SolilokuiVeritas

Saya dengan Remy Sylado Adalah Raden Ekalaya dengan Resi Drona

Puisi itu hanya terdiri dari puluhan kata “ASI” atau air susu ibu yang membentuk gambar sebuah payudara tampak samping. Kemudian pada puncak payudara tersebut terselip satu kata lain, “ISA”, yang sekaligus menjadi semacam puting payudara tersebut.

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Dalam hidup, pertautan saya dengan almarhum Remy Sylado nyaris laiknya Raden Ekalaya dengan Resi Drona dalam kisah Mahabharata.  Ekalaya dari keluarga Nishada datang dan meminta kesediaan Resi Drona untuk menjadi gurunya. Dengan banyak pertimbangan, permohonan itu ditolak sang begawan terkemuka.

Tetapi memang mahaguru mana mau menerima seorang calon murid yang datang kepadanya hanya lewat pesan WA?  Bahkan kalau pun itu dalam pemikiran cetek si calon murid dianggap hanya satu cara sebelum dirinya datang, lengkap dengan keinginan dan raganya sekalian. Tidak hanya Remy yang pada sekitar 2015 itu saya kirimi pesan WA untuk meminta kesediaan menjadi guru. Yang lain adalah penulis biografi ternama, Julius Pour.  Saya menyadari kesalahan cara saya manakala keduanya tak merespons.

Saya yakin, andai saja mau sedikit membuat repot sahabat saya, wartawan Suara Merdeka, Benny Benke, yang telah lama akrab dengan Remy, hasilnya mungkin akan lain. Sayangnya, setelah itu banyak hal tidak biasa menyerbu hidup saya, termasuk menjalani pengadilan dan menebus kelakuan di hotel prodeo beberapa lama.

Tetapi tidak berarti saya tak dapat pelajaran dari almarhum Remy.  Jika kasad saya memang mengambil pelajaran darinya, banyak yang saya dapatkan, bahkan. Meski tidak langsung, berbagai buku almarhum, termasuk yang ‘resmi’ mengulas soal bagaimana menulis, “Jadi Penulis? Siapa Takut!”, terbitan Kaifa- Mizan, 2012 lalu. Untuk buku itu, Remy—yang juga bukan nama asli, memakai nama Alif Danya Munsyi sebagai pengarang.

Sejak SMP, 1980-an lalu, Remy memang salah seorang penulis yang saya sukai. Kalau tidak salah, itu bermula dari sebuah artikel di majalah remaja “Hai”. Artikel yang mengulas kiprahnya sebagai seniman serba bisa; pelukis, dramawan, musisi, aktor, penyair, novelis, ahli bahasa (munsyi, barangkali polyglot dalam istilah saat ini), kontan membuat pemuda kampung seperti saya, kagum.

Tentang serangkai anugerah Tuhan berupa aneka bakat itu, Remy pernah menulis. “Saya memilih jadi pesyair (dalam terma Remy, pesyair, bukan penyair, penulis) di luar menerima bakat saya yang lain sebagai pemusik, pedrama, dan pelukis, sebab saya yakin betul, bakat seni adalah nugraha ilahi, yang karenanya mesti dipertanggungjawabkan. Oleh hal itu maka pesyair menyadari kewajibannya untuk secara sukarela bersyukur kepada penciptanya melalui hasil ciptaan yang memandang-Nya sebagai sumber kedayaciptaan. Bersyukur berarti juga bersaksi akan kebesaran-Nya, kemahakasihan-Nya, kerahman-rahimiNya dengan kata-kata yang terencana; kata-kata yang lahir dari dorongan estetik menjadi ekspresi dorongan estetik. Dalam bersaksi, melalui kerja seni, maka itu berarti pula, bahwa pesyair membagi dengan kata-kata atas perasaan dan penghayatan spiritualnya kepada manusia sesama, memberikan pengalaman-pengalaman spiritual itu sebagai pertimbangan atau pendorong ke arah penemuan atau pembentukan suatu sikap spiritualitas, seraya berharap dari kerja itu Sang Maha Pencipta berkenan menerima sebagai ibadahnya.” (Apologia, catatan penutup buku kumpulan puisi “Kerygma” dan “Martyria”, Gramedia 2004. Ilustrasi buku itu penuh dengan lukisan buatan Remy sendiri.)

Jika Anda merasa ungkapan Remy tersebut relijius, memang ia seorang penyair relijius.  Pada dua buku kumpulan puisinya yang disatukan dengan judul “Kerygma” dan “Martyria”, setebal 1.056 halaman, bertebar banyak puisi yang menunjukkan dirinya sebagai seorang Kristen yang salih. Dari sisi tajuk saja, bertebar judul-judul puisi yang dengan segera membuat pembaca tahu latar belakang keagamaan si penyair karena erat dengan kosa kata gerejawi, Latin, dan Ibrani. 

Meski untuk puisi kamar–mayoritas puisi Remy kebanyakan tergolong puisi kamar—selera saya lebih cenderung kepada gaya Sapardi Djoko Damono dan Acep Zamzam Noor, banyak puisi Remy pada kumpulan tebal itu yang saya suka. Apalagi, sebagai salah seorang pelopor puisi ‘mbeling’ selain Yudhistira ANM Massardi–  sebagaimana saya baca dari buku ajar Bahasa dan Sastra Indonesia kelas 2 SMA tahun 1987–banyak puisi Remy yang menurut saya kocak.

Misalnya puisi “Mazmur Pendapatan

Yang menyanyi di bus ingin dapat seribu

Yang menyanyi di hotel ingin dapat sejuta

Yang menyanyi di gereja ingin dapat surga

Yang tidak menyanyi tidak dapat apa-apa.

Atau pada puisi “Nyanyian Ritus Rumah Bordil

Om…

Mampir!

Meski kocak dan sedikit sableng, tak berarti tak ada puisi Remy yang berisikan kritik sosial, terutama kepada rekan seagamanya. Misalnya dalam dua puisi di bawah:

Satu Hari di Prapatan Satu Jalan Ibukota

–buat Julius R. Siyaranamual

orang tidak lagi meminta-minta di hari kamis

antero hari antero prapatan ibukota sekarang

tangan si kere disodor di jendela oto si kaya

di kaca penuh tempelan stiker: we are christians

yang membangkitkan rasa haruku

seorang ibu kere meneteki bayinya

yang sudah jadi mayat tiga jam lalu

dan the christian didn’t care at all.

Pragalba

Di rumah mewah orang Nasrani

kulihat Isa Almaseh ditangkap

diusir lewat pintu belakang

Ia kembali di pintu depan

Mengetuk, “Spada, boleh masuk?”

Ia ditangkap lagi orang banyak

dibawa ke altar gereja, diadili

“Kau hanya diperlukan orang miskin!”

Mereka menyumbang uang bermilyar

membuat salib dari mas 24 karat

Ia disalib di hotel berbintang

Minggu pagi mereka menyanyi di gereja

“I love Jesus, yes I know!”

Di rumah-rumah mewah orang Nasrani

kulihat Isa Almaseh sudah diair-keras

digantung di bonang manalu* jadi simbora

*benang berpilin merah-putih-hitam untuk pengikat jimat di Batak       

Yang menarik, ada sebuah sajak Remy yang diberi pengantar panjang sebagai berikut:

(dibuat dalam Pengadilan Negeri Bandung pada 1982, sebagai terima kasih kepada H. Mahbub Djunaidi yang ikut membela dengan dua tulisan di “Pikiran Rakyat”, ditambah surat pribadi kepada Gubernur Jawa Barat supaya tidak melanjutkan sidang pengadilan delik pers terhadap Remy Sylado). Judul sajak itu unik: Sajak Hatur Nuhun.

Ternyata, Remy pernah diadili karena digugat gubernur Jawa Barat akibat dua tulisannya yang dimuat berturut-turut pada majalah Aktuil, edisi 25 dan 26, Oktober 1979. Untunglah, pengadilan tak dilanjutkan dengan alasan perkara sudah kedaluwarsa.

Pada sajak ini pula Remy terlihat tangkas memakai pengetahuannya yang dalam tentang teks-teks dari khazanah Islam. Wajar dengan keluasan ilmunya itu, Remy terlihat haqul yakin akan toleransi di negeri ini.

Kristen-Islam

anak-anak Ibrahim

adalah jalan kereta api

satu rel di kiri satu rel di kanan

panjangnya sama pendeknya sama

tidak menyatu

tetap menunggal.  

haleluyah! alhamdulillah!

Sebagai pelopor puisi mbeling, yang salah satu cirinya menegaskan sisi visual sebuah puisi, dalam kumpulan “Kerygma” dan “Martyria” pun terdapat beberapa puisi ‘visual’ tersebut. Misalnya, yang menarik perhatian saya, adalah “Madonna and Child”.

Puisi itu hanya terdiri dari puluhan kata “ASI” atau air susu ibu yang membentuk gambar sebuah payudara tampak samping. Kemudian pada puncak payudara tersebut terselip satu kata lain, “ISA”, yang sekaligus menjadi semacam puting payudara tersebut.

                             ***

Pada saat jadi mahasiswa sebuah perguruan tinggi teologi, Jusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambajong disingkat Japi Tambayong alias Remy Sylado, pernah bertanya kepada rektornya, Prof. Dr. Buford L. Nicholas, mengapa pada setiap adegan penguburan di film-film barat, selalu dibacakan “The Lord is my Shepherd”? Dalam tradisi Nasrani, puisi itu diterima sebagai waris zaman Daud AS, dari kitabnya, Zabur, yang dikenal sebagai Mazmur 23.

Prof Nicholas menjawab, kandungan isi puisi itu berkasad menghibur orang yang ditinggal, sekaligus memberi kepastian adanya harapan kehidupan baru bagi orang-orang percaya. Sejak itulah, menurut Remy, ia percaya bahwa puisi sepatutnya memiliki faedah penghiburan dan pengharapan, kini dan esok.

Itulah tampaknya, yang membuat Remy selalu terlihat optimistis. Bahkan pada sajaknya yang menyoal hidup dan hari kematian:

Fiil

…Dakilah jalanan menanjak selagi kakimu tegar

sebab sengsara ikab bukan pada rapuhnya tubuh

tapi kerinduan masuk ke terowongan lajur waktu

mengulang ikhtisar keindahan-keindahan masa lalu

Namun usiamu mungkin memanjang sampai 21.900 hari

atau bagaimana kalau berlanjut sampai 30.800 hari

adakah masih orang bersungguh hati memedulikanmu

menolongmu, memberimu makan, menuntunmu ke jamban

Selain penciptamu, siapa yang punya kasih sejati

Dakilah jalanan menanjak selagi kakimu tegar

dan biar ada catatan ihsanat tentang peri fiilmu

agar kau tak jadi orang asing di seberang hayat

diterima penciptamu sebagai pengantin yang kekal.

Lalu tibalah hari itu di Senin 12 Desember, menjelang siang. Setelah beberapa teguk kopi susu, dan keratan kue talam sebagai sarapan. Dari istri tercinta yang senantiasa setia. [INILAH.COM]

Back to top button