
Sanusi bukan ulama biasa. Ia intelektual yang berpikir jauh melampaui zamannya. Aktivis yang terjun langsung di medan juang. Pun negarawan yang ikut menyalakan obor kemerdekaan. Di BPUPKI, ia hadir sebagai satu dari sedikit tokoh yang tak gentar menyuarakan Islam sebagai landasan moral bangsa. Meskipun badai kompromi dan tarik-menarik ideologi terus mendera.
JERNIH– Saudaraku,
Mulai hari ini, renungan “Percikan Agama Cinta” kembali hadir. Menyapa jiwa pembaca. Setelah sekian lama “menepi'” di sebuah sudut diam bernama: sunyi. Ya, dalam keheningan itu, aku belajar merasakan makna sebuah cinta. Karena itu pula, kini seri tulisan ini akan bertajuk “Renungan Deden Ridwan”.
Dari ruang diam itu pula pikiranku tiba-tiba tertuju pada sebuah sudut bumi bernama Sukabumi. Tanah kelahiranku sendiri yang menyimpan sejuta kenangan. Membekas di lubuk hati terdalam.
Ketahuilah. Di kota kelahiranku itu, berdiri tegak Pesantren Gunung Puyuh. Tak sekadar pondok ilmu. Melainkan kawah candradimuka jiwa bangsa. Di sanalah K.H. Ahmad Sanusi memahat sejarah. Bukan dengan pedang. Justru bersama pena, doa, dan keberanian yang tak lapuk dimakan zaman.
Camkanlah. Sanusi bukan ulama biasa. Ia intelektual yang berpikir jauh melampaui zamannya. Aktivis yang terjun langsung di medan juang. Pun negarawan yang ikut menyalakan obor kemerdekaan. Ia bagian dari lokomotif bangsa ini. Berjuang dengan penuh cita-cinta.
Tengoklah. Lembaran sejarah. Di BPUPKI, ia hadir sebagai satu dari sedikit tokoh yang tak gentar menyuarakan Islam sebagai landasan moral bangsa. Meskipun badai kompromi dan tarik-menarik ideologi terus mendera.
Namun, lebih dari itu semua, Sanusi adalah pecinta. Ia mencintai bangsanya dengan segenap nurani. Mewakafkan ilmunya dengan penuh kerendahan hati. Merindukan Tuhannya dengan rasa takzim yang membumi. Baginya, agama bukan sekadar doktrin, tapi percikan cahaya yang harus menuntun langkah-langkah manusia di jalan keadilan dan kemanusiaan.
Ingatlah. Pesantren Gunung Puyuh, yang ia dirikan, menjadi simbol perlawanan sunyi melawan penjajahan, sekaligus benteng moral menghadapi zaman “edan”. Di tengah gemuruh politik dan hiruk-pikuk kekuasaan, Sanusi mengajarkan bahwa kekuatan sejati ada di dalam jiwa merdeka dan hati yang bening.
Catatlah. Kini, nama Ahmad Sanusi mungkin tak setenar para pendiri bangsa lainnya. Namun, jejak langkahnya tetap abadi: tersembunyi di balik akar-akar perjuangan umat yang jujur, sederhana, namun membara. Ia adalah matahari kecil yang tak silau oleh sanjungan. Namun tetap setia memancarkan sinar bagi ufuk kehidupan.
Renungkanlah. Kita, generasi hari ini, berutang kepada teladan cinta seorang Sanusi. Cinta yang tak bicara tentang pamrih, melainkan tentang pengabdian total kepada Tuhan, bangsa, dan kemanusiaan.
Sepakat. Di saat dunia kembali riuh oleh egoisme dan politik tanpa nurani, percikan agama cinta Sanusi adalah suluh yang harus kita hidupkan kembali. [ ]