Royalti Musik Dibajak Sistem? Menteri Hukum Siap Audit LMK dan LMKN

Kontroversi seputar LMK dan LMKN mencerminkan permasalahan mendasar dalam tata kelola royalti musik di Indonesia: ketidakjelasan hukum, minimnya transparansi, manajemen manual, dan lemahnya sosialisasi. Akibatnya, banyak pencipta dan musisi merasa dirugikan.
JERNIH – Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas berencana mengaudit Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait transparansi pembayaran royalti musik. Supratman menyatakan bahwa audit tersebut akan dibahas terlebih dahulu dengan para pengelola LMK dan LMKN untuk memastikan pembayaran royalti sesuai dengan ketentuan.
“Publik menuntut transparansi, dan itu wajar. Mekanisme audit dapat memberikan gambaran kepada kita tentang jumlah royalti yang terkumpul dan bagaimana penyalurannya,” ujarnya.

LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) adalah lembaga nirlaba resmi untuk mengelola royalti hak cipta lagu dan musik atas nama pencipta dan pemegang hak terkait. Dasarnya tercantum dalam UU Hak Cipta Pasal 1 butir 22. Sementara itu, LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dibentuk oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP), namun belum memiliki dasar hukum yang kuat sehingga menimbulkan dualisme kewenangan.
Akibatnya, terjadi tumpang tindih tugas antara LMK dan LMKN, menimbulkan kebingungan serta potensi konflik dalam pengumpulan dan distribusi royalti. Para pencipta dan pemilik hak bahkan mengalami kebingungan harus meminta royalti ke mana—LMK atau LMKN.
Sejumlah musisi pun papan atas telah beteriak, namun agaknya lembaga ini kurang responsif. Komposer seperti Yovie Widianto mendesak LMK dan LMKN untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas, agar royalti benar-benar sampai ke pencipta. Piyu Padi telah meminta perbaikan sistem namun tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari LMKN.
Sampai kemudian Ari Lasso memulai tagar #AUDITWAMI, menyerukan audit keuangan LMK dan LMKN secara independen demi keadilan distribusi royalty.

Salah satu persoalan adalah lembaga ini bekerja dengan cara yang masih konvensional. Operasional masih dilakukan secara manual, dengan metode tradisional seperti formulir dan Excel. Tidak adanya digitalisasi menyebabkan inefisiensi dan risiko kesalahan dalam pendataan dan distribusi.
Sebagai akibatnya banyak dana royalti dikumpulkan tanpa disertai data lagu yang jelas. Contoh: sekitar 70% dana royalti yang terkumpul tidak diketahui asal lagunya, sehingga distribusinya dilakukan secara “sampling” yang tidak akurat.
Di sisi pengguna musik, cara-cara penagihannya pun amat tidak profesional. Kerap kali meminta tagihan secara mendadak ke UMKM tanpa pemberitahuan formal.
Ditambah sosialisasi kurang, sehingga banyak pelaku usaha syok saat diminta membayar royalti dan sampai ada yang terancam masalah hukum karena tak paham aturan.
Tak hanya Kementerian Hukum berbicara. Menteri Ekonomi Kreatif (Menekraf) Teuku Riefky Harsya juga menyatakan bahwa yang harus ditegakkan adalah transparansi dan akuntabilitas, agar royalti sampai ke pencipta yang berhak.
Menteri Hukum dan HAM (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa penarikan royalti oleh LMKN perlu diaudit dan dibuat lebih transparan. Ia juga menyoroti proporsi royalti dari platform global yang sangat rendah (sekitar 0,8%) dibandingkan Korea (10%) dan Singapura (13%).
Masalah LMK dan LMKN bukan sekadar soal administrasi. Ini tentang kesejahteraan ribuan musisi dan pencipta lagu yang karyanya diputar di mana-mana, tapi royalti tak kunjung jelas arahnya. Audit yang direncanakan Menkum bisa jadi pintu masuk. Bukan hanya untuk membongkar kebocoran sistem, tapi juga untuk membangun manajemen royalti yang modern, transparan, dan adil. (*)
BACA JUGA: Radhan-Rasyid: Dana Royalti Sawit Mampu Dorong Pembangunan di Konsel






