SolilokuiVeritas

Salman Rushdie: tak Cukup Tiga Dekade Bersembunyi

Yang jelas, karena “Satanic Verses” itu, bukan hanya Rushdie yang pernah merasakan tajamnya bilah baja. Hitoshi Igarashi, seorang sarjana Jepang yang menerjemahkan buku itu, mati terbunuh pada 1991. Igarashi, cendikiawan ahli Arab-Persia itu mengalami dua kali percobaan pembunuhan, segera setelah novel terjemahannya itu terbit pada 1990. Satu setengah tahun setelah percobaan pembunuhan pertama gagal, Igarashi ditikam berulang kali di wajah oleh penyerangnya. Mayatnya ditemukan pada 12 Juli 1991 di kantornya di Universitas Tsukuba.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

JERBIH–Lebih dari tiga puluh tahun lalu nurani Salman Rushdie tak bisa melihat apa yang boleh dan tidak untuk dituliskan. Setelah Jumat (12/8) lalu, ke depan sangat mungkin ia kehilangan matanya.

Setidaknya itu yang dinyatakan agennya, Andrew Wylie, sebagaimana dikutip Associated Press baru-baru ini.  “Dia menderita kerusakan hati dan ada syaraf yang terputus di lengan dan mata. Rushdie kemungkinan besar akan kehilangan matanya,”kata Wylie.

Darmawan Sepriyossa

Tentu, akan banyak orang yang meratapi kehilangan tersebut. Tapi tampaknya tak sedikit pula yang mungkin bersujud syukur. Kita tak pernah tahu. Yang geram itu termasuk mungkin saja Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken dan Juru Bicara Departemennya, Ned Price, yang baru saja mengecam Iran karena menurut keduanya “menyombongkan” upaya pembunuhan itu.

“Lembaga-lembaga negara Iran telah menghasut kekerasan terhadap Rushdie selama beberapa generasi, dan media yang berafiliasi dengan negara itu baru-baru ini menyombongkan upaya pembunuhannya,” kata Blinken. “Ini tercela.” Sementara laiknya gadis pemandu sorak, Ned Price menggongi pernyataan Blinken dengan mengutuk pemerintah Iran karena menyalahkan Rushdie atas serangan itu. “Ini tercela. Ini menjijikkan. Kami mengutuknya,” kata Price.

Keduanya menutup mata bahwa telah lebih dari 30 tahun, Rushdie yang menyakiti hati kaum Muslim yang taat dan komit bersyahadat, tak pernah sekali pun menyatakan menyesal, jauh-jauh dari meminta maaf.

Tiga dekade lalu

Pada Februari 1989, Iran menetapkan hukuman mati bagi Salman Rushdie. Crescent International, sebuah mingguan yang terbit di Ontario, Kanada, edisi Januari 1990, dalam tajuk editorialnya mengomentari peristiwa tersebut dengan kritis.

“Jelaslah tujuan pemerintah Iran adalah mengubah setiap orang Islam di mana pun menjadi prajurit Islam, dan supaya tidak ada tempat yang aman bagi Rushdie. Memang itulah dampaknya. Gerakan kaum Muslim sedunia yang menentang buku ini (“The Satanic Verses”), berikut pengarang dan penerbitnya luar biasa. Tetapi segera kaum moderat pro-Saudi berhasil mengalihkan dan menenggelamkan kemarahan orang Islam menjadi protes pasif. Dalam beberapa bulan saja tampaknya orang-orang Islam di mana-mana telah dibungkam dan dengan tidak enak menerima “Satanic Verses”. Sementara itu, “Satanic Verses” telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diterbitkan dalam edisi murah. Tetapi ada satu masyarakat kecil yang terus-menerus melancarkan perang melawan kekuatan gabungan Pemerintah Inggris, kaum establishment Inggris, media massa Barat dan pendukung-pendukung Rushdie lainnya. Mereka adalah orang-orang Islam yang tinggal di Inggris. Jumlah mereka sedikit, hanya sekitar dua juta orang saja.”

Memang, pada saat isu “Satanic Verses” memudar di negara-negara lain—termasuk di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia–di Inggris saat itu, ia malah menjadi isu orang Islam yang sangat penting. Mula-mula BBC menyiarkan hasil penelitian — hanya 28 persen saja orang Islam di Inggris yang mendukung hukuman mati bagi Rushdie.

Esoknya, Dr. Kalim Siddiqui, Direktur Muslim Research Institute, berbicara di hadapan kaum Muslim di Manchester. Ia meminta hadirin untuk mengangkat tangan bila setuju dengan fatwa hukuman mati. Mengejutkan, dan disaksikan puluhan kamera media massa, seluruh yang hadir mengangkat tangan.

Pada hari berikutnya, media massa di Inggris menuntut agar Dr. Siddiqui diadili atau diusir dari Inggris, karena menghasut orang untuk membunuh. Jamaat Ahle Sunnat, organisasi yang menguasai masjid-masjid di Inggris mendukung Siddiqui. Mereka umumkan ’’The Day of Muslim Solidarity”. Hampir 1000 masjid berpartisipasi.

Lebih dari 300.000 orang Islam berdemonstrasi mengangkat tangan sebagai simbol dukungan kepada hukuman mati Rushdie. Pemerintah Inggris terkejut. Dengan halus mereka mendekati kaum “moderat” di kalangan Muslim. Kata mereka, tidak perlu ada aksi angkat tangan untuk mendukung hukuman mati bagi penghina Islam. Bukankah Al-Quran sudah menetapkannya? Isu Rushdie sudah selesai. Marilah kita mengalihkan perhatian pada dakwah yang positif. Bacalah Al-Quran.

Dr. Siddiqui menjawab bahwa kaum kafir tidak mengenal Al-Quran. Satu-satunya bahasa yang mereka pahami adalah aksi politik dan persatuan berdasarkan Al-Quran. Hanya membaca Al-Quran tidak menyelesaikan persoalan. Al-Quran harus diaktualisasikan dalam kekuatan politik Muslim lewat partisipasi massa dalam gerakan Islam.

Entah terilhami oleh almarhum Dr Siddiqui, atau mungkin terinspirasi Khomeini, pekan lalu dunia menyaksikan perbuatan Hadi Matar, pemuda yang saat fatwa mati itu diketukkan Khomeini, ia belum lagi berupa  zygot—campuran kental sel telur ibu dengan sperma bapak. Barangkali, bahkan kedua orang tuanya pun belum pula saling kenal! Matar menikam Rushdie—75 tahun—berkali-kali, dengan motif yang menurut banyak media arus utama dunia, hingga kini belum terkuak.  

Baiklah sementara kita abaikan motif itu. Toh pada saatnya, di persidangan, hal tersebut akan terkuak, atau setidaknya dibuat seolah terkuak. Hakim tentu harus menegaskan apa yang terbersit di kepala sebelum tangan Matar bertindak, karena bagaimana pun tangan itu jelas diperintah otak.   

Yang lebih menarik justru kesombongan Amerika—Barat umumnya, memandang persoalan tersebut. Selalu kita didesakkan tanpa pilihan bahwa yang dilakukan Rushdie tak lain kecuali kebebasan berpendapat. Itu, kata AS dan Barat umumnya, dilindungi Konstitusi, dan dihormati sebagai hak pribadi.

Namun, apakah mengejek kepercayaan yang dianggap suci oleh orang lain—janganlah kita sebut miliaran jumlahnya—adalah pula hak yang harus dihormati? Ini adalah pertanyaan yang banyak mengemuka, namun hingga kini jawabannya senantiasa nisbi. Amerika Serikat hanya bisa tegas menjelaskan bagaimana Amandemen Pertama Konstitusi mereka mengatakan bahwa setiap orang di Amerika Serikat memiliki hak untuk menjalankan agamanya sendiri, atau tidak beragama sama sekali.

Masyarakat Eropa dalam hal ini lebih tegas, tanpa harus menyebutkan apakah sikap itu ‘salah’ atau tidak. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menyatakan, harus dimungkinkan, dalam masyarakat demokratis, untuk mengkritik ide-ide keagamaan, bahkan jika kritik semacam itu mungkin dianggap oleh beberapa orang sebagai hal yang menyakitkan bagi perasaan keagamaan mereka. Mereka ngotot mengatakan bahwa kebebasan berekspresi itu dijamin penuh oleh Pasal 10 Konvensi Eropa tentang hak-hak asasi manusia. Penjelasan pasal itu menyebutkan, bukan hanya informasi atau gagasan yang (bisa) diterima dengan baik atau dianggap tidak menyinggung, hal-hal yang mengejutkan, menyinggung atau mengganggu sekali pun haruslah ditoleransi oleh kelompok-kelompok pemeluk agama.

Sikap tersebut tercermin dari perkembangan pemberitaan yang mengiringi penikaman Rushdie. Meski kurang relevan, media hawkish AS, Fox News, mengajak publik AS kembali mengenang era Khomeini saat menulis judul “’Profesor of Peace’ Oberlin College mendukung fatwa untuk membunuh Salman Rushdie”, dengan tendensi kuat memojokkan tokoh yang mereka tuding. Isinya, menuding seorang akademisi studi Islam yang dijuluki “Profesor Perdamaian” di Oberlin College, Ohio, Prof Mohammad Jafar Mahallati, telah mendukung kampanye untuk membunuh penulis AS dan Inggris, Salman Rushdie, “karena novelis terkenal itu menggambarkan nabi Muslim, Muhammad, dengan tidak sopan.”

Fox News mengulang berita Reuters tahun 1989, manakala kantor berita itu pada 1989 bertanya kepada Mahallati komentarnya seputar fatwa Ayatullah Ruhullah Khomeini berkenaan dengan Rushdie dan “Satanic Verses”-nya.

“Saya pikir semua negara Islam setuju dengan Iran,”jawab Mahallati saat itu. “Semua negara dan negara Islam setuju dengan Iran bahwa pernyataan penghujatan apapun terhadap tokoh-tokoh suci, harus dikutuk.” Mahallati kemudian menambahkan, “Saya pikir jika negara-negara Barat benar-benar percaya dan menghormati kebebasan berbicara, oleh karena itu mereka juga harus menghormati kebebasan berbicara kami. Kami tentu menggunakan hak itu untuk mengekspresikan diri kami, keyakinan agama kami, dalam kasus pernyataan penistaan ​​apa pun terhadap tokoh-tokoh Islam yang kami anggap suci.”

Sementara, oposan pemerintah Iran di AS, Masih Alinejad, memaksa agar Oberlin College untuk kembali menyelidiki latar belakang Mahallati, mantan duta besar Republik Islam Iran di PBB, yang disebutnya membela fatwa terhadap Salman Rushdie itu. “Saya dapat memberikan banyak dokumen lain yang menunjukkan perannya dia menutupi eksekusi massal pada tahun 1988 di Iran,” kata Alinejad, mengancam.

Oberlin College memang menyatakan sempat meluncurkan penyelidikan kepada civitas akademikanya itu segera setelah Fox News Digital pada Februari 2021 secara eksklusif mengungkapkan bahwa Mahallati pernah menyerukan penghancuran negara Yahudi, Israel. Namun, Juru Bicara Oberlin College, Scott Wargo, kepada surat kabar lokal Chronicle-Telegram pada Oktober 2021 membantah segaa tudingan tersebut. “Kampus kami tidak menemukan bukti untuk menguatkan tuduhan terhadap Prof. Mahallati, termasuk bahwa ia memiliki pengetahuan khusus tentang pembunuhan yang terjadi.”

Dengan didasari sikap-sikap seperti itu pula, atau karena pikun atawa sama sekali tidak peduli perasaan dunia Muslim, pada 2008 lalu Ratu Elizabeth II justru memberikan gelar kehormatan ‘Sir’ buat Rushdie.

Tetapi memahami Barat, terutama AS, memang harus sebagaimana kita di masa kecil memahami seorang bocah gemuk kelebihan gizi, biasanya datang dari kalangan kaya, yang mendominasi setiap arena permainan kita. Kita pun membiarkannya. Sebagian karena enggan bertikai, sebagian karena takut justru jadi sasaran bully.

Itu pula yang dilihat penulis Prancis Alexis de Tocqueville, saat menulis dalam jilid pertama “Democracy in America”, negara yang dia kunjungi pada abad ke-18. “Tak ada yang lebih membikin kita rikuh dalam pergaulan hidup biasa, selain patriotisme orang Amerika yang gampang terusik.”

Tak hanya gampang terusik, karena jumawa, Amerika—dan Barat—pun senantiasa enggan meminta maaf, sekali pun mungkin mereka menyadari diri salah.  Lihat saja kalimat yang dengan pongah dikatakan Presiden George Bush Sr, ‘bocah besar’ yang sempat mendominasi dunia dan kini tinggal nama.

“Saya tidak akan pernah meminta maaf untuk Amerika Serikat–saya tidak peduli apa faktanya.” Anjrit!  Salman Rushdie mungkin tak pernah mengatakan itu, tapi kelakuannya setali tiga uang dengan Bush senior itu.

Quo vadis Rushdie?

Kini, setelah menerima –konon—15 tikaman, apa yang akan dilakukan Salman Rushdie di sisa hidupnya? Akankah ia kembali bersembunyi, memakai segala jenis kamuflase, termasuk nama? Kita tahu, segera setelah keluarnya fatwa di tahun 1989, Rushdie yang ketakutan hidup dalam persembunyian, bahkan menggunakan nama samaran Joseph Anton. Paling tidak, itu yang diakui Rushdie dalam memoarnya yang terbit 2012 lalu.

“Salah satu aspek yang paling aneh adalah tidak ada yang mengira ini akan berlangsung sangat lama,”kata Rushdie dalam sebuah wawancara dengan National Public Radio (NPR) pada 2012. “Mereka berkata kepada saya,”Berbaringlah, istirahat selama beberapa hari dan biarkan para diplomat dan politisi melakukan pekerjaan mereka. Ini akan diselesaikan,”kata Rushdie. “Sebaliknya, pada akhirnya, semua ini butuh hampir 12 tahun.”

Baru pekan lalu Rushdie dibuat sadar, waktunya bukan 12 tahun. Entah berapa lama, entah pula sampai kapan dan kemana saja urusannya mengarah. Pemerintah Iran sampai saat ini belum menarik fatwa tersebut. Dan kalau pun ditarik institusi resmi seperti pemerintah Iran, misalkan, apakah fatwa yang keluar dari mulut seorang marja sekaliber Khomeini akan dianggap para pengikut (fanatik)-nya luruh begitu saja?

Yang jelas, karena “Satanic Verses” itu bukan hanya Rushdie yang pernah merasakan tajamnya bilah baja. Hitoshi Igarashi, seorang sarjana Jepang yang mencoba menerjemahkan buku itu, mati terbunuh pada 1991. Igarashi, cendikiawan ahli Arab-Persia itu mengalami dua kali percobaan pembunuhan, segera setelah novel terjemahannya itu terbit pada 1990. Satu setengah tahun setelah percobaan pembunuhan pertama gagal, Igarashi ditikam berulang kali di wajah oleh penyerangnya. Mayatnya ditemukan pada 12 Juli 1991 di kantornya di Universitas Tsukuba.

Tetapi bisa pula kerentaan Rushdie saat ini membawa kesadaran kepadanya. Meski tentu, itu jauh dari harapan. Selama ini, ia terlihat bangga dengan citra dirinya sebagai “pendukung kebebasan berbicara” di dunia Barat.

Namun, itu bisa pula berarti masih akan ada sekian banyak ‘Hadi Matar’ yang mengamati, mengintip dan mencari kelengahan dirinya. Paling tidak, seperti itu yang ada dalam benak tokoh Muhammadiyah, Prof Agus Suradika, saat ditanya Republika tentang upaya pembunuhan Rushdie.    

Lepas dari semua, Prof Suradika melihat bahwa ghirah belum lagi padam dari dada umat Islam. “(Semua) ini menyadarkan umat Islam, yang ternyata tetap masih punya ‘ghirah’ (sentimen) dalam membela penodaan terhadap agamanya. Jadi jangan disangka ini sekadar Tindakan emosional semata. Ini berkelindan dengan sikap kaum Muslim yang masih sangat peduli dengan ajarannya,”kata Prof Suradika, awal pekan ini. [dsy]

Back to top button