Sebira Versus Siberia: Catatan untuk Anies Baswedan
Anies telah memulai menguraikan pikiran politiknya atau platform perjuangan di media massa, yang membuat kita mengerti sosok Anies untuk memimpin bangsa. Secara relatif, pikiran Anies menjanjikan adanya perubahan yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, lebih berkeadilan. Ini relatif. Namun, secara absolut, tentu saja tawaran Anies, dalam pikiran perubahan tersebut, terlalu sedikit di tengah hausnya tuntutan rakyat saat ini.
Oleh : Syahganda Nainggolan
JERNIH–Sebira, demikian Anies Baswedan memulai proposisinya tentang demokrasi dan keadilan sosial, pada tulisan “Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan“, Kompas, 16/02/23 lalu. Karena tulisan itu viral via medsos dalam potongan copy koran, hurufnya terlalu kecil, saya berpikir tadinya Siberia.
Sebira adalah sebuah pulau di utara Jakarta, jauh dari Jakarta. Sedangkan Siberia adalah tanah di Rusia, eks Uni Soviet. Baik Sebira maupun Siberia, keduanya berbicara tentang peristiwa, yang menghadirkan pilihan politik dalam memajukan sebuah kehidupan.
Anies Baswedan, melalui tulisan tersebut, sudah mulai memperlihatkan platform politik perjuangannya. Tulisan ini menyebar luas melalui media sosial dan jadi perbincangan publik. PulauĀ Sebira, cerita Anies, adalah tentang tanah dan rakyat marginal, terpinggirkan, padahal masuk di ibukota.
Pulau ini terlalu jauh dari pusat pemerintahan. Penduduknya kesulitan akses listrik, air bersih dan kapal hanya seminggu sekali. Namun, ketika Anies menjadi gubernur, perspektif pulau terluar yang kurang diperhatikan, ditiadakan. Semua pulau, menurut Anies, punya hak dasar yang sama. Karena itu, tidak ada perspektif berbasis jarak, semuanya berjarak nol dari ibu pertiwi. Republik menurutnya tidak boleh bekerja berdasarkan perspektif untung rugi, melainkan perspektif keadilan. Dengan demikian, hak-hak Pulau Sebira dipenuhi Anies, setara dengan daerah lainnya.
Di sini proposisi Anies Baswedan tentang peran negara harus melihat semua daerah mempunyai hak dan kesempatan yang sama, ekual, tidak ada alasan geografis, jarak dari pusat pemerintahan.
Untuk memanifestasikan keadilan sosial itu Anies mengajukan proposisi dalam tiga hal. Pertama, demokrasi dan kesetaraan hukum. Kedua, ekonomi untuk semua. Dan ketiga, masyarakat yang guyub.
Demokrasi penting untuk memberi ruang yang setara bagi semua. “Demokrasi dan keadilan hukum yang akan mendorong kemajuan ekonomi yang berkeadilan”, menurut Anies. Ekonomi untuk semua, maksudnya merubah institusi market yang “purely” liberal menjadi “social market economy“. Orang-orang miskin atau pengusaha kecil, bukan sekedar penunggu “charity“, melainkan ikut bertumbuh, tanpa mematikan pengusaha besar.
Terakhir, Anies menjelaskan perlunya masyarakat guyub. Maksudnya terjadi interaksi sosial yang kuat antar warga dan penyelenggara negara. Kuncinya pada aspek kolaborasi dan meritokrasi. Kedua aspek ini akan memunculkan pemerintah(an) yang berintegritas. Pemerintah seperti ini yang akan meluruskan jalan dan memberikan keadilan untuk semua.
Tentu kita mengapresiasi pikiran politik Anies ini. Karena ini adalah yang ditunggu-tunggu rakyat Indonesia untuk tidak “membeli kucing dalam karung”. Sebelum ini kita hanya melihat survey-survei elektabilitas dan popularitas capres-capres, naik turun, dipilih responden, padahal pikiran mereka belum disampaikan ke publik.
Pikiran ini tentu saja belum bisa menjadi acuan pasti tentang komitmen menjalaninya setelah terpilih. Misal, Jokowi, pada 10/5/2014 menyampaikan pikiran pertamanya, juga di Kompas, dengan tema “Revolusi Mental“. Maksudnya adalah melakukan transformasi budaya kekuasaan yang materialistik dan hedonis ke arah pengabdian tulus ikhlas. Namun, fakta sebaliknya, koruptor merajalela di era Jokowi. Dengan indeks persepsi korupsi sebesar 34 tahun 2022, Jokowi memperlihatkan mental pejabat negara sama buruknya dengan era Orde Baru yang penuh KKN.
Apakah pikiran Anies tentang jalan menuju keadilan akan bernasib gagal seperti gagalnya Revolusi Mental Jokowi?
Kenapa Jokowi gagal? Kunci kegagalan Jokowi adalah kegagalan dalam menghadirkan kritik atas situasi yang semula akan dirubahnya. Tidak ada juga “Siberia.”
Siberia apa itu? Itu adalah sebuah tempat di penghujung Rusia, yang membunuh 500 ribu kaum bangsawan Rusia setelah Revolusi Bolshevik 1917. Ada 14 juta pembangkang dikirim kerja paksa di kamp-kamp konsentrasi di sana. Sebuah revolusi, mampu menunjukkan perbedaan antara masa lalu dan esok. Revolusi Bolshevik melihat bahwa kesengsaraan petani dan rakyat Rusia disebabkan pengkhianatan kaum bangsawan kala itu. Mereka menghisap rakyat kecil. Selanjutnya mereka harus menjalani hukuman, kerja paksa di Siberia. Jadi Siberia itu adalah sebuah simbol, pendukung Revolusi Bolshevik.
Revolusi Mental Jokowi juga tidak seperti Revolusi Mental Mao Zedong di RRC. Revolusi Mao yang disebut Revolusi Kebudayaan telah merubah struktur sosial masyarakat dengan mengambil semua anak-anak dari keluarga mereka untuk dibina negara, sebagai anak negara, dengan kebudayaan baru. Sifat orang-orang Cina yang korup dan malas diubah Mao menjadi pekerja keras dan hidup sama rata sama rasa. Jutaan orang tewas sebagai korban Revolusi Mental Mao, kelaparan, namun Cina terus bergerak ke arah kehidupan baru.
Pikiran Anies tentu layak untuk dibedah. Agar tidak bernasib buruk dengan pikiran Revolusi Mental. Merespons sebuah gagasan, apalagi yang dianggap berbasis pengalaman, dapat melahirkan pembaharuan atau penyempurnaan, sebelum menjadi acuan final sebagai platform politik. Untuk itu, izinkanlah saya merespons pikiran Anies tersebut sebagai berikut.
Pertama soal ketimpangan sosial. Dalam menguraikan Pulau Sebira yang tertinggal, Anies tidak memperlihatkan relasi struktural antara segelintir oligarki dengan rakyat miskin di Indonesia. Urusan pulau Sebira adalah urusan pelayanan negara terhadap rakyatnya. Sedangkan ketimpangan yang ada saat ini terjadi di mana segelintir elite pengusaha mengendalikan mayoritas aset/sumber kekayaan nasional.
Ada, umpamanya, satu dunia usaha yang mengendalikan jutaan hektare lahan perkebunan, ketika rakyat kesulitan mendapatkan sedikitpun lahan untuk bertahan hidup. Ada segelintir pengusaha yang mengendalikan seluruh tanah-tanah strategis perkotaan. Ada segelintir orang yang mengendalikan minyak goreng, yang membuat rakyat pernah terbukti tidak berdaya mendapatkannya secara bermartabat.
Ada segelintir orang yang mengendalikan aliran modal pembiayaan usaha, dan lain sebagainya. Struktur ini berkembang cukup lama, yang membuat kekayaan orang-orang kaya semakin kaya. Menurut Thomas Pikkety dan Professor Jeffrey Winters, pengali kekayaan mereka bersifat eksponensial. Bahkan, Jeffrey Winters dalam teorinya tentang oligarki, mereka ini kemudian menjadikan negara sebagai kaki tangan mereka.
Kedua tentang “Social Market Economy“. Konsep ini lahir di Jerman setelah Perang Dunia II. Wilhelm Ropke dan kawan-kawan yang menginisiasi “middle way” (fee.org/articles/the-german-economic-miracle-and-the-social-market-economy/amp), tidak berani mendorong “free market economy” secara utuh di sana, dari “Planned Economy” era Hitler, karena Jerman mengalami kehancuran sosial yang begitu dalam pasca-perang.
Kehancuran sosial ini, dianggap sebuah kejahatan kaum oligarki di sana, yang bersekongkol dengan Nazi/Hitler. Sehingga, konsekuensinya, ketika ekonomi bangkit kembali, paska perang, pengaturan ekonomi menjadi keharusan di mana kepastian redistribusi dan co-determination dalam dunia usaha, antara buruh (kaum miskin) dan pengusaha, dijadikan prinsip berbangsa yang adil. Pengusaha tidak diberikan kesempatan mengatur seenaknya ekonomi nasional. Ini adalah “middle way“.
Apakah mungkin menjalankan “social market economy” jika tidak ada pengakuan kehancuran sosial di Indonesia? Apakah mungkin mengajukan prinsip “co-determination” antara kaum pengusaha dan kaum buruh, tanpa ada sebab yang memperlihatkan struktur ketimpangan kita adalah sebuah kejahatan terhadap konstitusi? Sebuah pengkhianatan? Apakah mungkin berbicara tentang redistribusi jika kerakusan oligarki dianggap legal? Tentu saja ini akan menjadi mimpi belaka. Sebab, merujuk pada situasi Jerman dahulu, memang pengusaha di sana mendukung Hitler membunuh jutaan manusia. Sehingga mereka merasa sebagai pengkhianat, setelah Hitler kalah.
Anies dapat saja mengasosiasikan prinsip-prinsip Social Market Economy dengan ekonomi kerakyatan yang digagas pendiri bangsa. Namun, keinginan itu bisa menjadi utopia, ketika rakyat tidak mempunyai kekuatan untuk marah. Rakyat tidak bisa marah kalau mereka bepikir bahwa kemiskinan mereka terjadi sebagai hal yang natural saja. Dengan demikian, maka para pemimpin rakyat harus bisa memperlihatkan bahwa kaum oligarki selama ini telah menjadi penindas.
Pikiran Anies belum sampai kepada menunjukkan adanya kritik atas ketimpangan sosial. Padahal, berbagai kemarahan rakyat selama satu dekade belakangan ini, berreferensi pada fakta kerakusan oligarki tersebut. Bahkan, kaum oligarki telah dipersepsikan bersekongkol dengan kekuasaan lokal dan internasional untuk mengeruk sumber daya alam kita. Tanpa masuk pada kritik ini, dikhawatirkan pikiran Anies akan serba tanggung untuk menjadi platform perjuangan rakyat yang militan.
Ketiga, soal demokrasi dan kesetaraan hukum. Demokrasi dan kesetaraan hukum merupakan turunan dari keseimbangan sosial dalam relasi power. Jika kita gagal menyeimbangkan distribusi kekayaan rakyat, maka segelintir oligarki akan terus berupaya mengontrol jalannya pemilu. Ini terlihat seperti “teka-teki telur dan ayam”, mana duluan. Atau lingkaran setan. Kita mulai dari mana?
Begitu juga soal guyub. Persatuan sesama warga dan persatuan warga dengan pemerintah, berkolaborasi, juga merupakan kepentingan natural, jika struktur ekonomi yang mendominasi dieliminasi. Sebaliknya, perpecahan seringkali merupakan produk yang sengaja direkayasa untuk membuat kontrol vertikal rakyat terhadap negara maupun oligarki melemah.
Bagaimana selanjutnya? Anies telah memulai menguraikan pikiran politiknya atau platform perjuangan di media massa, yang membuat kita mengerti sosok Anies untuk memimpin bangsa. Secara relatif, pikiran Anies menjanjikan adanya perubahan yang akan membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik, lebih berkeadilan. Ini relatif. Namun, secara absolut, tentu saja tawaran Anies, dalam pikiran perubahan tersebut, terlalu sedikit di tengah hausnya tuntutan rakyat saat ini. Rakyat benar-benar butuh perubahan besar.
Misalnya, mungkinkah lima juta hektare lahan perkebunan yang dimiliki sebuah perusahaan, misalnya, dibagikan kepada satu juta rakyat Indonesia, dalam sebuah koperasi rakyat? Mungkinkah tambang-tambang batubara, nikel, bauksit, emas dalam skala besar diberikan kepada koperasi rakyat? Sehingga rakyat mempunyai alat produksi untuk hidup.
Kemungkinan Anies dapat melakukan itu cukup berat. Namun, Anies tentu lebih mungkin secara relatif melakukan cita-cita perubahan dibandingkan capres dari kalangan pemerintahan saat ini, yang mungkin sama dengan rezim Jokowi saat ini.
Bagaimana Anies bisa melakukan itu? Untuk dapat melakukan hal tersebut, sebuah revisi pemikiran harus dilakukan. Pertama, Anies harus memulai juga berpikir tentang Siberia, bukan hanya Pulau Sebira. Kedua, Anies harus mengungkap adanya kejahatan berbasis legal yang memiskinkan rakyat Indonesia selama ini. Harus ada pengkhianat negara yang di “Siberiakan”. Dihukum sebagai koreksi sosial.
Namun semua tergantung kolaborasi Anies dan rakyat semesta. Jika Anies mengikuti gelombang hasrat rakyat untuk perubahan, mengalami energi bersama untuk perubahan, antara pemimpin dan rakyatnya, maka sangat mungkin Indonesia ke depan akan berubah. Mungkin keadilan yang didambakan rakyat akan tercapai. Mungkin cita-cita proklamasi kemerdekaan dapat diwujudkan Anies nantinya. Semoga. Itulah pentingnya “mengubah” Sebira menjadi “Siberia”. [ ]
*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle. Sukamiskin-Bandung