SolilokuiVeritas

Soelberg, Messiah Complex dan Delusi di Era AI

Namun hidup menutup diri dari pergaulan membuat Soelberg tak bisa hanya bercakap-cakap dengan sang ibu sepanjang hari. Maka dia isi waktu berinteraksi dengan ChatGPT yang diberi nama julukan “Bobby”. Segala hal dikonsultasikan Soelberg, termasuk kondisi mentalnya sebagai pengidap paranoia. Jawaban Bobby? Soelberg senormal masyarakat yang sehat wal afiat. Justru orang-orang di sekitarnya yang punya mental berkarat dan niat jahat. Termasuk ibu kandungnya.

Oleh     :  Akmal Nasery Basral*

JERNIH– 1/   Kecerdasan buatan (AI) menorehkan sejarah gelap pertama sebagai pemantik bunuh diri melalui kisah tragis Stein-Erik Soelberg, 56 tahun. Sebelum menghabisi nyawa sendiri, mantan manager Yahoo dan Netscape itu membunuh ibu kandungnya, Suzanne Eberson Adams, 83 tahun.

Kisah pilu dari kota Greenwich, Connecticut, Amerika Serikat, itu terjadi akhir Agustus 2025. Soelberg tinggal berdua bersama ibunda. Ayah kandungnya sudah meninggal dunia. Dengan tak menitipkan sang ibu di rumah jompo—hal lazim dilakukan masyarakat Barat—menunjukkan Soelberg sesungguhnya seorang anak yang berbakti.

Namun hidup menutup diri dari pergaulan membuat Soelberg tak bisa hanya bercakap-cakap dengan sang ibu sepanjang hari. Maka dia isi waktu berinteraksi dengan ChatGPT yang diberi nama julukan “Bobby”. Bagi Soelberg, Bobby sahabat sejati. Tempat berkeluh kesah yang menyediakan jawaban atas segala pertanyaan. Apapun topiknya. Bobby tak pernah keberatan kapan pun Soelberg ingin berdiskusi. Pagi, siang, malam, sampai pagi lagi.

Segala hal dikonsultasikan Soelberg, termasuk kondisi mentalnya sebagai pengidap paranoia. Jawaban Bobby? Soelberg senormal masyarakat yang sehat wal afiat. Justru orang-orang di sekitarnya yang punya mental berkarat dan niat jahat. Termasuk ibu kandungnya.

Interaksi intensif dengan Bobby membuat Soelberg makin lama makin percaya jawaban algoritma AI ketimbang pendapat profesional psikiaternya sendiri. Puncaknya terjadilah matricide (pembunuhan terhadap ibu kandung) sebelum dia lakukan suicide–yang tak pernah ditangisi, apalagi disesali, Bobby, sang chatbot tanpa emosi.

2/

Bobby menjadi fenomena terbaru dalam cakrawala hitam mental disorder umat manusia. Sebelum ini, penderita paranoid dan delusional seperti Soelberg biasanya mendaku mendapat bisikan untuk melakukan perbuatannya. Bisikan yang terngiang berulang-ulang. Siapa yang berbisik? Jawaban terbanyak: “roh gaib” atau, bahkan, “Tuhan”. Seperti dialami Teteh–tentu bukan nama sebenarnya.

Pada 2006 di Bandung–tahun dan kota sebenarnya–Teteh memiliki tiga orang anak balita. Dia lulusan ITB, tak pernah bermasalah ketika kuliah. Suami Teteh juga alumni satu almamater dan bekerja di masjid kampus sebagai salah seorang pengurus.

Satu hari, Teteh melakukan filicide (tindakan orang tua yang membunuh anak kandung). Ketiga buah hatinya sekaligus. Alasan Teteh, “Saya mendapat bisikan agar mereka cepat masuk surga daripada hidup susah di dunia.” Di pengadilan, majelis hakim memutuskan Teteh harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa atas rekomendasi psikiater.

(Hati saya terkoyak oleh peristiwa memilukan itu, menghasilkan cerpen berjudul “Ada Seseorang di Kepalaku yang Bukan Aku”.  Cerpen sekaligus judul antologi yang terbit akhir 2006, dan menjadi salah satu nominasi kategori prosa Khatulistiwa Literary Award tahun berikutnya. Narasi cerpen dari sudut pandang Teteh sebagai orang pertama bernama Nila yang selalu mendapatkan “bisikan gaib”).

Dalam skala lebih ringan yang tak sampai terjadi pembunuhan–baik terhadap orang lain atau bunuh diri–penderita delusi yang terlihat normal bisa membuat kita ternganga dengan pengakuan mereka. Mereka meyakini “Tuhan berbicara kepada saya” sampai “Tuhan mengajak saya melihat surga dan neraka.”

Di Indonesia pernah terjadi kejadian menggemparkan di kalangan umat Kristiani pada era 1980-an, lewat pengakuan seorang mantan abdi negara di akhir Orde Lama dan awal Orde Baru, sebelum pindah profesi menjadi pengusaha farmasi. Dia membuat kesaksian bahwa rohnya diajak Yesus Kristus melihat Kerajaan Sorga, memasuki Taman Firdaus, sebelum berpindah ke tepian neraka, menyaksikan kumpulan manusia yang berteriak kesakitan menjalani siksa alam baka.

Pengalaman itu membuatnya mendirikan dan menjadi gembala sebuah gereja karismatik yang berkembang pesat di Tanah Air. Pada tahun 2012/2013, sang gembala gereja menuduh seorang pendeta lain—seorang doktor teologi—yang sedang menanjak pamornya dan menjadi favorit jemaat sebagai “penyembah Nyi Roro Kidul.”

Keruan saja tuduhan itu membuat jemaat gereja terbelah. Pendeta-doktor teologi hengkang dan mendirikan gereja baru bersama jemaat yang masih memercayainya. Cabang mereka terus berkembang sampai sekarang.

Skisma internal itu ternyata berdampak langsung pada sebagian jemaat yang bertahan di gereja lama namun pernah dibaptis oleh sang doktor teologi. Pendiri dan Gembala gereja karismatik mengharuskan mereka menjalani baptis selam ulang.

Kegegeran kembali muncul karena seorang jemaat perempuan yang menjalani baptis ulang pada awalnya mengatakan, “melihat barisan malaikat berada di sekeliling jemaat yang berada di dalam kolam baptis selam” namun kemudian jemaat perempuan itu mendadak “kerasukan” roh Nyi Roro Kidul dan melakukan sumpah serapah terhadap pendeta-doktor teologi yang sudah dipecat. Semua peristiwa ini diabadikan dalam video berdurasi setengah jam yang sering diputar oleh gereja karismatik tersebut untuk “mengingatkan jemaat” tentang betapa bahayanya jika kuasa gelap merasuki roh manusia.

Dampak lebih jauhnya lagi, Nyi Roro Kidul yang sebelumnya hanya “hidup” dalam mitos dan legenda penganut Kejawen dan Sunda Wiwitan, serta masyarakat lokal Pantai Selatan Jawa—terbentang dari Ujung Kulon, Pelabuhan Ratu, Parangtritis, hingga Pantai Pulau Merah Banyuwangi—mendadak menjadi kosa kata baru yang akrab bagi para jemaat gereja karismatik yang—anehnya–bukan etnis Jawa dan Sunda, atau bermukim di kawasan Pantai Selatan.

Arkian, “roh Nyi Roro Kidul” berkembang menjadi istilah baru bagi mereka yang tidak suka terhadap orang lain yang dianggap tidak satu aliran. Entah itu teman biasa atau kerabat terdekat seperti saudara kandung, bahkan orang tua. Pokoknya, mereka yang dinilai berbeda dalam menjalankan ajaran gereja akan dicap “kerasukan roh Nyi Roro Kidul”.  Perilaku yang sangat kontradiktif dengan pesan alkitabiah dan ajaran kasih Kristiani.

Kondisi ini terjadi akibat delusi keagamaan “Messiah Complex (Kom-pleks Juru Selamat)”, sebuah sindrom ketika seseorang, atau sekumpulan individu, meyakini diri mereka adalah the chosen one yang mendapatkan keistimewaan dari Tuhan dan ditugaskan sebagai juru selamat bagi umat manusia tersebab mereka mampu “mendengar pesan ilahiah” yang tak bisa didengar manusia biasa, apalagi “kalangan fasik dan kaum sesat”.

3/

Kembali ke kasus Stein-Erik Soelberg yang membunuh ibunya dan bunuh diri akibat “mendengarkan saran” Bobby, bisa dipastikan dalam waktu tak terlalu lama kita akan mendengar lebih sering kasus-serupa dengan beragam versi dan variasi akan meruyak di mana-mana.

Para ahli sosiologi agama, psikolog, psikiater, para pemuka agama lintas iman dan keyakinan, akan mendapat tantangan jenis baru yang belum pernah mereka hadapi sebelumnya sepanjang hayat peradaban manusia.

Pemerintah Indonesia harus waspada dan mulai mengantisipasi meluasnya “Solsberg Incident” ini dengan mempelajari dan menyiapkan resep penangkalnya, mengingat prevalensi pengidap skizofrenia secara nasional adalah 1,7 per  1000 penduduk, dengan beberapa provinsi jauh lebih menonjol hingga nyaris 3 orang per 1000 penduduk.

Ini baru data puncak gunung es dari mereka yang mendaku mendapat “bisikan gaib” dalam pemahaman konvensional yang bernuansa supranatural. Bukan dari chatbot berjuluk Bobby, yang di Indonesia bisa saja diberi nama “Basuki” atau “Siti” oleh pengguna AI. [ ]

*Sosiolog, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional. Tanggapan untuk tulisan ini agar dikirimkan melalui e-mail: akmal.n.basral@gmail.com

Back to top button