

Harga diri bangsa kita jangan pernah sekali pun berdiri di atas kebohongan, sikap lancung, dan dengan santai melecehkan nilai-nilai kebenaran. Dan itu yang terjadi andai kita semua berhenti. Andai kita semua menangisi titik ini, dengan semangat yang ambrol tanpa sisa.

Kita harus yakin dan bangkit. Kita bersihkan kembali niat, telusuri ulang langkah untuk menemukan di mana, dan apa itu niat yang cenderung jahat. Lalu bangun, menyesap seluruh semangat, dan kembali dalam alur perjuangan. Sebab itulah makna hidup, mulai dari buaian sampai lobang lubur menganga menyilakan.  

Yakinlah, sikap itu akan dicatat tidak hanya oleh dunia saat ini, melainkan juga akan menjadi teladan perilaku anak-cucu kita ke depan. Sebuah bukti bahwa generasi sebelum mereka begitu mencintai mereka, hingga tak rela mewariskan segala kebusukan itu datang sampai kepada generasi mereka, bertahun, berpuluh, bahkan beratus tahun ke depan!

Untuk perjuangan menegakkan keadilan demi bersihnya sejarah bangsa ini, mari kita saling menggetarkan nurani-nurani kebenaran seluruh warga bangsa ini. Agar  semua nurani anak-anak bangsa bergetar dalam resonansi yang sama, untuk meyakini bahwa keadilan itu selalu menjadi pilihan terbaik kita. Sebab rasa keadilan pula yang sejak awal menjadi pengikat, sekaligus tujuan bangsa berdiri dan bertumbuh.

Keadilanlah itulah yang harus menjadi visi bangsa. Visi yang menjamin keberlangsungan dan survive-nya bangsa ini menuju negara-bangsa yang dihargai dan dihormati dunia. Sebab seperti juga diyakini Presiden AS yang bisa menegakkan marwah bangsa itu pada masanya, Franklin Delano Roosevelt,”Bangsa yang tanpa visi, akan musnah.”  Dengan keadilan sebagai visi bangsa, tidak hanya menjamin Indonesia selamat dari kepunahan karena tergolek ke selokan menjadi negara gagal, melainkan pula menjadi garansi akan gemilangnya masa depan.

Jangan takut. Tetapi juga jangan mau ditakut-takuti. Satu-satunya yang harus kita takuti justru adalah rasa takut itu sendiri! Rasa takut untuk berlaku adil dan berjuang untuk keadilan itu, sejatinya telah ada sejak awal peradaban manusia. Ia menyelusup di hati, berembus di telinga untuk menggoyang keyakinan, karena memang itulah godaan yang menjadi perjanjian Tuhan dengan makhluk dzalim yang terusir. Siasat makhluk dzalim itu, bersama wadya balanya dari masa-masa lalu hingga menjelang kiamat pun, memang membengkokkan yang lurus, menyalahkan yang benar. Dan itulah ketidakadilan.  

Perjuangan menegakkan keadilan itu tak perlu ditakuti oleh siapa pun yang mencintai keadilan. Kita semua bukanlah para ekstremis, apalagi teroris yang datang membawa ketakutan dan horror. Berjuang untuk keadilan, tentu saja harus membuat kita tetap memegang teguh, dan berada di jalan keadilan pula. Kita sepakat dengan seorang senator dalam sejarah politik AS, Barry Goldwater,  seorang yang seperti saya, pernah menjadi calon presiden. Dia berkata,”Ekstremisme untuk mempertahankan kebebasan tidaklah patut. Tetapi kelembekan dalam mengusahakan keadilan pun, sama sekali tidak patut!”

Kita akan tetap adil dan patut. Dan kita pun mengimbau dengan kuat agar Presiden Jokowi pun bisa berlaku patut. Kita mengimbau Prrsiden untuk bisa meneladani sikap Presiden Richard Nixon, justru pada saat dirinya tengah berada di tubir akhir pemerintahannya, karena berbuat lancung dalam skandal Watergate.

Namun Presiden Nixon masih bisa berpikir jernih, mendahulukan negara dan bangsanya, dan dengan legowo menyisihkan kepentingan pribadi dan keluarganya yang begitu kecil dibandingkan kepentingan dan marwah Amerika Serikat.

“Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi di Gedung Putih,”kata Nixon, menjamin transparansi pengadilan dan keadilan. Kini kita semua melihat pengorbanan Nixon itu tidak sia-sia. Tak hanya AS yang kemudian bangkit dan melangkah maju, nama baik Nixon pun tak kian terlempar ke maqam yang lebih hina.  Semoga Presiden Jokowi bisa meneadani, hingga ia pun bisa menjadi teladan ke depan.  

Assalamualaikum Warahatullahi Wabarakatuh… [Inilah.com]

Check Also
Close
Back to top button