SolilokuiVeritas

“Purbaya Paradox” di Perumahan Rakyat

Di Indonesia sebaliknya, program perumahan dan permukiman penuh dengan paradoks, bahkan kebohongan. Target PUPR pada tahun 2015 untuk mencapai zero kumuh pada 2019 melalui proyek Kotaku (pinjaman dari Bank Dunia), hasilnya Nol Besar. Hasil sensus 2020 malah menunjukkan permukiman kumuh bertambah luas. Begitu juga proyek-proyek Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) masih menjadi permainan proyek APBN. Tanpa efisensi dan efektifitas mengurangi kumuh dan backlog. Rusunawa masih menggunakan semen kantong (zak) yang sangat mahal. Hasilnya banyak yang mangkrak sehingga membebani fiskal. Kebiasaan berbohong demi permainan proyek ini harus menjadi catatan Menkeu “Koboi” Purbaya untuk segera “ditembak”.

Oleh     : M. Jehansyah Siregar*

JERNIH–Selama sebulan lebih ini “Purbaya Effect” terus meniupkan angin segar di berbagai sektor pemerintahan. Terutama sektor keuangan, pemerintah daerah, pajak dan bea cukai. Di Bandung, efek Menkeu Purbaya tampak dari banyaknya galian buka tutup lubang di jalan-jalan. Itu tanda proyek-proyek belanja pemda berjalan semakin kencang.

Tak lama sebelumnya, “Purbaya Effect” juga berhembus di sektor perumahan dan kawasan permukiman (perkim). Namun, apakah kunjungan Menkeu Purbaya ke kantor Meperkim Maruarar akan membawa angin segar juga? Mari kita bahas, karena beberapa isu yang banyak diberitakan justru menunjukkan “Purbaya Paradox”. Di satu sisi seolah memberi harapan kemajuan ekonomi, namun berpotensi juga menghadirkan masalah yang kurang disadari.

Beliau menyoroti perbedaan kontras antara ruang kerja Menperkim yang luas dan rumah subsidi yang hanya 36 m2. Menkeu minta kalau bisa diperluas menjadi 45 m2 agar menjadi lebih manusiawi. Sepintas, ini pemikiran yang pro-rakyat, namun justru berpotensi sebaliknya, alias menjadi paradoks. Program KPR subsidi yang pro-developer ini hanya menyasar kelompok menengah yang ingin memiliki aset rumah di perkotaan.  Hasilnya, masyarakat berpendapatan rendah yang lebih membutuhkan perumahan rakyat jadi tidak terlayani. Mereka yang tinggal di permukiman kumuh di belakang gedung-gedung megah di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan kota metropolitan lainnya, bukanlah calon pembeli rumah tapak subsidi yang jauh di pinggir kota. Begitu juga dengan keluarga-keluarga muda berpenghasilan UMR, tidak akan terbantu dengan program pemilikan properti yang semakin mahal.

Sebagai standar minimal rumah milik bersubsidi, ukuran 36 m2 atau 9 m2/orang, sebenarnya sudah memadai. Yang penting ukuran tanahnya yang cukup agar masyarakat bisa menambah besar rumahnya. Ukuran tanah yang selama ini terus diperkecil sebaiknya dikembalikan jadi minimal 90 m2. Desain yang ergonomis dan adaptasi manusia bisa membuatnya lebih nyaman dan manusiawi. Jika ditambah menjadi 45 m2, tentu harganya semakin mahal.

Segmen masyarakat penerima manfaatnya semakin sedikit dan “housing backlog” justru bertambah. Sedangkan perumahan rakyat harus memberi manfaat kepada sebanyak mungkin keluarga tak mampu. Semakin minimal standar, semakin banyak rumah subsidi terbangun dengan anggaran yang sama. Kompleksitas perumahan rakyat seperti itulah yang perlu dipahami seorang Menkeu Purbaya, agar tidak membuat kebijakan yang menuai paradoks pembangunan.

Di Jepang, standar perumahan rakyat pada tahun 1960-an sangat rendah hingga 4 m2/orang. Saat itu kebijakannya adalah “quantity first, then quality”. Dengan begitu, bisa diproduksi sebanyak mungkin rumah untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar. Baik kebutuhan sehabis perang dunia maupun akibat industrialisasi. Program ini kemudian diikuti oleh Singapura pada 1970-an dan Korea Selatan pada 1980-an.

Bedanya lagi, perumahan rakyat di negara-negara tersebut memakai model “public housing” berbentuk apartemen sewa murah (di Jepang disebut danchi). Tujuannya untuk menyediakan rumah layak sebanyak mungkin di perkotaan. Angka “housing backlog” efektif diselesaikan melalui produksi “prefabricated housing”. Hasilnya, Tokyo, Osaka dan Nagoya, tiga metropolitan berpenghuni lebih separuh penduduk Jepang, kini sudah mencapai kota berkelanjutan tanpa permukiman kumuh.

Di Indonesia sebaliknya, program perumahan dan permukiman penuh dengan paradoks, bahkan kebohongan. Target PUPR pada tahun 2015 untuk mencapai zero kumuh pada 2019 melalui proyek Kotaku (pinjaman dari Bank Dunia), hasilnya Nol Besar. Hasil sensus 2020 malah menunjukkan permukiman kumuh bertambah luas. Begitu juga proyek-proyek Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) masih menjadi permainan proyek APBN.

Tanpa efisensi dan efektifitas mengurangi kumuh dan backlog. Rusunawa masih menggunakan semen kantong (zak) yang sangat mahal. Hasilnya banyak yang mangkrak sehingga membebani fiskal. Kebiasaan berbohong demi permainan proyek ini harus menjadi catatan Menkeu “Koboi” Purbaya untuk segera “ditembak”. Program perumahan vertikal harus lebih didorong oleh Menkeu dengan mengacu pada model public housing system di Jepang dan Singapura.

Di dalam pertemuan di Kantor Menperkim tersebut, Menkeu bilang “demand” rumah subsidi akan kenceng saat ekonomi mulai membaik, untuk yang belum punya rumah, ini kesempatan yang bagus. Pernyataan Menkeu ini mengandung paradoks, di satu sisi seolah mendukung pertumbuhan ekonomi namun sebenarnya mengancam ekonomi.  Program subsidi KPR di sektor properti mudah menciptakan gelembung ekonomi yang berbahaya. Jika Menkeu intervensi, akan terjadi distorsi dalam penyaluran KPR. Apakah bank penyalur ikut peraturan perbankan atau jadi badan operator subsidi? Kembali, Indonesia perlu belajar dari Jepang, Singapura maupun Korea Selatan. Program perumahan rakyat di sana bukanlah subsidi KPR, karena tujuan utamanya bukan untuk mendukung bisnis properti. Di sana, dagang properti dan industri konstruksi ditangani Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), sedangkan program perumahan dikelola oleh Ministry of Land, Infrastructure and Transport (MLIT).

Dengan begitu, program perumahan di Jepang tidak nyelonong masuk bidang ekonomi. Melainkan sebagai pelayanan publik yang mendukung kesejahteraan rakyat atau “welfare-focused program”. Akhirnya, peran dan kapasitas pemerintah dalam pelayanan publik berkembang subur karena didukung sistem penyediaan yang semakin kuat. Jepang, Singapura dan Korea Selatan menjalankan Pasal 33, negara menguasai sumberdaya publik untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di Indonesia, paradoks perumahan rakyat bisa menjadi “Purbaya paradox” dengan munculnya berbagai kontradiksi antara kebijakan fiskal dan pengelolaan perkotaan. Kebijakan fiskal selalu berupaya menghilangkan beban (fiscal burden), sedangkan salah urus perkotaan justru menyebabkan beban fiskal. Dampak dari “unsustainable cities” ini adalah penurunan kualitas lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Pengabaian Pasal 28-H UUD 1945 ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Atas dorongan Menkeu, KPR bersubsidi diberikan untuk “landed houses” yang dibangun di pinggiran metropolitan seperti di sekitar Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan lainnya. Di sanalah pasar perumahan tapak yang paling besar, bukan di kota-kota kecil. Dengan rencana 350 ribu unit rumah subsidi, berarti Menkeu mendorong berkembangnya “urban sprawl” di lebih dari 10 kawasan metropolitan tanah air. Fenomena kota yang menjalar-jalar ini terjadi akibat lemahnya kapasitas pemerintah dalam pembangunan kota-kota. Selain kurangnya transportasi publik dan tidak dibatasinya kendaraan pribadi, fenomena ini didorong oleh KPR Bersubsidi di area aglomerasi. Akibatnya, ruang terbuka hijau dan sawah habis dibangun, kemacetan semakin menjadi-jadi, emisi karbon meningkat dan menyebabkan polusi udara yang mengganggu kesehatan pernapasan, khususnya di perkotaan.

Lalu, apa kaitan semua itu dengan Menkeu? Jika Menkeu terus mendanai permainan proyek-proyek rusunawa, maka angka housing backlog tetap tinggi. Beribu-ribu hektar hamparan permukiman kumuh bertambah luas, namun tidak menjadi perhatian Menperkim. Belum ada juga program yang efektif untuk menunjukkan harapan “cities without slums” di Indonesia. Akibatnya, puluhan juta warga tetap tinggal dalam kekurangan air dan sanitasi. Masyarakat yang sakit-sakitan ini akan membebani BPJS, yang kalau bangkrut ditanggung oleh Menkeu! Begitu juga penggunaan mobil dan motor pribadi akibat “urban sprawl”, akan melonjakkan pemakaian BBM yang membebani subsidi energi di dalam APBN. Jika Menkeu hanya fokus memberi stimulus KPR dan mendukung bisnis properti, lalu pembangunan perumahan rakyat dan penataan kota tetap dibiarkan tidak efektif, maka Menkeu justru mendorong-dorong program yang semakin membebani fiskal negara. “Purbaya Effect” spontan berubah menjadi “Purbaya Paradox”.

Meskipun tidak bisa diukur oleh indikator pertumbuhan ekonomi, namun “urban sprawl” itu sangat membebani fiskal. Mulai dari pengelolaan infrastruktur yang boros akibat berserak-serak, kemacetan di semua kawasan aglomerasi, menurunnya kesehatan masyarakat, hingga subsidi energi yang meningkat. Menkeu tidak boleh terjebak dalam stimulus ekonomi dan membuat kebijakan paradoks. Jangan hanya demi tujuan jangka pendek mengorbankan nasib bangsa dalam jangka panjang. Keberlanjutan APBN terancam beban yang semakin berat. Akhirnya, Menkeu Purbaya bisa bilang ke Menperkim Maruarar, “Elu jangan cuma nunjukin program KPR Subsidi ke Gua dong! Program apartemen sewa Elu mana? Tiru dong Jepang atau Singapura!”. Nah, begitu. Apalagi subsidi KPR itu programnya Menkeu sendiri, kode anggarannya 999. “Sebenarnya ngasih subsidi itu kan kerjaan Gua, yang nyalurin kan BTN? Lha jadi Elu ngapain aja dong?” Ya, Menkeu juga perlu bicara begitu ke Menperkim. [ ]

* M. Jehansyah Siregar, PhD, Staf Pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, SAPPK-ITB

Back to top button