
Potongan kenangan hadir: Sulthan kecil berlari riang di halaman pesantren selepas Subuh. Menikmati udara pagi dan sinar lembut matahari. Di siang hari, ia tekun membantu temannya membaca kitab kuning. Membimbing dengan sabar dan penuh perhatian. Saat malam tiba, ketika adik-adik ketakutan dalam gelap, Sulthan menenangkan mereka dengan suara lembut dan senyum yang menenangkan, laksana damar kecil di tengah kegelapan. Ya, mosaik kecil, sederhana, tapi abadi.
JERNIH—Saudaraku, suatu sore, telepon berdering. Seorang sahabat, Andi Sukmono—aktivis tangguh sekaligus pekerja kreatif yang kini mengawal Kahmi-TV—memintaku singgah ke kantornya. “Bang Deden, main ke sini. Ada buku penting untukmu,” katanya singkat, tapi penuh arti.
Di sana, ia menyerahkan sebuah buku kecil: “Jalan Surga Ananda: Mengenang Berpulangnya Ananda Muhammad Sutojoyo Sulthana Nashir”, karya M. Sarmuji dan Luluk Maqnuniah. Bukan buku biasa. Ditulis dengan hati dan air mata. Membacanya membuat dadaku sesak. Mataku basah. Mengisahkan sebuah perjalanan spiritual yang hanya bisa ditapaki oleh orangtua tabah. Mendampingi buah hati tercinta—dari sakit hingga wafat, dari harap hingga pasrah.
Ketahuilah. Sulthan bukan sekadar seorang anak. Ia cahaya kecil yang dititipkan pemilik semesta di lorong waktu. Lahir di keluarga santri yang teduh. Tumbuh dalam dekapan doa, cinta, dan ilmu. Sejak dini ia menampakkan kecerdasan, ketekunan, dan kelembutan. Sosok yang menyayangi dan disayangi. Anak saleh yang menghadirkan terang di sekelilingnya. Kehadirannya membuat hidup orang-orang di dekatnya lebih bermakna. Ia menorehkan jejak kebaikan, meninggalkan inspirasi, dan dicintai banyak orang.
Namun takdir menuntunnya menempuh ujian berat. Penyakit datang, kronis. Menghantam. Ia keluar-masuk rumah sakit—Jakarta hingga Singapura. Berbaring di ruang hening. Kembali ke tanah air, hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir di RS Cipto Mangunkusumo, dalam pelukan ibunya.
Sepanjang perjalanan sakit itu, diagnosis berubah-ubah. Obat silih berganti. Tapi satu hal tak pernah beralih: senyum. Semangatnya tetap menyala. Meski tubuhnya ringkih. Ia menyapa hari dengan keberanian dan keikhlasan. Dengan doa. Dengan kasih yang tulus.
Maka sepakatlah kita: kisah Sulthan bukan tentang sakit atau perpisahan semata. Ini adalah kisah tentang binar. Tentang seorang anak yang memilih untuk tetap bersinar. Meski dunia seakan tak lagi bersahabat dengannya. Setiap langkahnya adalah pelajaran: sabar, ikhlas, cinta yang tak bertepi.
Hidupnya singkat, tapi penuh makna. Ia membuktikan: umur bukanlah ukuran dampak. Doanya sederhana. Senyumnya menenangkan. Pesannya langgeng. Melampaui batas ruang-waktu.
Bayangkanlah. Petang hampir luruh menjadi malam. Hujan jatuh di kaca jendela ICU. Lampu jalan menyala, sinarnya memantul di wajahnya. Nafasnya berat. Tubuhnya rapuh. Namun mata itu—mata penuh sorot—masih menyala. Menyalakan harapan.
Dalam ruang sunyi, mesin berdengung. Oksigen mendesah. Waktu berdentum. Potongan kenangan hadir: Sulthan kecil berlari riang di halaman pesantren selepas Subuh. Menikmati udara pagi dan sinar lembut matahari. Di siang hari, ia tekun membantu temannya membaca kitab kuning. Membimbing dengan sabar dan penuh perhatian. Saat malam tiba, ketika adik-adik ketakutan dalam gelap, Sulthan menenangkan mereka dengan suara lembut dan senyum yang menenangkan, laksana damar kecil di tengah kegelapan. Ya, mosaik kecil, sederhana, tapi abadi.
Gelombang sakit datang-pergi. Ia meremas lembut tangan ibunya, seakan berkata: jangan takut, Bu. Aku kuat. Air mata ibunya jatuh, tapi Sulthan tersenyum lirih: “Bu… kalau aku pergi, aku tetap jadi cahaya di sini, kan?”
Ah, kalimat itu bak petir. Masalah sederhana, tapi menghantam ulu hati. Pertanyaan seorang anak yang telah melampaui usianya: berjumpa dengan kedalaman iman.
Di luar, hujan kian deras. Alam ikut menangis, sekaligus membersihkan. Sulthan menatap langit abu-abu, teringat Ramadhan pertamanya. Sujud panjang yang ia lakukan dengan penuh khusyuk. Ayahnya yang bangga saat ia khatam Al-Quran. Kenangan itu hadir bagai mozaik keabadian.
Dan akhirnya, ia memejamkan mata. Monitor berdesing. Hujan berirama. Doa ibunya mengalun. Menutup perjalanan seorang anak yang lahir untuk menjadi nur.
Saudaraku, renungkanlah. Sulthan bukan sekadar anak yang melawan penyakit. Ia lentera di batas senja. Pemimpin kecil yang mengajarkan kita cara menghadapi takdir dengan berani. Dengan ikhlas. Dengan pasrah total seorang hamba kepada Sang Mahacinta.
Hidupnya adalah pesan. Cahaya tak pernah padam meski sandikala tiba. Cinta tak pernah hilang meski tubuh beristirahat. Sulthan telah kembali ke pangkuan-Nya, tapi jejaknya—doa, senyum, cinta—akan terus mengalir. Laksana terang rembulan yang memantul di sungai; meski bulan tersembunyi, sinarnya tetap menuntun malam.
Ia telah menjadi kekal. Pendar yang tak padam. Pelita yang mengajarkan: hidup bukan soal panjangnya waktu. Melainkan seberapa dalam kita mencintai, betapa ikhlas kita memberi.[ ]