Di masa depan kita akan semakin kesulitan membedakan antara ‘yang nyata’ dan ‘yang tak nyata’. Tentang kegamangan ini Mark Slouka menasihati, “Cobalah mulai saat ini Anda belajar mencintai hal-hal yang benar-benar nyata. Pergilah ke taman, dan sentuh daun-daun yang berguguran. Rasakan juga anginnya yang mencicit-cicit. Juga ciumlah kening istri Anda di taman itu. Rasakan wanginya. Jangan biasakan mencium kening virtual di dunia maya.”
Oleh : Agus Kurniawan
JERNIH– Sewaktu kecil saya pernah menipu kakek. Usia beliau tujuh puluh waktu itu, dan mewakili generasi yang minim sekali bersentuhan dengan ikon-ikon kemajuan.
Kakek saya itu seorang petani dusun yang tinggal di ujung gunung, perbatasan Kabupaten Magelang dan Semarang, yang sepanjang hidupnya tak memiliki piranti elektronik apa pun. Oh, kecuali senter kecil bertenaga baterai. Sebaliknya, saya generasi yang sedang antusias menyongsong zaman baru. Sekalipun kami sama-sama belum menikmati listrik, tetapi setidaknya di rumah bapak saya sudah tersedia radio dan tape recorder bertenaga aki kecil. Dengan tape recorder inilah saya menipu kakek.
Ketika menginap di rumah kami, kakek biasanya saya putarkan musik favorit keluarga, yakni gending Jawa. Atau istilah populernya uyon-uyon, entah itu dengan radio atau tape. Kakek tentu saja tahu tentang radio atau tape, atau lebih tepatnya tahu menikmatinya. Tetapi beliau tidak tahu mengoperasikannya. Dan yang sama sekali tak diketahuinya adalah bahwa tape recorder bisa digunakan untuk merekam suara kita sendiri.
Entah bisikan apa tiba-tiba saya kepikiran untuk merekam suara saya, menirukan penyiar yang sering didengar oleh kakek dari radio. Lalu dalam rekaman itu saya menyampaikan salam hangat kepada kakek saya, lengkap dengan deskripsi detil yang mengindikasikan bahwa penyiar gadungan tersebut mengenal betul sosok kakek saya. Hasilnya sesuai harapan. Kakek terheran-heran dengan kejadian ini, dan mulai menceritakannya dengan penuh antusias kepada orang-orang terdekat, misalnya kepada bapak, ibu, dan paman saya. Ketika beberapa minggu kemudian saya berterus terang tentang penipuan ini, kakek marah besar.
Kenakalan saya itu sebenarnya suatu persoalan filosofis yang serius. Apa yang dimaksud dengan kenyataan? Benarkah yang kita anggap kenyataan itu sesungguhnya cuma “kesan-kesan” yang dihasilkan di dalam ruang interpretasi? Bisa jadi “kenyataan” itu hanyalah tiruan atau bahkan pemalsuan dari sesuatu yang lain? Peniruan atau pemalsuan dari sebuah model nyata? Atau … bahkan bukan lagi tiruan, tetapi khayalan yang tidak lagi bersumber dari realitas mana pun?
Wow akhirnya kita sampai pada polemik pelik tentang representasi, yang telah mengharu-biru jagad intelektual sejak Parmenides, Plato, Hegel, hingga Umberto Eco atau Baudrillard. Seandainya saya tak berterus terang kepada kakek tentang penipuan itu, mungkin sampai akhir hayatnya kakek akan tetap percaya bahwa penyiar radio itu benar-benar mengenal beliau. Sementara bagi saya — yang tahu persis kejadiannya, realitas yang diyakini kakek itu omong kosong belaka.
Terhadap peristiwa sederhana yang berlangsung di depan mata, kita akan dengan mudah mengatakan, “Saya tahu persis kejadiannya”. Tetapi peristiwa model begini tidak memiliki peran signifikan dalam sistem kognisi kita. Ini seringkali hanyalah peristiwa remeh-temeh, misalnya gelas pecah atau keran macet. Sedangkan yang dominan dalam hidup kita adalah kejadian-kejadian yang sudah dimediasi. Atau dengan istilah lain, sudah dimanipulasi, baik dalam nosi baik atau buruk. Dan pernyataan ‘saya tahu persis kejadiannya’ menjadi diragukan.
Saya tak sendirian. Kenakalan saya bukan modus baru. Memanipulasi ‘kenyataan’ telah terjadi sejak ribuan tahun silam. Plato, filosof Yunani itu, pernah mendokumentasikan dialog njlimet tetapi serius antara kolega Socrates — seorang anak muda bernama Theaetetus — dan seorang asing dari Elea.
Dialog itu pada dasarnya membahas tentang definisi kaum Sophis, dan oleh karenanya dialog itu diberi judul “Sophist“. Kaum Sophis adalah sekelompok intelektual yang menyebarkan atau mengajarkan pengetahuan dengan meminta imbalan — tren aneh yang lagi booming zaman itu. Orang Asing dari Elea itu menganalogikan kaum Sophis sebagai pemburu bayaran (hired hunter), yang menukarkan hasil buruan dengan sejumlah uang. Sementara lawannya adalah pemburu sejati (faithfull hunter), yang menyedekahkan hasil buruannya secara cuma-cuma.
Lalu dialog itu menyinggung tabiat para seniman kriya yang memahat patung tidak dalam proporsi yang benar sesuai tubuh manusia, tetapi sengaja didistori — tubuh bagian atas lebih besar dibanding bagian bawah. Tujuannya agar patung-patung itu memiliki citra lebih gagah. Bahasa Latin memiliki istilah khusus tentang ini, yakni simulakra. Istilah ini baru masuk ke dalam kamus Bahasa Inggris kira-kira abad ke-16, yang arti harfiahnya adalah “kemiripan”, “keserupaan”, “similarity“, atau “likeness“.
Menurut orang Elea itu, baik para Sophis atau para seniman memiliki nosi yang mirip, yakni berperan layaknya “pedagang”. Barang dagangannya disebutnya “food of the soul“, dibedakan dengan barang dagangan fisik pada umumnya, atau “food of the body“. Isi dialog itu kira-kira begini (Maaf, ini cuma “Dialog Plato” palsu versi saya. Versi aslinya lebih bertele-tele :):
Orang Asing: “Apakah kita sepakat menggunakan istilah ‘yang nyata (being)’ dan yang ‘tidak nyata (not being)'”?
Theaetetus: “Ya, sepakat.”
Orang Asing: “Apakah menurut Anda patung-patung — yang berkesan gagah — itu ‘nyata'”?
Theaetetus: “Tidak, tetapi tiruan dari ‘yang nyata'”?
Orang Asing: “Berarti ‘tidak nyata’?”
Theaetetus: “Saya kira demikian.”
Orang Asing: “Mengapa?”
Theaetetus: “Karena patung-patung itu tidak benar-benar persis sesuai aslinya, tetapi sengaja didesain untuk memunculkan kesan-kesan khusus.”
Orang Asing: “Hmm… tapi bukankah kesan-kesan itu akhirnya mempengaruhi persepsi kita tentang kenyataan? Bahkan … orang-orang justru akhirnya lebih percaya patung yang berkesan khusus itu ketimbang yang persis aslinya? Jadi, ‘yang tidak nyata’ itu mungkin saja menjadi ‘nyata’?”
Theaetetus: “Hmm…bener juga sih.”
Media Amerika ternyata paling getol menciptakan simulakra. Di Yalta, tahun 1945, ketika nestapa Perang Dunia Ke-2 baru saja usai, Silvester “Rocky” Stallone pernah mejeng bareng PM Inggris Tuan Churchill, Presiden AS Mister Roosevelt, dan Kamerad Stalin. Bayangkan, Stallone yang ototnya berbuku-buku itu cuma memakai singlet alias kaos oblong, sementara para pemimpin dunia itu berjas lengkap. Pada foto itu, Si Rocky seolah-olah habis menasehati para kampiun perang itu dengan logat Brooklyn nan medok, “Sok atuh Bos, bagi-bagi hasilnya yang rata. Jangan berebut, ya!”
Scientific American lebih gila lagi. Majalah itu menayangkan potret Abraham Lincoln memangku dan memeluk mesra bintang seronok, Marilyn Monroe. Dalam foto itu Nona Monroe tampak bahagia, sementara Lincoln terlihat bijaksana.
Kurang ajar memang. Tapi tenang saja. Foto-foto itu palsu, atau istilah teknisnya montase (montage). Dengan mudah kita bisa menyangkal kebenarannya: bagaimana mungkin mereka yang beda generasi bisa berpose dalam satu potret? Apalagi waktu itu sebagian sudah meninggal dan lainnya masih hidup. Mudah sekali mengetahui kepalsuannya, bukan? Benar, memang mudah. Tetapi itu karena kita masih bisa melihat — walau sedikit — jejak kenyataan, atau kepingan artifak. Bagaimana dengan anak cucu beberapa generasi mendatang yang tak tahu apa-apa? Atau bagaimana kita sendiri jika berada dalam kondisi buta — tak memiliki informasi memadai? Pasti sulit. Sebab, foto-foto itu sulit sekali untuk dicap palsu. Sangat bagus, seperti asli. Anda tentu tak akan bisa menduga bahwa foto Menteri Luar Negeri AS (saat itu), James Baker, dengan Presiden Irak Sadam Husein itu palsu. Padahal aslinya foto itu antara Tuan Baker dan Menlu Filipina (saat itu), Raul Manglapus, sebelum akhirnya disisipi potongan tubuh Pak Saddam, musuh bebuyutan Amerika.
Di foto aslinya mimik Baker tampak tegang, seolah merasa bersalah akibat borok sejarah para pendahulunya. Sementara dalam foto palsu itu Baker justru rileks — lengannya merangkul akrab pundak Saddam, disaksikan oleh Manglapus yang juga ceria. Lengan itu aslinya tidak melingkar di pundak siapa pun, tetapi menjuntai di atas bantal sofa. Para seniman fotografi bahkan menilai foto palsu itu lebih baik dari aslinya.
Satu lagi tentang tipu-menipu. Kali ini digambarkan secara filmis dalam “Wag The Dog“. Film ini digawangi oleh seabreg mega bintang seperti Robert De Niro, Dustin Hoffman, Kristen Dunst, Anne Heche, dan Dennis Leary, yang berkisah tentang penyelamatan presiden incumbent Amerika Serikat dari aib: berselingkuh dengan gadis panggilan di bawah umur. Parahnya dua pekan lagi musim kampanye. Untuk mengalihkan isu, tim publik presiden lalu membuat simulakrum yang tak kalah sinting, sebuah liputan dokumenter palsu tentang perang yang juga palsu di Albania, di mana para tentara Amerika terjebak dalam medan perang yang bengis.
Situasi perang itu sendiri tidak digambarkan secara hingar-bingar ala “Saving Private Ryan“, melainkan cuma latar reruntuhan gedung dan penampakan seorang gadis setempat yang panik dan memelas, sambil menggendong seekor pudel. Memang sesekali terdengar juga desingan mitraliur dan dentuman artileri, tapi tak heboh amat. Ending-nya mudah ditebak, para “Rambo” itu berhasil menyelamatkan sang gadis, dan dielu-elukan sebagai pahlawan. Alhasil, isu pun teralihkan.
Serangkaian simulakra itu memang persis seperti yang diramalkan oleh orang asing dari Elea itu. Realistis, halus, detil, dan yang lebih penting: mengesankan. Tak menyisakan ruang keraguan bagi kita –pemirsanya– bahwa realitas itu sebenarnya sama sekali tidak nyata. Mark Slouka, budayawan Amerika, menyebut bangsanya sendiri — dan saya kira juga sebagian besar penduduk bumi ini termasuk kita — sudah menderita vertigo sejarah, semacam simptom kebingungan akut. Tak lagi bisa membedakan yang nyata dan tak nyata. Jungkir balik, begitulah.
Tak usah jauh-jauh ke Amerika. Foto dramatis tentang negeri kita pun ada. Foto ini sekali pun bertajuk China Begger (Pengemis Cina), tetapi judul itu ditulis terlalu kecil, nyaris tak kelihatan. Yang justru menonjol adalah potret seorang nenek pengemis berkebaya dan berkain batik, sedang bersandar pada dinding gedung yang lengang sembari menadahkan mangkuk alumunium ke orang-orang yang lewat. Nenek itu sangat memprihatinkan, memang. Tapi itu tak seberapa. Yang membuat foto itu begitu menggelegakkan emosi adalah gambar sekelompok gadis sekolah berseragam merah-putih, seragam SD kita, lewat di depan sang pengemis sambil menertawai kepapaannya. Dan bahkan salah satu dari gadis kecil itu mengacungkan jari tengah kepada si nenek, yang dalam budaya Barat diartikan sebagai simbol penghinaan yang keji.
Tak ayal di dunia mayapun menggembung diskusi yang melibatkan ribuan netters, baik dari dalam dan luar negeri–termasuk kawan-kawan kita sendiri, tentang betapa bobroknya moralitas anak-anak kita. Caci maki, kejengkelan, keprihatinan sahut-menyahut seolah kita sedang membahas tragedi pedih dan bayangan kelam masa depan. Padahal gambar itu seratus persen palsu. Anak-anak dan nenek pengemis itu berasal dari foto berbeda. Pun telunjuk tengah yang diacungkan itu juga bukan milik anak itu. Teknik montasenya buruk, cropping-nya kasar, pencahayaannya tak konsisten. Lalu ketika saya dan beberapa orang lain di internet bilang bahwa foto itu palsu, sebagian besar khalayak tetap saja meneruskan diskusinya, dengan tambahan kata-kata bersentimen moral, “Baiklah, mungkin benar gambar itu palsu. Tetapi bukankah kita tetap perlu waspada terhadap ancaman keruntuhan akhlak anak-anak kita?”
Saya akhirnya bertanya-tanya sendiri, mengapa orang-orang itu seperti menikmati self-bullying, semacam sado-masochism, dimana dirinya sendiri dipermainkan oleh realitas palsu? Ataukah ini yang oleh Eco dan Baudrillard disebut hiperealitas? (Anda mungkin ingat tentang betapa dahsyat religiusitas para penghuni cyberspace ketika tiba-tiba menemukan gambar palsu tentang malaikat yang turun di atas Ka’bah. Saya pernah berhasil membuat potret model begitu hanya dengan asap, kamera digital, dan cahaya blitz).
Anda boleh setuju atau tidak, produsen simulakra terhebat adalah media massa, khususnya tivi. Sinetron, infotaintment, dan berita. Ya berita (news), benteng pembeda terakhir antara yang nyata dan tak nyata pun kini terindikasi korup. Korup bukan dalam pengertian umum, tetapi sebagaimana yang dimaksud dalam Dialog Plato, yakni menghadirkan representasi yang tak sesuai dengan aslinya, alias tak nyata. Atau dalam terminologi Mark Slouka, representasi yang semakin bersaing dengan kenyataan, yang pelan-pelan mengaburkan tabir antara yang nyata dan yang virtual.
Tivi semakin sukses membuat pemirsanya lebih prihatin terhadap artis ayu mungil yang tergolek sayu di ranjang rumah sakit karena tifus, melebihi kepedulian mereka terhadap tetangga asli yang juga sedang opname karena demam berdarah. Atau tiba-tiba kita menjadi begitu takjub terhadap selebritas yang memanjakan anjing atau kucing piaraannya, sementara kita tak mendapat berita apa pun seputar anggaran kemewahan si kucing yang melebihi gaji para pawangnya.
Tetapi selalu ada dua sisi mata uang. Tak selamanya simulakrum ber-output buruk bagi pihak-pihak yang terlibat. Salah satunya tentang Tasripin. Sebuah berkah ketika media “berhasil menemukan” anak Banyumas berusia dua belas tahun yang bernasib malang ini, yang selama beberapa pekan menghiasi media-media nasional, termasuk media dari daerah-daerah yang jauh.
Anak ini diberitakan sebatang kara karena ibunya meninggal tertimpa longsoran batu di kali, sementara bapak dan kakak sulungnya merantau ke Kalimantan tanpa kabar. Keluarga dekat yang tinggal sekampung berkesan tak mau mengurus. Akibatnya, anak kecil yang seharusnya riang bermain ini terpaksa mensulihi peran sebagai kepala keluarga bagi ketiga adiknya.
Lalu, tentu saja, berita mengharukan ini mengundang simpati orang banyak. Tak hanya dermawan biasa, tetapi juga bupati setempat dan bahkan Presiden SBY. Tasripin yang sempat putus sekolah itu pun akhirnya kini bisa melanjutkannya. Rumahnya diperbaiki oleh tentara dari Kodim. Bahkan akhirnya para dermawan berhasil membawa pulang sang ayah dan dipertemukan dengan anaknya. Ketika ditanya oleh tivi apakah dia akan meninggalkan lagi anaknya, ayah Tasripin menjawab tegas, “Tidak, Pak!”
Eh, tunggu dulu. Rupanya kisah Tasripin tak persis seperti itu. Situs Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) wilayah Purwokerto (ajikotapurwokerto.or.id) memuat tulisan Shinta arDjahrie, seorang aktivis lembaga amal di Purwokerto, yang juga menyalurkan titipan bantuan kepada Tasripin. Menurut Shinta, anak malang itu tak benar-benar hidup sendiri. Dia diasuh oleh pamannya, Ali Katun, walapun tak tinggal serumah. Pamannya inilah yang menyediakan makanan pokok untuk Tasripin dan adik-adiknya.
Situs Riau Pos (riaupos.co) juga memberitakan bahwa Kuswito, ayah Tasripin yang berpenghasilan hanya Rp 1 juta sebagai buruh di perkebunan sawit itu, juga selalu rutin mengirim uang Rp 300-an ribu sebulan. Tapi uang itu tak mencukupi, hingga Tasripin kadang bekerja serabutan untuk menambah biaya sekolah adik-adiknya.
Tapi mengapa anak-anak ini tak tinggal saja dengan pamannya? “Kuswito bersikeras supaya anak-anaknya tetap di rumah. Dia menolak tawaran saudara-saudaranya untuk mengasuh anak-anaknya. Kami pun merasa sedih,” kata Ali. Lagian rumah Tasripin dan pamannya juga sangat dekat, hanya terpaut satu rumah.
Rupanya pemberitaan media yang tak sesuai itu melukai hati Ali Katun, sang paman. “Kami memang hidup kekurangan, Mbak. Tapi kami tidak pernah menelantarkan anggota keluarga kami sendiri,” kata Ali kepada Shinta. Yang menyinggung perasaan Ali dan keluarganya adalah berita bahwa Tasripin makan nasi hanya berlauk garam selama berhari-hari.
Pada titik ini, Shinta pun keheranan. Bagaimana mungkin pemberitaan bisa korup (meminjam nosi Plato) seperti ini? Mengapa Ali sang Paman, yang kebetulan juga ketua RW, yang rumahnya hanya berjarak 20 meter atau selisih satu rumah dengan tempat tinggal Tasripin, tak disertakan sebagai nara sumber? Juga orang-orang setempat, seperti guru ngaji dan kepala dusun? Bagi Shinta, pemberitaan Tasripin ini menyimpan teka-teki tersendiri. Dia menduga sang wartawan tak benar-benar datang ke lokasi. Reportase ini semata-mata berdasarkan informasi dari pihak ketiga, semacam “press release”, entah dengan maksud apa.
Akhirnya, Anda dan saya akan selalu gamang menyikapi realitas. Di masa depan kita akan semakin kesulitan membedakan antara ‘yang nyata’ dan ‘yang tak nyata’. Tentang kegamangan ini Mark Slouka menasihati, “Cobalah mulai saat ini Anda belajar mencintai hal-hal yang benar-benar nyata. Pergilah ke taman, dan sentuh daun-daun yang berguguran. Rasakan juga anginnya yang mencicit-cicit. Juga ciumlah kening istri Anda di taman itu. Rasakan wanginya. Jangan biasakan mencium kening virtual di dunia maya.”
Saya sendiri lagi mencoba menyelami makna hadist ini, “Man ‘arafa nafsah fa qad arafa rabbahu“. Barangsiapa mengenal diri sendiri, sesungguhnya ia mengenal Tuhan. Bukankah Tuhan adalan Realitas Sejati? Tetapi ini juga membuat saya semakin gamang. [ ]