SolilokuiVeritas

Lulusan S3 dan Perbaikan Sistem Tata Kelola

Sayangnya memang di Indonesia sering tidak berkorelasi baik. Semakin banyak lulusan S3, tidak membuat indeks pembangunan manusianya meningkat bermakna. Angka stunting katanya menurun. namun sulit dipercaya karena intervensi pemerintah. Soalnya KPK sedang menyelidiki mega-korupsi di Kemenkes terkait pemberian makanan tambahan (PMT) untuk bayi dan balita sebagai upaya penanganan stunting.

Oleh     :   Rizky Adriansyah*

JERNIH– Menarik, pidato Presiden Prabowo di Bogor, pada 29 September 2025. “Begitu banyak Menteri lulusan S3, kalau tidak bisa perbaiki sistem, kelewatan,” kata Presiden.

Saya tidak mau berspekulasi, apakah Pak Prabowo hanya menyindir para menteri saja, atau pernyataan itu seyogyanya untuk seluruh lulusan S3. Bahasa para politisi lebih sering cepat berubah. Kalau kemarin hamburger, besok lusa tahu-tempe. Sedangkan saya hanya seorang akademisi, menganalisis suatu pernyataan yang logis sebagai bukti yang harus dipertanggungjawabkan.

Sebagai akademisi, saya belum mengikuti pendidikan S3, tapi gelar saya adalah dokter sub spesialis/konsultan, dulu disetarakan dengan lulusan S3. Kebijakan ini berubah-ubah. Sekarang, walaupun sudah bergelar dokter sub spesialis/konsultan, semua pendidik tetap diwajibkan menyelesaikan pendidikan S3/doktor. Aah, sudahlah, bagi saya, apakah dia bergelar doktor atau dokter sub spesialis, sejatinya dia harus bisa semakin banyak berbuat baik buat masyarakat, bangsa, dan negaranya. Atau seperti nasehat Pak Presiden Prabowo, seorang lulusan S3 harus terlibat aktif dalam perbaikan sistem sehingga rakyat kita bisa lebih cerdas, lebih sehat sejahtera, serta lebih merasakan keadilan dan kemakmuran.

Tanggung jawab moral lulusan S3 atau bergelar doktor bukan kepada prestasi dan prestise individual. Disertasinya harus berkontribusi bagi kemaslahatan umat. Tidak plagiat. Bahasa awamnya, tidak menyontek atau tidak menjiplak. Memang sangat bagus, jika pejabat kita itu lulusan S3 atau bergelar doktor. Namun jangan dibalik, karena ingin punya jabatan yang menggiurkan, lalu bernafsu ingin punya gelar doktor. Kata guru saya, belajarlah dari padi, semakin berisi, semakin menunduk, dan padi itu nanti jadi beras, beras jadi nasi, lalu nasi memberikan kehidupan.

Sayangnya memang di Indonesia sering tidak berkorelasi baik. Semakin banyak lulusan S3, tidak membuat indeks pembangunan manusianya meningkat bermakna. Angka stunting katanya menurun. namun sulit dipercaya karena intervensi pemerintah. Soalnya KPK sedang menyelidiki mega-korupsi di Kemenkes terkait pemberian makanan tambahan (PMT) untuk bayi dan balita sebagai upaya penanganan stunting.

Begitu juga masalah tata kelola pemberian Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan akar penyebab anak-anak mengalami keracunan, padahal banyak ahli gizi lulusan S3 di Indonesia. Seyogyanya ahli gizi lulusan S3 ini terlibat aktif dalam perbaikan tata kelola MBG.

Kembali ke soal lulusan S3 atau gelar doktor. Di sektor pendidikan tinggi, untuk jabatan-jabatan di kampus, syaratnya harus minimal lektor dan bergelar S3. Bahkan banyak profesor. Ini bagus, jadilah bagian yang terpenting dalam perbaikan sistem tata kelola perguruan tinggi kita. Kewenangan rektor tidak seluas menteri. Namun para rektor dan dekan, yang notabene adalah lulusan S3, harus lebih mampu memperbaiki sistem pendidikan tinggi di negara kita.

Begitu juga di sektor pelayanan kesehatan. Jabatan direktur rumah sakit, sekarang ini banyak yang lulusan S3 atau doktor di bidang kedokteran. Tanggung jawab etiknya adalah bukan menghasilkan keuntungan finansial bagi rumah sakit. Jangan samakan rumah sakit dengan bank atau korporat. Tidak ada gunanya bangunan megah dan alat-alat kesehatan yang canggih, jika rakyat masih banyak yang sakit, anak-anak masih banyak yang gizi buruk, dan akses layanan kesehatan masih sulit dijangkau.

Seorang direktur rumah sakit bergelar doktor, harus memastikan sistem tata kelola rumah sakit memberikan dampak nyata bagi peningkatan mutu layanan kesehatan, dan akhirnya berkontribusi bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat kita.

Di sektor pemerintahan. Seperti kata Pak Prabowo, lulusan S3 semakin banyak. Tidak hanya menteri-menteri, tapi juga gubernur, bupati, dan walikota. Gelar doktor sebagai tolok ukur keteladanan juga. Gelar yang banyak, harus sesuai dengan sikap dan perilaku kepemimpinannya. Mohon maaf, jika pejabat pemerintahan yang lulusan S3 itu tidak bisa memperbaiki sistem tata kelola pemerintahan (good governance), seharusnya yang malu juga almamaternya.

Di negara-negara maju, kalau terjadi kesalahan dalam menjalankan sistem tata kelola, mereka mundur dari jabatannya. Anehnya di Indonesia, seperti kata Pak Prabowo, bangsa ini “terlalu baik”, pejabat cukup minta maaf saja, namun tak mau melepaskan jabatannya.

Sebagai penutup, lulusan S3 harus menjadi pencetak sejarah bagi generasi penerus masa depan. Tidak peduli apakah lulusan S3-nya itu dari luar negeri atau dalam negeri. Era society 5.0 adalah suatu keniscayaan. Tantangan ke depannya adalah sejauh mana para lulusan S3, apalagi yang diberikan amanah jabatan di pemerintahan, menjadi “aktor perubahan”?

Ataukah nanti menjadi orang yang akan dilupakan oleh anak cucu kita?. Yang jelas saat ini, untuk mendapatkan data dan informasi saja, generasi muda kita lebih percaya artificial intelligence (AI) daripada bertanya kepada guru atau dosen yang lulusan S3. Wallahu ‘alam. [ ]

* Penulis adalah dokter, dosen di Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara (USU)

Back to top button