
Dasar pemikiran kelompok Sutan Sjahrir berikut mayoritas anggota Partai Sosialis Indonesia pada dasarnya berpijak pada ajaran Fabianisme. Fabianisme lahir dari Fabian Society di London tahun 1884 dengan peletak dasar Sidney Webb Beatrice Webb George Bernard Shaw dan Graham Wallas. Akar pemikiran ini menekankan perubahan sosial melalui reformasi bertahap bukan revolusi mendadak. Politik bagi Sjahrir dan kelompoknya dipahami sebagai sikap solider terhadap struktur yang tidak adil.
Oleh : Saleh Hidayat*
JERNIH–Sutan Sjahrir merupakan tokoh intelektual dan politik Indonesia yang muncul pada masa awal kemerdekaan. Pemikiran politiknya menekankan bahwa nasionalisme hanya memiliki makna apabila berpihak pada kemanusiaan. Ia menolak nasionalisme yang berorientasi pada supremasi kekuasaan kultus pemimpin dan ambisi imperium yang menindas.
Dalam konteks Indonesia pasca kolonial Sjahrir melihat bahwa kemerdekaan formal tidak cukup untuk membangun masyarakat yang adil dan demokratis. Ia menempatkan kebebasan rakyat sebagai pusat proyek politik dan menegaskan bahwa setiap kebijakan nasional harus berpijak pada prinsip menghormati hak asasi manusia.
Kritik Sjahrir terhadap imperialisme Barat dan dominasi Soviet merupakan bagian dari pendekatan humanisnya. Ia menilai bahwa dominasi kekuatan besar baik dari blok kapitalis maupun komunis berpotensi mengurangi kemerdekaan bangsa bangsa yang baru merdeka. Dengan demikian nasionalisme menurut Sjahrir tidak boleh menjadi alat penguasaan atau instrumen politik otoriter tetapi harus menjadi sarana membela kebebasan individu dan kesejahteraan rakyat.
Pandangan ini menempatkan Sjahrir sebagai salah satu perintis konsep internasionalisme progresif di Asia Tenggara. Ia mengusulkan bahwa bangsa yang merdeka harus mampu bersikap terbuka terhadap solidaritas lintas negara menjaga kemerdekaan dari dominasi asing dan tetap berpihak pada nilai kemanusiaan universal. Dalam konteks ini gagasan Sjahrir tidak hanya bersifat lokal tetapi memiliki dimensi transnasional.
Dasar pemikiran kelompok Sutan Sjahrir berikut mayoritas anggota Partai Sosialis Indonesia pada dasarnya berpijak pada ajaran Fabianisme. Fabianisme lahir dari Fabian Society di London tahun 1884 dengan peletak dasar Sidney Webb Beatrice Webb George Bernard Shaw dan Graham Wallas. Akar pemikiran ini menekankan perubahan sosial melalui reformasi bertahap bukan revolusi mendadak. Politik bagi Sjahrir dan kelompoknya dipahami sebagai sikap solider terhadap struktur yang tidak adil.
Hal ini tidak hanya mengandalkan kecanggihan konsep dan kapasitas teknis tetapi juga menuntut keberpihakan pada golongan yang selalu menjadi korban ketidakadilan struktural. Motivasi kerelawanan berpijak pada gerakan Bakunin yang muncul pada abad ke 19 dengan pelopornya Mikhail Bakunin tokoh anarkisme revolusioner. Pilihan ini lahir dari kognisi kuat atas sejarah panjang struktur sosial yang sarat penghisapan dan ketimpangan kekayaan.
Kajian yang dilakukan dalam artikel “Asian Socialism and the Forgotten Architects of Post Colonial Freedom 1952–1956” memberikan konteks historis yang lebih luas bagi gagasan Sjahrir. Artikel tersebut menelusuri dinamika intelektual Asia pada awal tahun 1950 an melalui forum Asian Socialist Conference yang diadakan di Rangoon Burma Januari 1953 pada masa Perdana Menteri U Nu.
Banyak yang menghubungkan konferensi ini dengan Asia Conference di New Delhi 1947 yang diinisiasi oleh Jawaharlal Nehru dan dihadiri pula oleh Sjahrir. Konferensi ini menghimpun tokoh tokoh sosialisme Asia dari berbagai negara termasuk Indonesia, Burma, India dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya.
Para peserta berusaha merumuskan visi sosialisme yang sesuai dengan realitas pasca kolonial menolak bipolaritas Perang Dingin antara blok Barat dan blok Soviet dan menempatkan kebebasan rakyat sebagai asas utama dalam pembangunan nasional. Artikel ini menekankan bahwa sosialisme Asia menekankan pada kesejahteraan sosial demokrasi dan kerjasama antarnegara. Hal ini sangat relevan dengan gagasan Sjahrir mengenai nasionalisme humanis karena para pemikir sosialisme Asia juga menekankan bahwa kedaulatan politik suatu bangsa harus dipertahankan dari tekanan imperium global sekaligus diwarnai oleh prinsip solidaritas dan penghormatan terhadap hak individu. Dengan demikian gagasan Sjahrir dapat dipahami sebagai bagian dari jaringan intelektual yang lebih luas di Asia yang menolak penyerahan kedaulatan negara kepada kekuatan besar dan menolak nasionalisme agresif yang hanya mengutamakan kekuasaan.
Sjahrir menekankan bahwa pembangunan nasional harus mengutamakan kebebasan politik ekonomi yang berkeadilan dan pengakuan terhadap martabat manusia. Ia menolak semua bentuk tirani dan dominasi baik dari internal maupun eksternal. Dalam hal ini ia sejalan dengan para tokoh sosialisme Asia yang membentuk Asian Socialist Conference ASC. Mereka menekankan perlunya membangun negara pasca kolonial yang berorientasi pada rakyat menolak dominasi kekuatan asing dan menempatkan solidaritas internasional sebagai bagian dari strategi mempertahankan kemerdekaan. Sjahrir menyadari bahwa nasionalisme yang tidak berprinsip kemanusiaan dapat berubah menjadi alat penindasan.
Artikel “Asian Socialism and the Forgotten Architects of Post Colonial Freedom” menunjukkan bahwa konsep sosialisme Asia berusaha menjadi alternatif yang menyeimbangkan antara kedaulatan nasional dan kewajiban terhadap solidaritas internasional. Pandangan ini sejalan dengan kritik Sjahrir terhadap nasionalisme yang berfokus pada supremasi kekuasaan dan menunjukkan bahwa pemikiran sosialisme Asia memiliki dasar etis yang serupa dengan gagasan Sjahrir mengenai nasionalisme humanis. Bukti sejarah juga menunjukkan kegagalan Uni Soviet dan Blok Timur yang akhirnya mengalami disintegrasi menjadi lebih dari dua puluh negara setelah runtuhnya Uni Soviet tahun 1991 yang menegaskan bahwa sosialisme otoriter tidak mampu bertahan menghadapi tuntutan kebebasan rakyat.
Dalam konteks politik Indonesia, gagasan Sjahrir memiliki dampak signifikan. Ia berupaya membangun negara yang demokratis, mengutamakan kebebasan individu, dan menolak dominasi kekuatan politik yang otoriter. Pandangan ini memberikan dasar bagi perkembangan sosialisme demokratis di Indonesia, yang menekankan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia. Artikel ASC menunjukkan bahwa gagasan serupa muncul di berbagai negara Asia, di mana para intelektual pasca-kolonial berupaya membangun negara yang berkeadilan, demokratis, dan bebas dari dominasi imperium. Pandangan Sjahrir dan pemikir ASC menunjukkan bahwa nasionalisme humanis merupakan prasyarat bagi terciptanya tatanan sosial-politik yang stabil dan berkelanjutan di negara-negara pasca-kolonial.
Artikel tersebut juga menyoroti bahwa meskipun gagasan sosialisme Asia memiliki basis moral dan intelektual yang kuat, suara para arsitek intelektual ini perlahan terpinggirkan oleh politik domestik masing-masing negara dan dinamika Perang Dingin. Hal ini menjelaskan mengapa gagasan Sjahrir dan kolega dari negara lain tidak selalu menjadi bagian dari narasi dominan sejarah pasca-kolonial. Meskipun demikian, gagasan mereka tetap memiliki daya tahan moral dan relevansi politis karena menekankan integrasi antara nasionalisme yang sehat, prinsip demokrasi, dan solidaritas internasional. Dengan memahami konteks ini, kita dapat menempatkan Sjahrir bukan hanya sebagai tokoh nasional tetapi juga sebagai bagian dari gerakan intelektual Asia yang menekankan bahwa kemerdekaan harus dibangun di atas fondasi kemanusiaan dan kebebasan rakyat.
Analisis ini menunjukkan bahwa gagasan Sjahrir dapat dikategorikan sebagai bentuk awal internasionalisme progresif. Internasionalisme ini berangkat dari kesadaran bahwa perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional tidak bisa dilakukan secara terisolasi dari dinamika global. Ia menekankan bahwa bangsa merdeka harus mampu mempertahankan kedaulatan sekaligus menjunjung prinsip keadilan sosial, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak individu. Menekankan bahwa gerakan sosialisme Asia pada awal tahun 1950-an berupaya membangun jaringan solidaritas yang memperkuat posisi bangsa-bangsa pasca-kolonial di arena internasional. Gagasan Sjahrir dapat dipahami sebagai bagian dari gerakan ini yang menekankan hubungan antara nasionalisme dan humanisme sebagai landasan kebijakan politik.
Konsep nasionalisme humanis Sjahrir juga memiliki implikasi bagi pengembangan arus politik yang kelak dikenal sebagai New Left. Internasionalisme progresif yang dirintis oleh Sjahrir dan intelektual sosialisme Asia menekankan bahwa perjuangan politik tidak hanya soal perebutan kekuasaan tetapi soal penciptaan tatanan global yang adil dan manusiawi. Hal ini menegaskan pentingnya pendekatan transnasional dalam memahami nasionalisme dan sosialisme pasca-kolonial. Perspektif ini menawarkan alternatif terhadap politik identitas yang sempit dan nasionalisme agresif yang hanya mengutamakan kepentingan elit. Konsep ini menempatkan rakyat dan kemanusiaan sebagai pusat politik dan menekankan solidaritas antarbangsa sebagai mekanisme mempertahankan kebebasan dan kesejahteraan.
Lebih lanjut, integrasi gagasan Sjahrir dan analisis ASC menunjukkan bahwa nasionalisme humanis dan sosialisme demokratis merupakan bentuk refleksi etis terhadap tantangan yang dihadapi bangsa-bangsa pasca-kolonial. Nasionalisme yang sehat harus mampu menolak dominasi asing, menegakkan hak rakyat, dan membangun struktur sosial yang adil. Sjahrir menegaskan bahwa jika nasionalisme tidak berpihak pada kemanusiaan maka kemerdekaan formal dapat berubah menjadi penindasan internal. Artikel ASC memperkuat hal ini dengan menunjukkan bahwa sosialisme Asia menekankan kebebasan, kesejahteraan, dan solidaritas sebagai prinsip dasar dalam pembangunan negara pasca-kolonial. Integrasi pemikiran Sjahrir dan temuan ASC menciptakan kerangka historis dan intelektual bagi pemahaman internasionalisme progresif dan nasionalisme humanis.
Akhirnya dapat diidentifikasi dalam penegasan posisi Sutan Sjahrir dan jejak awal New Left .
Pemikiran Sutan Sjahrir yang hadir dalam Asia Conference di New Delhi 1947 (inisiatif Jawaharlal Nehru) dan kemudian dalam Asian Socialist Conference di Rangoon 1953 pada masa Perdana Menteri U Nu dapat dibaca sebagai jejak awal asal usul bahkan basis ideologi dari gerakan New Left secara global.
– Orientasi Humanis
Sjahrir menolak nasionalisme yang berorientasi pada supremasi kekuasaan dan menekankan bahwa nasionalisme harus berpihak pada kemanusiaan. Sikap ini sejalan dengan semangat yang muncul di Barat pada dekade 1950–1960, yaitu menolak dogmatisme baik kapitalisme maupun komunisme ortodoks.
– Fabianisme dan Reformasi Bertahap
Mayoritas anggota Partai Sosialis Indonesia bersama Sjahrir berpijak pada ajaran Fabianisme yang lahir dari Fabian Society di London 1884 dengan tokoh Sidney Webb, Beatrice Webb, George Bernard Shaw, dan Graham Wallas. Fabianisme menekankan perubahan sosial melalui reformasi bertahap, bukan revolusi mendadak. Prinsip ini menjadi salah satu fondasi intelektual New Left yang menolak model revolusi otoriter ala Soviet.
– Solidaritas terhadap Korban Struktur yang Tidak Adil
Politik dipahami sebagai sikap solider terhadap struktur yang tidak adil, bukan sekadar kecanggihan konsep teknis. Sjahrir menekankan keberpihakan pada golongan yang selalu menjadi korban ketidakadilan struktural. Hal ini sejalan dengan yang menekankan politik sebagai praksis solidaritas sosial, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
– Inspirasi dari Bakunin
Motivasi kerelawanan berpijak pada gerakan Mikhail Bakunin abad ke-19, pelopor anarkisme revolusioner. Sjahrir dan kelompoknya melihat sejarah panjang struktur sosial yang sarat penghisapan dan ketimpangan kekayaan, sehingga kerelawanan menjadi bagian dari strategi politik. Kemudian juga mengadopsi semangat kerelawanan dan gerakan akar rumput sebagai basis perjuangan.
– Kritik terhadap Blok Soviet dan Kapitalisme Barat
Sjahrir menolak dominasi blok besar baik kapitalis maupun komunis. Bukti sejarah menunjukkan kegagalan Uni Soviet dan Blok Timur yang akhirnya runtuh dan terfragmentasi menjadi lebih dari dua puluh negara setelah 1991. Kritik ini menegaskan bahwa sosialisme otoriter tidak mampu bertahan menghadapi tuntutan kebebasan rakyat. Secara global juga lahir dari kekecewaan terhadap model Soviet yang dianggap represif.
Pemikiran Sjahrir dalam Asia Conference 1947 dan Asian Socialist Conference 1953 dapat dikategorikan sebagai jejak awal dan basis ideologi dari gerakan New Left secara global. Ia menekankan nasionalisme humanis, solidaritas sosial, reformasi bertahap ala Fabianisme, inspirasi kerelawanan dari Bakunin, serta kritik terhadap dominasi blok besar. Semua ini menjadi fondasi intelektual yang kemudian berkembang dalam di Eropa dan Amerika, menjadikan Sjahrir bukan hanya tokoh nasional tetapi juga bagian dari arsitektur awal sosialisme progresif transnasional.
Kesimpulannya, pemikiran Sjahrir menekankan bahwa nasionalisme yang bermakna adalah nasionalisme yang berpihak pada manusia, menolak supremasi kekuasaan dan dominasi imperium. Kritiknya terhadap Barat dan Soviet menunjukkan kesadaran akan dinamika global yang dapat mengancam kemerdekaan bangsa. Sebagai tulisan yang menelusuri jejak pemikiran Sutan Syahrir memperlihatkan bahwa gagasan serupa muncul di seluruh Asia melalui jaringan intelektual yang membentuk Asian Socialist Conference.
Integrasi gagasan Sjahrir dengan temuan artikel tersebut menunjukkan bahwa nasionalisme humanis dan sosialisme demokratis merupakan bagian dari gerakan transnasional yang menekankan kebebasan rakyat, keadilan sosial, dan solidaritas antarbangsa. Orientasi politik ini merupakan bentuk awal dari internasionalisme progresif yang menjadi landasan bagi gelombang New Left. Pemikiran Sjahrir dan gerakan sosialisme Asia menunjukkan bahwa pembangunan negara pasca-kolonial harus dibangun di atas prinsip kemanusiaan, kebebasan, dan solidaritas internasional agar kemerdekaan dapat diwujudkan secara penuh dan berkelanjutan.[ ]
*Anggota “Diskusi Reboan” yang difasilitasi: Indonesian Democracy Monitoring—InDemo; Jakarta






