
Selama ini, pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi tidak peduli dengan konsep kosmopolitan. Dia berasyik-asyik dengan dirinya sendiri. Dia menjadikan ukuran keberhasilan pembangunannya bertolak dari nilai-nilainya sendiri. Tidak ada petimbangan moral secara universal. Tidak terpikir olehnya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia akan mengganggu lingkungan hidup di negara lain. Dia menanggapi kekhawatiran para ilmuwan tentang bencana kemanusiaan yang akan terjadi di Indonesia dengan bercanda saja.
Oleh : Ana Nadhya Abrar*
JERNIH– Ketika Presiden Prabowo berpidato di depan Sidang Umum ke- 80 PBB, 23 September 2025, Indonesia jadi sorotan dunia. Betapa tidak, inilah kali pertama Indonesia tampil di sana setelah sebelas tahun absen. Indonesia meneguhkan dirinya sebagai bangsa berdaulat. Indonesia pun kembali diperhitungkan dunia internasional sebagai negara yang peduli dengan aturan-aturan yang universal.
Apa yang disampaikan Presiden Prabowo dalam pidato itu? Detik,com, 24 September 2025 mendokumentasikannya antara lain: Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul sebagai satu keluarga manusia. Kita di sini pertama dan terutama sebagai sesama manusia yang diciptakan setara, dianugerahi hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.
Ini menyiratkan Presiden Prabowo menegaskan semua manusia punya hak yang sama. Mereka menjadi anggota komunitas yang sama. Komunitas global. Kalau ada manusia di suatu negara tersakiti atau tertindas, manusia di negara lain juga merasa tersakiti dan tertindas. Mereka akan menentang atau protes terhadap negara yang menyakiti atau menindas itu.
Praktik semacam ini dikenal luas sebagai konsep kosmopolitan. Ada juga yang menyebutnya ideologi kosmopolitan. Apa pun sebutannya, kosmopolitan memaknai kedudukan manusia, baik dari segi moral dan politik, ditentukan oleh status manusia secara universal. Ia menolak relativisme moral. Ia menganjurkan nilai benar-salah ditentukan pertimbangan moral yang berlaku universal.
Selama ini, pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi tidak peduli dengan konsep kosmopolitan. Dia berasyik-asyik dengan dirinya sendiri. Dia menjadikan ukuran keberhasilan pembangunannya bertolak dari nilai-nilainya sendiri. Tidak ada petimbangan moral secara universal. Tidak terpikir olehnya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia akan mengganggu lingkungan hidup di negara lain. Dia menanggapi kekhawatiran para ilmuwan tentang bencana kemanusiaan yang akan terjadi di Indonesia dengan bercanda saja.
Sebenarnya sikap Jokowi itu bermula dari ketidakpeduliannya dengan hak asasi manusia (HAM). Padahal Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) tentang HAM, yakni UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 9 Ayat 3 UU tersebut menyebutkan: “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Pasal 25 UU tersebut menyebutkan: “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok seusai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan”. Pasal 26 Ayat 2 UU itu menyebutkan: “Tidak boleh seorang pun dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum”.
Namun, secara praktis ketiga pasal itu sering terlanggar. Lihatlah, masyarakat di beberapa daerah tidak hidup di lingkungan yang sehat karena kerusakan lingkungan hidup gegara pembukaan kebun kelapa sawit. Tidak sedikit hak atas tanah yang dirampas gegara Proyek Nasional Strategis (PSN). Tidak sedikit pula orang yang dipenjarakan karena menyampaikan pendapatnya di muka umum. Beberapa pihak, termasuk Amnesti Internasional, mencoba untuk protes terhadap pelanggaran UU HAM ini. Hasilnya nol besar. Pemerintah bergeming. Ia lanjut dengan kebijakannya.
Kini permerintahan Presiden Joko Widodo sudah berpindah ke tangan Presiden Prabowo Subianto. Masyarakat menunggu sikap positif Presiden Prabowo terhadap penghargaan terhadap HAM. Pada mulanya, masyarakat berharap banyak kepada Presiden Prabowo. Bukankah ada Kementerian Hak Asasi Manusia yang dipimpin oleh Natalius Pigai. Namun, penanganan terhadap Tragedi Agustus 2025 belum terlihat serius. Padahal jumlah korban, menurut Komnas HAM, 11 orang meninggal dan 1.683 orang ditahan.
Kini bertolak dari kutipan penggalan pidato Presiden Prabowo di atas, Indonesia ingin mempraktikkan konsep kosmopolitan. Tentu saja kita senang. Warga negara Indonesia didorong menjadi warga dunia. Sebuah persoalan menghadang, apakah keinginan itu benar-benar riil? Atau ia hanya menjadi hiburan saja bagi dunia internasional? Ia hanya untuk jadi konsumsi komunitas internasional saja!
Entahlah! Yang jelas, ada syarat utama (prerequisite) untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kosmopolitan. Indonesia mesti menghormati HAM lebih dulu. Tanpa penghargaan terhadap HAM, tidak ada kosmopolitan! [ ]
*Gurubesar Jurnalistik UGM