Ramadhan di Tengah Pandemi: Momen Refleksi Kembali ke Rumah Diri
Pandemi ini mengingatkan manusia bahwa selama ini sudah terlalu banyak berada di luar rumah diri menempuh ruang sehingga perlu ‘dipaksa’ kembali memasuki rumah diri untuk menempuh waktu. Seperti kisah Nasrudin mencari kunci yang jatuh di dalam rumah, namun dicari di luar rumah hanya karena di luar keadaannya terang benderang, sedangkan di dalam temaram.
Oleh : Buroqi Tarich Siregar
JERNIH– Ramadhan sudah mendekati ujungnya, beberapa hari lagi akan meninggalkan kita. Di waktu tersisa ini pantaslah kita sejenak merenung dan mengevaluasi diri khususnya dalam menjalani Ramadhan kali ini dan secara umum mengevaluasi perjalanan hidup.
Ramadhan tahun ini istimewa karena dijalani di tengah pandemi Covid-19 (Coronavirus disease 19 atau penyakit yang disebabkan virus corona 19). Dampak pandemi sudah terasa sebelum Ramadhan. Untuk mencegah penularan virus, masjid-masjid berhenti mengadakan sholat berjamaah, shalat Jumat diganti dengan shalat zuhur di rumah masing masing. Bukan hanya masjid, rumah ibadah agama lain pun berhenti mengadakan kegiatan peribadatan massal.
Ramadhan kali ini* tak ada jamaah shalat tarawih di masjid, tak ada acara buka puasa bersama, apalagi sahur bersama di masjid. Semua dikondisikan untuk melaksanakan semua urusan, termasuk peribadatan di rumah masing masing. Apalagi jika kita memaknai rumah sebagai rumah diri, bukan hanya bangunan tempat berangkat sekaligus tempat kembali, bukan sekadar tempat beristirahat sekaligus bekerja membangun keluarga, bukan sekadar tempat mendapatkan energi untuk melaksanakan tanggung jawab di luar sekaligus tempat membawa pulang hasil perolehan di luar. Tapi, rumah diri adalah tempat diri sejati kita.
Pandemi ini mengingatkan manusia bahwa selama ini sudah terlalu banyak berada di luar rumah diri menempuh ruang sehingga perlu ‘dipaksa’ kembali memasuki rumah diri untuk menempuh waktu. Seperti kisah Nasrudin mencari kunci yang jatuh di dalam rumah, namun dicari di luar rumah hanya karena di luar keadaannya terang benderang, sedangkan di dalam temaram.
Mungkin begitulah kondisi sebagian besar manusia saat ini. Mencari kunci kehidupan di tengah kemilau dunia, mencari makna kehadiran diri di tengah keramaian, mencari Tuhan di kerumunan. Padahal yang dicari ada di dalam diri, dalam sunyi, dalam kesendirian. Para sufi menyebutnya, “To be alone with The Alone.”
Meski dipaksa pandemi untuk kembali ke rumah diri pun godaan tetap hadir. Media sosial semakin dipenuhi unjuk kegiatan pribadi dan pencapaian diri seakan kita begitu memerlukan pengakuan orang lain. Kita seperti lupa bahwa Tuhan Maha Mendengar, Maha Melihat, serta Maha Mengetahui. Berbagai forum daring (online) diadakan untuk mensubstitusi kegiatan yang sebelumnya biasa dilaksanakan dengan keramaian. Padahal lebih banyak forum daring yang tak substansial, melainkan hanya mengejar pengunjung (viewer) dengan motif komersial atau sekadar memenuhi dorongan untuk mengatasi kebosanan selama dalam kondisi harus berada di rumah.
Bosan atau jenuh mestinya jadi satu-satunya kondisi yang bisa mengantarkan manusia untuk mendekat kepada Tuhan. Kebosanan mengantarkan manusia untuk meninggalkan kondisi yang ada demi mencari hal yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih bermakna. Tanpa kebosanan manusia akan stagnan, berhenti pada urusan pemenuhan keperluan fisik dan psikologis. Bosan yang dialami selama masa pandemi ini idealnya mengantarkan kita untuk menemukan hal-hal yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih bermakna—melalui renungan mendalam selama kita berdiam dalam rumah diri. Mengantarkan kita pada pemaknaan hidup, kepada makrifat Ilahi yang memuaskan dahaga ruhani.
Puasa atau shaum bermakna menahan diri. Lebih khusus lagi menahan diri dari mengeksploitasi alam karena selama shaum kita berhenti atau mengurangi konsumsi. Perhatikan dampak global pandemi yang telah menyebabkan penurunan drastis eksploitasi alam oleh industri. Di banyak tempat udara menjadi lebih segar karena turunnya tingkat polusi. Langit pun jadi lebih cerah, lebih bersih. Cakrawala meluas. Apakah di masa pandemi ini ‘langit’ diri kita juga menjadi lebih bersih dan jernih? Apakah cakrawala kita mengembang meluas? Akankah setelah shaum dan pandemi ini terjadi perbaikan dalam relasi kita dengan alam?
Sepantasnya kita bersyukur menjalani shaum Ramadhan di tengah pandemi yang memaksa kita berdiam di rumah saja. Pandemi memudahkan kita menahan diri dari godaan kerumunan (crowd), memudahkan menghindari kebisingan kerumunan yang membuat kita sulit mendengar suara nurani. Selama kita juga bisa bersabar menghindari kerumunan di dunia daring (online) insya Allah suara nurani bisa terdengar. Jangan jadikan momen pandemi ini hanya berupa pemindahan kebisingan kerumunan luring (offline) ke daring (online).
Menahan diri sepantasnya berlanjut sampai momen perayaan berakhirnya shaum. Jika sebelumnya Idul Fitri merupakan perayaan berakhirnya shaum dilaksanakan dengan semangat berkumpul, semangat syiar dengan menunjukkan besarnya jumlah umat Islam, saat pandemi ini kita perlu melakukannya dengan cara berbeda. Banyak indikator menunjukkan belum amannya keadaan saat ini dari penyebaran penyakit.
Angka penularan justru meningkat di ujung Ramadhan. Indikator tersebut bisa dipahami sebagai tanda (ayat) Allah yang meminta kita menahan diri merayakan Idul Fitri dengan cara sebelumnya. Pandemi—yang juga merupakan ketetapan Allah—mengharuskan kita merayakan Idul fitri di rumah. Shalat ‘Id pun kita lakukan di rumah. Kita menahan diri untuk mencegah penularan, demi menyelamatkan nyawa. Menjaga keselamatan manusia merupakan salah satu prinsip dasar ajaran Islam. Janganlah kebosanan berdiam diri di rumah selama masa pandemi ini menjadi penyebab kita mengabaikan prinsip dasar tersebut. Apalagi kita semua paham bahwa menyelamatkan nyawa satu manusia setara dengan menyelamatkan nyawa seluruh manusia. [ ]
*Ditulis dua tahun lalu.