Lebih arif menyimak ucapan Ali bin Abi Thalib, “Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat menunaikan kepada penguasa haknya dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka, akan kuatlah kebenaran di antara mereka dan berdiri tegak prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan.”
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, ibadah puasa kita jalani dalam suasana kehidupan publik yang tumbuh dengan berita korupsi dan skandal. Setelah prosesi demokrasi dengan ongkos mahal tak kunjung membawa perbaikan kualitas hidup, suasana saling tuduh meramaikan ruang publik.
Elite penguasa menudingkan telunjuknya ke arah rakyat yang dinilai belum memiliki kesiapan berdemokrasi. Sedangkan rakyat menyangkalnya dengan melimpahkan segala kesalahan pada buta-tuli penguasa.
Lebih arif menyimak ucapan Ali bin Abi Thalib, “Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat menunaikan kepada penguasa haknya dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka, akan kuatlah kebenaran di antara mereka dan berdiri tegak prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan.”
Sumber masalah bangsa ini justru kerusakan menyeluruh basis etika pertanggungjawaban sehingga kelangsungan kuasa dibangun di atas landasan rapuh. Padahal, kian nyata bahwa untuk krisis sedalam dan seluas yang kita alami saat ini, perbaikan prosedur dan popularitas pemimpin saja tak cukup untuk menyelesaikannya. Indonesia harus menyelam lebih dalam, menjangkau dimensi struktural dan spiritual dengan panduan kepemimpinan profetik.
Masalahnya, figur profetik itu tak hadir di sini. Kepemimpinan partai politik bahkan civil society yang mestinya menjadi pusat teladan kewarasan dan keadaban publik (societas civilis) berganti sebagai pusat percaloan kekuasaan dan perebutan proyek.
Dalam kemerosotan figur teladan, tumpuan terakhir adalah penguatan otonomi individu. Seperti sabda Nabi, “Setiap kamu pemimpin dan setiap pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Pada tahap ini, setiap individu harus memasuki fase kekosongan (kasunyatan). Suatu momen transenden yang menisbikan status diri, ikatan primordial dan egosentrisme; dengan kembali ke ketelanjangan kesejatian diri.
Ibadah puasa merupakan suatu usaha pengosongan diri dari kekenyangan, kejumudan dan kerakusan. Situasi kasunyatan merupakan pangkal pemulihan adikrisis dengan membawa manusia ke titik fitrah demi memperkuat basis spiritualitas sebagai pendorong penyehatan politik. [ ]