
Untuk mendukung kepentingan nasional secara utuh, termasuk memajukan perdamaian dunia, Prabowo perlu memastikan bahwa retorikanya sejalan dengan diplomasi aktif di lapangan: menginisiasi perundingan, menjadi tuan rumah forum damai, serta menjaga hubungan baik dengan semua poros kekuatan dunia tanpa kehilangan otonomi.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Sejak dilantik sebagai presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto telah tampil aktif dalam berbagai forum internasional. Dari pidatonya di ASEAN Summit, pertemuan bilateral dengan AS dan China, hingga pidato terbarunya di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) di Rusia, Prabowo memperlihatkan corak diplomasi yang menarik untuk dicermati.
Ia mengusung retorika multipolarisme, menyuarakan pembelaan terhadap “yang tertindas,” dan mengkritik praktik standar ganda dari negara-negara kuat. Artikel ini menganalisis pidato-pidato Prabowo untuk mengidentifikasi posisi kebijakan luar negerinya, khususnya dalam konteks doktrin non-blok dan bebas-aktif, serta menilai apakah pendekatan tersebut memadai untuk mendukung kepentingan nasional Indonesia.
Simpati Terhadap Rusia–China
Dalam pidatonya di Rusia (Juni 2025), Prabowo menyatakan bahwa mengikuti “yang paling kuat” adalah sebuah kesalahan. Ia memuji Rusia dan China sebagai pemimpin dunia yang tidak memiliki standar ganda dan selalu membela kaum tertindas. Ini bukan kali pertama Prabowo menggunakan bahasa semacam itu. Dalam forum South–South Cooperation 2024 di Jakarta, ia menegaskan pentingnya solidaritas negara-negara berkembang untuk menciptakan arsitektur dunia yang lebih adil.
Kecenderungan ini menunjukkan bahwa Prabowo memosisikan Indonesia sebagai bagian dari “Global South” yang ingin mengoreksi ketimpangan sistem internasional. Retorika ini resonan di tengah kekecewaan negara-negara berkembang terhadap sistem global yang dikendalikan segelintir negara maju. Namun, apakah retorika ini cukup menggambarkan arah kebijakan luar negeri yang strategis?
Prabowo dalam beberapa kesempatan menyebut bahwa Indonesia tetap berpegang pada prinsip bebas dan aktif. Dalam KTT ASEAN 2024, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak berpihak dalam konflik besar dunia, namun akan aktif dalam mendorong perdamaian dan keadilan global. Namun, penekanan pada “keadilan” ini membuat posisinya lebih konfrontatif terhadap Barat dibandingkan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Pendekatan ini tampak seperti modifikasi dari prinsip bebas-aktif: bukan sekadar tidak berpihak, tetapi secara aktif membentuk narasi tandingan terhadap dominasi Barat, sekaligus membangun relasi erat dengan poros Timur—China dan Rusia. Kebijakan ini bisa disebut sebagai “bebas aktif dengan aksen Selatan”.
Konsistensi Sikap di Forum Internasional
-ASEAN Summit 2024 (Laos): Prabowo mendorong sentralitas ASEAN dan menolak segala bentuk intervensi kekuatan besar dalam urusan Laut China Selatan. Ia menyerukan penyelesaian damai dan kerja sama kawasan.
– Kunjungan ke Washington (2024): Di hadapan Presiden AS, Prabowo menekankan pentingnya hubungan dagang dan pertahanan, namun secara hati-hati menghindari komitmen terhadap aliansi strategis atau pakta keamanan.
– KTT BRICS+ 2025 (Brasil): Prabowo memuji inisiatif dedolarisasi dan reformasi tata keuangan global, serta menyuarakan dukungan terhadap sistem multipolar yang setara.
– SPIEF 2025 (Rusia): Pidato paling eksplisit dalam menyatakan simpatinya terhadap Rusia dan China, serta kritik terhadap “kekuatan besar yang mendorong standar ganda”.
Secara umum, terlihat bahwa Prabowo mempertahankan prinsip konsistensi retoris yang menyuarakan keadilan global dan resistensi terhadap hegemoni, tanpa terikat pada satu blok secara formal.
Apakah Pendekatan Ini Memadai?
Dari Segi Kepentingan Nasional: Pendekatan ini memiliki manfaat diplomatik—Indonesia tetap fleksibel dalam memilih mitra dan menjaga otonomi strategis. Namun, kedekatan simbolik dengan Rusia dan China berisiko menimbulkan persepsi keberpihakan yang bisa mengganggu hubungan dengan mitra tradisional seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa.
Dari Segi Perdamaian Dunia: Retorika Prabowo tentang keadilan dan multipolarisme mendukung narasi perdamaian global. Tapi konsistensi Indonesia sebagai fasilitator damai baru bisa diuji bila muncul konflik yang menuntut mediasi aktif. Hingga kini, Indonesia belum memainkan peran signifikan dalam konflik Gaza, Ukraina, atau Laut China Selatan.
Dari Segi Stabilitas Regional: Keberpihakan simbolik terhadap China atau Rusia bisa menciptakan kegamangan di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara ASEAN lainnya mungkin melihat Indonesia kurang netral, terutama dalam isu Laut China Selatan atau hubungan dengan Taiwan.
Kesimpulan: Bebas Aktif 2.0?
Pidato-pidato Prabowo mencerminkan upaya redefinisi kebijakan luar negeri Indonesia: tetap bebas dan aktif, namun dengan semangat koreksi terhadap ketidakadilan global. Pendekatan ini bisa disebut sebagai “Bebas-Aktif 2.0″—yaitu kebijakan luar negeri yang tidak berpihak secara militer, namun berani secara moral dan simbolik. Meski masih membutuhkan konsistensi dalam tindakan nyata, pendekatan ini membuka ruang bagi Indonesia untuk menjadi kekuatan penyeimbang di tengah dunia yang makin terfragmentasi.
Namun, untuk mendukung kepentingan nasional secara utuh, termasuk memajukan perdamaian dunia, Prabowo perlu memastikan bahwa retorikanya sejalan dengan diplomasi aktif di lapangan: menginisiasi perundingan, menjadi tuan rumah forum damai, serta menjaga hubungan baik dengan semua poros kekuatan dunia tanpa kehilangan otonomi. [ ]