
Nobel Fisika yang diraih Abdus Salam, Weinberg dan Glashow merupakan unifikasi terpenting sepanjang sejarah Fisika. Hal itu menjadi titik tolak menuju “Grand Unified Theory”, yaitu unifikasi Interaksi Elektromagnetis, Nuklir Lemah dan Nuklir Kuat sekaligus. Lagi-lagi kita dapat melihat peran besar Plato dan Al-Khwarizmi dalam proses unifikasi di atas. Abdus Salam, Weinberg dan Glashow menggunakan Geometri dan Aljabar yang dirintis oleh Plato dan Al-Khwarizmi untuk mencapai prestasi unifikasi mereka yang berbuah Nobel Fisika 1979.
Oleh : Moch Indra Purnama*
JERNIH– Masih dalam suasana Oktober yang dikenal sebagai “Bulan Nobel”, penulis pun teringat akan peran besar Plato dan Ibnu Musa Al-Khwarizmi bagi sejarah peradaban umat manusia.
Apa hubungan Plato, Ibnu Musa Al-Khwarizmi dan Nobel? Hampir seluruh peraih Nobel Fisika sepanjang sejarah menggunakan dua hal penting yang diajarkan oleh Plato dan Al-Khwarizmi. Plato mengajarkan “Geometri” dan Al-Khwarizmi mengajarkan “Aljabar (Algebra)”.
Pada Tahun 375 SM, dalam Πολιτεία (“Politeia“), “The Republic“, buku ke-7, Bagian 2, Plato menulis: “Then, my noble friend, geometry will draw the soul towards truth, and create the spirit of philosophy, and raise up that which is now unhappily allowed to fall down.”
Penting dicatat bahwa istilah “Philosophy” (Filsafat) di masa Plato hidup mewakili berbagai cabang ilmu pengetahuan secara luas. Bahkan hingga Abad XVII, “magnum opus” fisika karya Newton ditulis dengan judul “Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica“. “Philosophiæ Naturalis” dapat diterjemahkan sebagai “Filsafat Alam”.
Sementara itu, Ibnu Musa Al Khwarizmi, pada sekitar Tahun 820 M menuliskan kitab
الكتاب المختصر في حساب الجبر والمقابلة (Al Kitaabu al-Mukhtashaar fii Hisaabi al-Jabbaar wa al-Muqaabalah). Kitab tersebut kemudian populer dengan sebutan sebagai Kitab “Al-Jabbaar” atau “Algebra“.
Melalui Aljabar, Al Khwarizmi menunjukkan metoda umum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai persamaan linear dan kuadratik dengan pengurangan dan penyeimbangan pada kedua sisi persamaan. Metoda Al Khwarizmi tersebut kemudian diperkenalkan ke Eropa oleh matematikawan Italia, Leonardo Bonacci (yang juga dikenal dengan sebutan “Fibonacci”), melalui bukunya “Liber Abaci“.
Ketika penulis menurunkan formulasi Matematis Schrödinger Equation secara live dalam Channel YouTube The Great Karbit, penulis menunjukkan bagaimana Geometri dan Aljabar berpadu mengantarkan pada Schrödinger Equation.
Pada mulanya, Aljabar dan Geometri berkembang secara terpisah. Dalam dialog “Timaeus“, sekitar tahun 360 SM, Plato menulis tentang apa yang kemudian dikenal sebagai “Platonic Solids“. Platonic Solids adalah bentuk-bentuk geometri polihedron reguler konveks dalam ruang Euclidean tiga dimensi.
Plato asosiasikan Platonic Solid Tetrahedron dengan “api”, Kubus dengan “tanah”, Oktahedron dengan “udara”, Ikosahedron dengan “air”, Dodekahedron dengan “material langit”.
Tradisi sejarah Filsafat menyebutkan bahwa diatas pintu masuk Academy Plato tertulis “Να μην μπει κανένας αδαής γεωμετρίας” (Let no one ignorant of geometry enter). Geometri Plato pun dikembangkan lebih lanjut dalam Στοιχεῖα (“Stoikheia“), “The Elements“, yang ditulis oleh Euclid pada sekitar Tahun 300 SM.
Pada Abad XVI, filosof dan matematikawan Prancis, René Descartes, melihat Geometri dan Aljabar sebagai dua disiplin yang berhubungan erat. Melalui Sistem Koordinat Cartesius-nya, Descartes membuat berbagai bentuk geometri dapat dinyatakan secara Aljabar. Begitu pula sebaliknya, melalui sistem koordinat tersebut Descartes pun membuat berbagai persamaan Aljabar dapat dinyatakan secara geometris.
Konversi dari Geometri kedalam Aljabar dan sebaliknya memungkinkan para ilmuwan untuk aplikasikan Geometri dan Aljabar dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Misalnya saja, melalui sistem koordinat Cartesius para ilmuwan dapat mengetahui bahwa garis singgung dari suatu bentuk geometri kurva lintasan terhadap waktu equivalen dengan persamaan Aljabar dari kecepatan sesaat (instantaneous velocity).
Pengetahuan tersebut sangat penting dalam perkembangan ilmu Mekanika dan Fisika secara umum. Melalui sistem koordinat itu pula para ilmuwan dapat membuat proyeksi pertumbuhan penduduk, produksi pangan, pertumbuhan ekonomi, dan lain sebagainya.
Filosof dan Matematikawan Jerman, Wilhelm Leibniz, serta Filosof dan Matematikawan Inggris, Isaac Newton, kemudian membawa Aljabar dan Geometri untuk menemukan Kalkulus yang juga sangat penting dalam revolusi berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Matematikawan, astronom, ahli geografi dan fisikawan Swiss, Leonhard Euler, membawa Aljabar dan Geometri kedalam ranah bilangan kompleks yang didalamnya memuat angka imajiner seperti akar kuadrat dari “-1” (akar kuadrat dari negatif satu).
Perkembangan penting berikutnya dalam Aljabar dan Geometri terjadi di Abad ke-19 ketika dua orang matematikawan Jerman, Carl Friedrich Gauss dan Bernhard Riemann, menginisiasi lahirnya Aljabar Tensor dan Geometri Riemannian yang merevolusi dua millenia “dinasti” Geometri Euclidean.
Aljabar Tensor dan Geometri Riemannian tersebut menjadi alat matematis utama untuk formulasi Relativitas Umum oleh Einstein.
Teori Relativitas Umum memberi sejumlah kejutan. Bukan hanya karena fenomena perlambatan waktu, pembelokan cahaya ataupun keanehan orbit Planet Merkurius yang berhasil dijelaskan di dalamnya, melainkan juga karena Relativitas Umum sepenuhnya dijelaskan dengan Geometri.
Tidak ada “gaya gravitasi” seperti yang dijelaskan oleh Newton.
Tidak ada “Matahari seketika menarik Bumi” atau “Bumi seketika menarik apel” seperti yang dijelaskan oleh Newton. Relativitas Umum menjelaskan bahwa “Bumi mengelilingi Matahari” dan “apel jauh ke Bumi” disebabkan oleh keberadaan “space-time curvature” (lengkungan ruang-waktu). Semuanya dijelaskan secara akurat “hanya dengan” Geometri Riemannian & Aljabar Tensor.
Keberhasilan Geometri dan Aljabar dalam Relativitas Umum untuk menjelaskan gravitasi membuat para ilmuwan di awal Abad XX berpikir tentang penggunaan Geometri dan Aljabar untuk menjelaskan gaya fundamental lain yang telah dikenal luas saat itu, yakni Elektromagnetisme.
Upaya awal untuk menjelaskan Elektromagnetisme Maxwell sebagai dinamika geometris pada ruang “Real” oleh Hermann Weyl mengalami kegagalan. Namun setelah perkembangan Mekanika Quantum, para ilmuwan mulai menyadari bahwa Elektromagnetisme dapat dijelaskan juga sebagai dinamika geometris Quantum, tetapi bukan hanya perubahan ukuran-ukuran geometris dalam “ruang Real”, melainkan perubahan fase dalam “ruang Kompleks” yang melibatkan angka imajiner “i”, yaitu “akar kuadrat dari -1 (negatif 1)”.
Penjelasan Elektromagnetisme berdasarkan Mekanika Quantum tersebut kemudian dikenal sebagai “Quantum Electro Dynamics” (QED). QED dijelaskan melalui konsep Geometri Kompleks dan Aljabar Lie yang kemudian dikenal sebagai Simetri Gauge U(1) yang juga berinteraksi dengan Simetri Gauge SU(2).
QED dengan Geometri Kompleks dan Aljabar Lie tersebut berhasil memberikan ketelitian perhitungan dan eksperimen hingga 1 bagian per 10 Triliun.
Seperti dijelaskan dalam website resmi Max Planck Gesellschaft, Edisi 15 Juni 2022, QED telah memberikan ketelitian pengukuran perbedaan g-factors dua Isotop Helium hingga 13 digit. Itu merupakan ketelitian tertinggi sepanjang sejarah ilmu pengetahuan.
Seiring waktu, bukan hanya Elektromagnetisme yang berhasil dijelaskan dengan Geometri Kompleks dan Aljabar Lie. Interaksi Nuklir Lemah pun berhasil dijelaskan dengan Geometri Kompleks dan Aljabar Lie melalui Simetri Gauge SU (2).
Bila Simetri Gauge U(1) menjelaskan Quantum Electro Dynamics, maka Simetri Gauge SU(2) menjelaskan apa yang diistilahkan oleh para fisikawan sebagai “Quantum “Flavor” Dynamics” (QFD).
Bila pada QED kita mengenal partikel Bosonic pembawa “gaya” Elektromagnetik bernama “Photon”, maka pada QFD kita mengenal partikel Bosonic bernama “W” dan “Z” Bosons.
Istilah “Flavour” awalnya digunakan untuk menggambarkan interaksi “duet” quarks dari “up” dan “down” quarks; “top” dan “bottom” quarks; serta “charm” dan “strange” quarks.
Abdus Salam, Steven Weinberg dan Sheldon Glashow kemudian berhasil menyatukan interaksi Elektromagnetis dan Nuklir lemah sehingga dianugerahi Nobel Fisika pada Tahun 1979.
Adapun Interaksi Nuklir Kuat berhasil dijelaskan dengan Geometri Kompleks dan Aljabar Lie melalui Simetri Gauge SU (3). Interaksi Nuklir Kuat dengan Simetri Gauge SU (3) ini biasa diistilahkan sebagai “Quantum Chromo Dynamics” (QCD).
Istilah “Chromo” digunakan untuk menggambarkan interaksi tri-“warna” quarks yang biasa diilustrasikan sebagai warna-warna “merah, hijau dan biru”.
Kendati demikian istilah “chromo” atau “warna” dalam QCD sama sekali berbeda dengan pengertian warna yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Suatu saat nanti kita dapat membahas pengertian “warna” dalam QCD melalui artikel khusus tersendiri.
Keseluruhan “Standard Model” dalam Quantum Field Theory paling mutakhir saat ini pun dijelaskan melalui Simetri dalam Geometri Kompleks dan Aljabar Lie “SU(3) x SU(2) x U(1)” yang merangkum berbagai interaksi QED, QFD & QCD diatas.
Keberhasilan Abdus Salam, Steven Weinberg dan Sheldon Glashow menyatukan Interaksi Elektromagnetisme dengan Nuklir lemah, menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk menyatukan semua itu dengan interaksi Nuklir Kuat.
Nobel Fisika yang diraih Abdus Salam, Weinberg dan Glashow merupakan unifikasi terpenting sepanjang sejarah Fisika. Hal itu menjadi titik tolak menuju “Grand Unified Theory”, yaitu unifikasi Interaksi Elektromagnetis, Nuklir Lemah dan Nuklir Kuat sekaligus. Lagi-lagi kita dapat melihat peran besar Plato dan Al-Khwarizmi dalam proses unifikasi di atas.
Abdus Salam, Weinberg dan Glashow menggunakan Geometri dan Aljabar yang dirintis oleh Plato dan Al-Khwarizmi untuk mencapai prestasi unifikasi mereka yang berbuah Nobel Fisika 1979.
Tentu Geometri dan Aljabar yang mereka bertiga gunakan sudah jauh lebih kompleks dibanding masa Plato dan Al-Khwarizmi masih hidup. Namun tanpa peran Plato dan Al-Khwarizmi, sulit bagi kita mencapai kompleksitas Geometri dan Aljabar seperti saat ini.
Dari cerita para pendahulu kita, sampai dengan tahun 1960-an atau 1970-an sekolah-sekolah menengah di Indonesia masih menggunakan istilah Mata Pelajaran “Ilmu Ukur (Geometri)” dan “Aljabar”, merefleksikan betapa pentingnya dua warisan besar Plato dan Al-Khwarizmi.
Saat ini nama mata pelajaran, mata kuliah ataupun kurikulum mungkin telah banyak berubah. Kendati demikian pengajaran pengetahuan-pengetahuan Geometri dan Aljabar layak untuk terus dikedepankan bagi para generasi muda kita yang berminat menggeluti Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Tentu keseimbangan dengan pendidikan Seni dan Humaniora juga penting untuk terus ditingkatkan. Semua itu demi masa depan Indonesia yang maju secara ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus menjunjung budaya kemanusiaan dan peradaban yang luhur. [ ]
Soekarno-Hatta, Oktober (Bulan Nobel) 2025
*Penulis, Penerjemah & Aircraft Inspector