Solilokui

Sepucuk Surat dari Ibu Peri: Kisah Tentang Flora dan Daniel

Setiap manusia, betapa kecil dan tak berdayanya sekalipun, merupakan makhluk tertinggi ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup.

Penulis: Maria Rosa Tirtahadi

Kawan – kawan terkasih,

Sebagai salah seorang pendiri dan pengelola suatu panti asuhan di Bogor, yang pernah merasakan uluran tangan kasih anda, ijinkanlah saya kali ini menceritakan kisah dua orang anak kami, yang pernah anda bantu dalam perjuangan mereka untuk “hidup”. 

Flora dan Daniel adalah dua orang anak yang sangat berbeda, baik secara jenis kelamin, suku maupun usia. Mereka juga tidak pernah saling bertemu. Namun bagi mereka yang mengenal kedua anak ini, apalagi yang hidup bersama mereka, akan melihat kesamaan di antara mereka. 

Baik Flora maupun Daniel adalah anak anak gagal pengguguran yang berjuang untuk hidup, mengharapkan cinta dan ingin mencintai…

Bukan merupakan suatu kebetulan bahwa keduanya dalam usia beberapa hari diserahkan kepada panti asuhan yang sama.

Keduanya dalam usia yang sangat muda, dengan cara yang sangat sederhana berusaha menjadi saksi bahwa setiap manusia, betapa kecil dan tak berdayanya sekalipun, merupakan makhluk tertinggi ciptaan Tuhan yang mempunyai hak untuk hidup. Flora kembali menghadap penciptanya dalam usia 16 bulan. Secara tidak langsung hidupnya yang singkat dan penuh perjuangan memberi Daniel kesempatan untuk hidup lebih lama.

Inilah kisah mereka……….

Pada tanggal 12 September 2002 lahir seorang bayi perempuan dari seorang ibu yang terbelakang mental dan ayahnya tidak jelas. Menurut cerita neneknya, selama dalam kandungan, si ibu mengkomsumsi berbagai macam obat yang dapat membahayakan janinnya.

Sedangkan si nenek tidak menyadari dari awal bahwa puterinya hamil. Si bayi lahir dengan kelainan jantung yang cukup parah. Karena keadaan ekonomi si nenek dan si ibu tidak dapat merawat bayi ini dan meyerahkannya kepada kami, pada tanggal 16 September 2002.

 Saya memberikan nama Flora kepada si bayi, dengan harapan bahwa dia akan tumbuh menjadi bunga yang indah diantara kuntum kuntum bunga lain di panti kami. Karena kelemahan fisiknya, Flora menjadi pusat perhatian penghuni panti yang lain.

Dalam usia enam bulan dia menjalani operasi jantung pertama di RS Harapan Kita Jakarta. Banyak diantara anda yang membaca kisah ini akan teringat akan surat yang saya tulis pada bulan Maret 2003.

baca juga: Sepucuk Surat dari Ibu Peri: Selamat Datang Yayasan Hadiwana Tirta Lestari

Belum pernah saya menerima demikian banyak perhatian dari orang, seperti pada saat itu. Flora dapat menjalani operasi jantung berkat dukungan moral dan material dari banyak orang.

Saya menyimpan semua surat dan email yang saya terima sehubungan dengan perjuangan kami untuk memberi Flora kesempatan hidup. Saya berharap suatu saat saya dapat menunjukannya pada Flora dan dia akan menyadari bahwa dia dicintai oleh banyak orang dan dengan demikian akan memberikan cintanya pada banyak orang.

Setelah operasinya yang pertama, Flora nampak tumbuh sehat dan periang. Saya menempatkan boxnya di kamar saya dengan maksud dia akan lebih terlindung dari segala penyakit yang mungkin akan lebih mudah diperolehnya, jika dia berada di ruangan anak anak yang lain.

Walaupun “di istimewakan” Flora tetap ramah pada setiap orang, murah senyum dan penurut. Dia cepat belajar berbicara dan menghitung. Ini semua telah membuat kami lupa bahwa kelainan jantung yang dideritanya cukup parah dan “maut” tetap berusaha menjemputnya setiap saat.  

Pada tanggal 7 Januari 2004, Flora menghadap penciptaNya, sehari setelah menjalani operasi jantung yang kedua di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi kami semua yang mencintainya, merawat dan berjuang bersamanya.

baca juga: Sepucuk surat Ibu Peri untuk Daniel Adi Saputra

Segala macam perasaan meliputi hati kami, ketika jenazahnya disemayamkan di kapel panti kami. Dia kelihatan tenang, seperti sedang tertidur lelap.

Khotbah Uskup Bogor, Mgr.Michael Angkur OFM pada misa requiem malam tgl, 7 Januari 2004 tidak akan terlupakan oleh kami.

“Saat ini Flora adalah kuntum bunga terindah di panti ini yang dipilih Tuhan untuk dipetik bagiNya.” Demikianlah yang dikatakan Bapak Uskup dalam khotbahnya.

Malam itu dan keesokkan harinya, kami para penghuni panti berulang kali memeluknya dan menciuminya seakan akan dia masih hidup. Kami semua bersedih, tapi juga bersyukur bahwa kami para penghuni panti ini, diizinkan hidup bersama kuntum bunga indah ini, mencintai dan dicintai olehnya. Kami telah terbiasa menghadapi kematian penghuni panti yang lanjut usia.

Namun selama 10 tahun keberadaan Yayasan kami, inilah kali pertama seorang anak penghuni panti kami meninggal, hal mana menyadarkan kami bahwa maut tidak mempertimbangkan usia dalam menjalani tugasnya menjemput jiwa manusia.  

Kehidupannya yang singkat dipanti asuhan kami, merupakan berkat bagi kami. Setelah kepergiannya kami mulai bertanya:”akankah kematiannya merupakan kesedihan berlanjut bagi kami ? Apakah segala usaha kami untuk mempertahankan hidupnya akan menjadi sia sia dan terlihat sebagai suatu kegagalan belaka? Adakah sesuatu yang dapat kami lakukan untuk menjadikan kematiannya juga merupakan berkat bagi semua orang yg mencintainya????

Pada12 September 2004, saat kami seharusnya merayakan hari ulang tahun Flora yang kedua, berdirilah suatu paguyuban untuk membantu anak anak yang kurang mampu dalam hal kesehatan.

Paguyuban ini kami beri nama Paguyuban Flora dan walaupun secara hukum tidak merupakan bagian dari yayasan kami, tapi tidak dapat disangkal bahwa paguyuban ini tidak akan pernah berdiri jika Flora bukan anak yang dititipkan dipanti asuhan Yayasan ABAS. Modal pertama dari paguyuban ini merupakan sisa uang yang terkumpul untuk biaya operasi dan pengobatan Flora.

Belum sebulan setelah Paguyuban Flora didirikan, yaitu pada tanggal 1 Oktober 2004, lahir seorang anak laki-laki yang ayahnya juga tidak jelas siapa.

Tanggal 9 Oktober si bayi mungil diantar ke panti kami oleh ibunya sendiri dan suatu keluarga dimana si ibu bekerja. Si ibu dengan jujur mengatakan pada saya:”Saya sudah berusaha untuk menggugurkan kandungan saya , tapi bayi ini lahir juga. Saya tidak mau memeliharanya dan saya serahkan pada ibu.

Menurut cerita dari majikan si ibu, selama 9 hari, si ibu tidak mau menyusui si bayi. Kalau menuruti pikiran, saya tidak ingin menerima bayi ini. Kelihatan jelas bahwa si bayi mengalami cacat yang cukup parah. Ia menderita meningocele, dimana pembentukan sinusnya tidak sempurna sehingga mengalami kebocoran dan cairan otaknya mengalir, membentuk suatu benjolan diantara mata kiri dan hidungnya.

Telunjuk kanannya hanya setengah. Ketidak sempurnaan anggota tubuhnya menunjukkan dengan jelas bahwa ia seorang anak “gagal pengguguran”. Ketika saya menerima si bayi dalam tangan saya, dia membuka matanya seakan memaksa saya untuk menerima kehadirannya. 

Setinggi apapun pendidikan kita, saya yakin setiap orang pernah mengalami bahwa suara hati lebih bermain peranan dalam mengambil keputusan daripada pikiran. Itulah yang terjadi pada diri saya tanggal 9 Oktober 2004. Saya beri dia nama Daniel dengan harapan Tuhan berkenan memberikan dia kekuatan padanya untuk tumbuh menjadi kuat dalam iman seperti Nabi Daniel.

Setelah menjalani berbagai macam pemeriksaan, tgl. 23 November 2004, Daniel menjalani operasi yang pertama. Saat itu usianya belum genap dua bulan. Bukan suatu yang mudah bagi staf kami dan saya sendiri untuk bolak balik dan mendampingi Daniel di RS yang sama di mana 11 bulan sebelumnya Flora menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Tapi saya juga yakin bahwa selama hidupnya Flora bukanlah anak yang egois. Karena itu dia dalam kebahagiaannya di surga pasti mengharapkan kami melakukan hal yang sama pada Daniel, seperti kami melakukan untuknya. 

Flora memang akhirnya harus menyerah dan pergi meninggalkan kami, tapi ia telah mendapatkan yang terbaik selama hidupnya, juga saat saat terakhir menjelang kematiannya di rumah sakit.

Awal Desember 2004 kami boleh membawa Daniel kembali ke panti dalam keadaan sehat. Daniel kembali ke panti, ketika panti kami sudah mulai dihias dengan hiasan natal. Keberhasilan operasi Daniel merupakan hadiah Natal 2004 terindah bagi kami.

Daniel saya tempatkan di tempat tidur Flora di kamar saya.

Setelah operasinya yang pertama berhasil baik, pada akhir bulan April dan awal Mei 2005, Daniel kembali harus menjalani operasi. Saat saya mulai menulis kisah ini, Daniel berusia 8 bulan dan bukan lagi merupakan anak terkecil dipanti kami.  Dia juga tidak perlu lagi menjalani operasi. Biaya operasi dan perawatannya sebagian besar kami peroleh dari Paguyuban Flora.

Baik Daniel maupun Flora adalah anak anak yang menerima perhatian dan kasih sayang, bukan dari orang tua mereka, dan bukan juga hanya dari kami yang tinggal di panti asuhan ini bersamanya, tapi dari banyak orang, termasuk anda.

Masih banyak anak anak yang ditolak kehadirannya di dunia. Flora dan Daniel hanya dua diantara sekian banyak anak di dunia yang tidak mengerti mengapa kehadiran mereka di tolak oleh banyak orang.

Kisah ini saya tulis sebagai ucapan terima kasih saya sebagai “ibu” dari Flora dan Daniel yang tidak pernah mengandung mereka, tidak pernah merasakan sakitnya melahirkan mereka, namun bersama para staf saya merasa memiliki dan mencintai mereka serta dicintai dan dimiliki oleh mereka.

Suatu ungkapan terima kasih kepada anda semua yang telah membantu saya di masa masa sulit, ketika Flora harus menjalani operasi dan ketika kami harus menerima kenyataan bahwa hidupnya di dunia harus berakhir dalam usia 16 bulan.

Suatu ungkapan terima kasih atas dukungan anda baik yang tinggal di sekitar kami, maupun yang tinggal jauh dari kami, bahkan di luar negara kami sehingga setelah kematian Flora, kami tetap dapat membuka hati bagi anak anak lain yang kehadirannya ditolak oleh keluarga mereka.

Saat ini dipanti kami Daniel telah memiliki tiga adik baru yang semuanya laki laki. Daniel dapat tumbuh menjadi anak yang sehat dan periang juga karena dukungan anda semua

Kebahagiaan terbesar yang dapat dirasakan seorang ibu adalah ketika dia melihat anaknya tumbuh sehat setelah mengalami suatu perjuangan untuk mempertahankan hidup. Kami dapat melewati masa masa sulit dalam mendampingi Daniel selama di rumah sakit karena kami merasa tidak sendiri.

Kehadiran beberapa kawan alumni SMA Budi Mulia angkatan 81 serta dr. Esther dan dr. Kyat Sidharta dari RS Mitra Keluarga Kelapa Gading yang tanpa pamrih mengusahakan kesembuhan Daniel saat dia harus beberapa kali menjalani operasi telah membantu saya untuk selalu berpikir positif .

Atas nama si kecil Daniel, kami para pengurus dan staf Yayasan ABAS juga ingin menyampaikan terima kasih kami kepada para dokter dan perawat RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, yang dengan penuh perhatian dan kasih sayang telah berupaya semaksimal mungkin menjadikan  Daniel anak yang sehat.  

Akhir kata, saya berharap bahwa suatu saat anda dapat menyempatkan diri untuk mengunjungi panti kam , bermain bersama anak anak kami atau mendengarkan cerita para wanita lanjut usia, cacat atau hamil yang menjadi penghuni panti kami.

Salam hangat, Maria Rosa

Bogor, 26 Juni 2005

Penulis adalah pemilik dan pengelola Panti Asuhan Yayasan Awan Bina Amal Sejati (ABAS), Tonjong Bogor dengan jumlah penghuni 15 lansia, anak-anak dan remaja 29 orang dan balita 9 orang.

Back to top button