POTPOURRI

Safari Sahur*

Yang punya rumah makan bilang datang saja ketuk pintu, karena tidak enak makan nasi dingin. Dengan menembus hujan deras, kami mengetuk pintu. Ternyata pemilik warung sudah menunggu dan segera menyediakan makanan  panas lengkap dengan lauk pauk untuk kami berdua. Saya pikir, tak apalah bayar sedikit lebih mahal. Setalah kami bayar, ternyata harganya sama dengan harga siang hari…. dia menunggu kami untuk makan sahur dan benar-benar bukan untuk mencari keuntungan lebih.

Oleh  : Iwuk Sriharyuniwati

JERNIH– Ini pengalaman menunaikan ibadah puasa Ramadhan kurang-lebih antara 5-10 tahun lalu (2007-an) di beberapa tempat terkait dengan pekerjaan saya di bidang air bersih. Kondisi saat itu jelas berbeda dengan kondisi saat ini yang pesan hotel dan makanan semua bisa dilakukan secara on line.

Merauke, Papua

Saya datang di kota Merauke bersamaan dengan kegiatan pembahasan anggaran Provinsi Papua Barat, maka hotel-hotel fully booked, semua penuh. Saya terpaksa seorang diri mencari hotel.

Masih untung akhirnya bisa mendapat hotel kecil walaupun di pinggiran kota. Babi berkeliaran di luar hotel. Saya selalu bergidik menghindar kalau terpaksa melewatinya. Karena letak hotel di pinggiran kota, saya tidak bisa berharap dapat sahur. Ya, saking kecil hotel ini bahkan tidak menyediakan makanan untuk tamunya. Maka tak kurang akal, saya beli termos air panas, roti, dan sekali-sekali durian…. kebetulan waktu itu sedang musim durian.

Pas hari terakhir di Merauke, saya sahur dengan sepotong roti, susu panas, dan durian. Setelah itu langsung ke bandara pulang menuju Jakarta. Lumayan…. sahur lebih pagi dua jam berarti puasa bonus dua jam.

Singapore Airlines

Saat itu saya bekerja untuk proyek Asia Development Bank (ADB), terbang dari Manila ke Jakarta. Waktu itu saya pun belum terbiasa naik pesawat jauh yang diberi makanan berat. Saya pikir semua mengerti bahwa saat itu adalah bulan suci Ramadhan, termasuk mbak-mbak pramugari.

Karena sedang puasa, saat ditawari makan saya katakan sedang puasa, dan karena lugu saya minta ganti (bukannya makanan diambil terus disimpan saja). Pramugarinya bingung ada penumpang culun. Maka dia pun berunding dengan temannya. Akhirnya saya diberi semacam Oreo yang sudah dibuka, jatah mbak-mbak pramugari.

Biak, Papua

Saat di Biak beberapa hari saya tinggal di hotel yang menyediakan makan tiga kali sehari di ruang makannya. Karena Ramadhan, petugas mencatat dan menyediakan makan sahur di ruang makan. Makanannya standard, selalu ada nasi, ikan, sambal, dan lain-lain. Masalahnya, entah kenapa petugas dapur selalu ogah-ogahan saat menyediakan makan sahur. Walhasil semua makanan dingin. Ya…. semua tamu yang berjumlah sekitar 5 – 6 orang maklum kami merupakan minoritas.

Serui, Papua

Kami mendapat kesempatan tinggal di rumah dinas Bupati Serui beberapa hari saat Ramadhan. Malam harinya kami sudah disiapkan makanan lengkap yang bisa langsung dihangatkan. Karena tidak ingin merepotkan, saya bersama seorang teman merasa bisa mengerjakannya sendiri.

Hari pertama, karena belum terbiasa dengan perbedaan waktu (Indonesia Timur), kami kesiangan sahur. Jam saya menunjukkan pukul 03.00 dini hari, sedangkan waktu Serui sudah pukul 05 lebih. Alhasil hari itu kami lalui tanpa sahur. Ketika kami ceritakan hal tersebut kepada Ibu Bupati, maka sejak malam itu hingga beberapa hari menginap di sana kami ditemani sekaligus dibangunkan oleh penjaga yang notabene non-Muslim. Masya Allah, indahnya toleransi.

Supiori, Papua

Saat bertugas beberapa hari di Supiori, kami tempuh pulang-pergi ke Biak. Sahur di Biak aman. Namun, masalah baru muncul saat perjalanan dari Biak ke Supiori yang butuh waktu tempuh sekitar tiga jam. Hal itu membuat sopir mobil kantor “terpaksa ikut puasa.” Karena selama perjalanan tersebut tidak kami jumpai penjual makanan atau warung makan seperti yang ada di Indonesia pada umumnya.

Dari kami pergi pagi-pagi sebelum jam sarapan, selama di perjalanan tidak ada warung makan sama sekali. Alhasil sopir kantor kami ikut puasa makan, meskipun sebenarnya berbekal roti kering dan air. Mungkin maksudnya menghormati yang puasa, tapi entah dalam hatinya mungkin menggerutu perutnya keroncongan.

Singkil, Aceh

Singkil adalah kabupaten di Provinsi Aceh. Mayoritas penduduknya Muslim. Kami ke Singkil saat setelah tsunami, sehingga banyak ruas jalan rusak. Karena ada di daerah mayoritas Muslim, kami agak santai dengan pikiran pasti mudah mencari makan sahur.

Malam itu hujan turun lebat, saat mendekati jam sahur kami ke luar. Alangkah kagetnya hotel kami terkepung air. Ternyata kota Singkil saat itu mengalami penurunan tanah. Kami mau ke luar dari kepungan air tidak bisa. Alhamdulillah, masih bisa puasa dengan seteguk Aqua yang tersisa untuk sahur.

Gunung Sitoli, Nias

Penduduk Provinsi Nias rata-rata non-Muslim. Hotel yang kami tempati di Gunung Sitoli tidak jauh dari warung makan. Saat sore hari kami tanyakan apakah buka saat sahur, atau saya perlu beli nasi bungkus saja.

Yang punya rumah makan bilang datang saja ketuk pintu, karena tidak enak makan nasi dingin. Dengan menembus hujan deras, kami mengetuk pintu. Ternyata pemilik warung sudah menunggu dan segera menyediakan makanan  panas lengkap dengan lauk pauk untuk kami berdua.

Saya pikir, tak apalah bayar sedikit lebih mahal. Setalah kami bayar, ternyata harganya sama dengan harga siang hari…. dia menunggu kami untuk makan sahur dan benar-benar bukan untuk mencari keuntungan lebih. [ ]

*Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas

Back to top button