Sepanjang tahun 2024, media massa melaporkan terjadi enam kali tawuran yang melibatkan senjata tajam dan bom molotov. Tawuran terakhir terjadi persis dini hari setelah tahun baru 2025. Seorang warga tewas tersabet sajam dan motor yang hangus dilalap api dari ledakan bom molotov. Namun di dalam Masjid Al Falah, yang berada di rubanah, kegentingan situasi sama sekali tak terasa. Sebaliknya yang muncul suasana damai dari dominasi warna hijau putih interior.
Oleh : Akmal Nasery Basral*
1/
Sepotong suara melengking bening. “ Mugunghwa kkoci pieot seumnida.” Sebaris kalimat yang terjemahan bebasnya “bunga kembang sepatu mekar” itu mampu menarik perhatian saya mencari sumber suara: seorang bocah lelaki berumur sekitar 5-6 tahun yang berjongkok dan menutup mata.
Belum habis rasa terkejut saya, terdengar derap langkah berdentam-dentam yang membuat arah pandangan mata saya beralih ke arah berlawanan. Serombongan anak lelaki, mungkin 8-9 orang jumlahnya, datang berhamburan. Namun ketika bocah lelaki pertama membuka mata dan membalikkan tubuhnya ke arah mereka, kumpulan anak lelaki tersebut langsung mematung dalam bermacam pose.
Ahai, Squid Game Effect!. Inilah permainan anak-anak Korea Selatan yang sedang mendunia setelah muncul dalam serial televisi beraroma dystopian survival thriller show di kanal Netflix pada era pandemi, dan memasuki musim tayang kedua pada Desember lalu.
Bagi saya permainan ini tidak asing. Pada novel saya Sabai Sunwoo (MCL Publisher, 2022) yang mengisahkan perjalanan hidup seorang model peranakan Korea – Minang, permainan “bunga kembang sepatu mekar” ini juga saya kisahkan sebagai permainan masa kecil Sabai saat masih tinggal di Seoul.
Saat saya kecil pada era 1970-an, juga sering melakukan permainan tradisional ini bersama teman-teman di kawasan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Hanya saja kalimat yang kami ucapkan waktu itu adalah “1, 2, 3, jadi patung!” Di negara-negara dengan bahasa Inggris, permainan anak-anak ini dikenal sebagai “Red Light, Green Light”.
Kali ini yang membuat saya tercengang adalah tersebab para bocah melakukannya di dalam ruang utama masjid! Padahal sebagian jamaah masih berbuka puasa ayyamul bidh dan sebagian lainnya tenggelam dalam zikir atau tadarus Al Qur’an yang tartil. Namun mereka–para jamaah senior itu–tampak tidak terusik apalagi marah-marah terhadap para bocah.
Untuk memahami situasinya lebih lengkap, saya ajak para pembaca mundur sejenak mengarungi aliran waktu yang menggeriap.
2/
Rabu, 15 Januari 2025–bertepatan 15 Rajab 1446 H—kemarin adalah hari terakhir puasa ayyamul bidh, puasa tengah bulan Hijriyah setiap tanggal 13, 14, 15. Usai satu urusan, saya singgah sekitar 10 menit sebelum azan salat maghrib berkumandang di Masjid Al Falah. Lokasinya di rubanah (basement) Tower F Apartemen Bassura City, yang terletak 500 meter di sebelah timur terminal bus Kampung Melayu.
Bassura adalah singkatan dari nama Jenderal Basuki Rahmat, jalan utama yang terbentang di depan apartemen. Di sampingnya ada Pasar Gembrong, “surga” mainan anak-anak. Kawasan ini juga punya problem sosial yang akut: tawuran antarwarga. Sepanjang tahun 2024, media massa melaporkan terjadi enam kali tawuran yang melibatkan senjata tajam dan bom molotov. Tawuran terakhir terjadi persis dini hari setelah tahun baru 2025. Seorang warga tewas tersabet sajam dan motor yang hangus dilalap api dari ledakan bom molotov.
Namun di dalam Masjid Al Falah, yang berada di rubanah, kegentingan situasi sama sekali tak terasa. Sebaliknya yang muncul suasana damai dari dominasi warna hijau putih interior. Dinding depan sebelah kiri tempat imam dihiasi kaligrafi dari firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 102, dan dinding kanan dengan tulisan besar “Al Falah Bassura City: Mulia dengan Memuliakan”.
Usai saya melakukan salat tahiyatul masjid terdengar pengumuman pengurus DKM, “Bagi jamaah yang melakukan puasa ayyamul bidh silakan berbuka puasa bersama di bagian belakang ruangan ini,” ujarnya. Saya tolehkan kepala dan melihat sejumlah jamaah duduk saling berhadapan dipisahkan lembaran plastik panjang yang penuh makanan. Saya bergabung. Awalnya dengan ragu, namun sambutan ramah jamaah lain membuat keraguan hilang dengan cepat.
Di atas hamparan plastik terhidang takjil bubur kacang hijau dalam mangkuk plastik, buah potong (semangka, jambu biji, jeruk baby mandarin), cemilan gorengan (bakwan, cireng, tahu, tempe), dan tentu saja, kurma sukari, menemani air mineral gelas dan teh manis panas. Setelah itu datang makanan utama: nasi kotak dalam kotak dengan merek sebuah restoran Padang terkenal dan mahal. Isinya rendang hitam, sambel goreng kentang ati, sayur daun pakis, pisang, dan nasi putih. (Karena jarak waktu antara azan sampai salat maghrib hanya beberapa menit, maka menu utama disantap usai maghrib berjamaah
Saat menyantap takjil pembatal puasa, seorang pengurus dengan rambut gondrong sepundak bernama Agus memperkenalkan saya dengan seorang jamaah Timur Tengah yang duduk di dekat kami. Postur dan wajahnya tipikal pemeran Ibnu Sina (Avessina), Ibnu Rusyd (Averroes) atau ulama-cendekiawan karismatis abad pertengahan lainnya di film-film berbahasa Arab atau Turki. Kulit putih bersih, dan sering tersenyum. “Beliau seorang dokter gigi yang juga hafiz Qur’an,” ujar Agus.
Kami berkenalan. Sang dokter gigi ternyata berasal dari kota Homs, yang terletak sekitar 160 km di utara Damaskus. Beliau sudah dua tahun berada di Indonesia. Di dekatnya ada dua orang anak berwajah Timur Tengah juga. Namun penampilan mereka berbeda dengan sang dokter gigi karena kedua anak berkulit gelap dan berambut ikal. Ternyata memang tak ada kekerabatan antara anak itu dan sang dokter gigi yang hafiz.
Percakapan kami tak lama karena kemudian terdengar iqamat yang menandakan salat maghrib segera dimulai. Usai salat, buka puasa dengan menu utama masakan Padang dilanjutkan. Saat itulah saya mendengar lengking riang para bocah meneriakkan, “ mugunghwa kkoci pieot seumnida.”
Beberapa anak Indonesia dan Timur Tengah, berada di ruang masjid di sebuah rubanah, memainkan permainan rakyat Korea yang sedang viral melalui kanal video-on-demand over-the-top streaming. Bukankah ini sebuah contoh globalisasi yang sempurna?
3/
Sikap pengurus masjid terhadap kehadiran anak-anak masih belum seragam. Ada yang bisa menerima keriuhan para bocah seperti di Masjid Al Falah, namun tak sedikit juga pengurus yang bersikap ketat dan melarang ruang utama ibadah dijadikan tempat bermain mereka.
Saya tak ingin masuk ke wilayah perbedaan yang sudah berabad-abad ini dalam tradisi komunitas muslim, karena saya sedang ingin menyoroti fenomena lain yang lebih membetot perhatian sebagai seorang yang menjalani pendidikan ilmu sosiologi: komunitas horisontal vs komunitas vertikal.
Komunitas horisontal ( horizontal community ) adalah bentuk masyarakat konvensional yang tinggal di dalam rumah, yang satu sama lain bersebelahan dinding, meski bisa juga ada jarak antarrumah. Namun prinsipnya berada dalam ketinggian yang relatif sama. Sedangkan komunitas vertikal ( vertical community ) adalah bentuk masyarakat yang bermukim dalam bangunan tinggi seperti apartemen, kondominium, atau variasi sederhana dalam masyarakat Indonesia adalah rumah susun.
Saya tidak punya pengalaman sebagai anggota komunitas vertikal karena belum pernah bermukim di apartemen atau rumah susun. Pengalaman salat di masjid yang berada di rubanah pun biasanya hanya saat mengikuti salat Jumat di perkantoran atau pusat pertokoan yang menempatkan masjid di basement. Maka, komunitas jamaah yang terbentuk pun bersifat sangat cair karena datang dan pergi.
Namun pengalaman singkat merasakan berinteraksi dengan jamaah Masjid Al Falah memberikan bukan saja pengalaman berbeda kepada saya, juga perspektif lain. Ternyata aktivitas warga apartemen sebagai komunitas vertikal juga tak kalah aktif dibandingkan komunitas horisontal.
Ketua DKM Masjid Al Falah, Johan, misalnya, mengatakan kepada saya bahwa dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadan, mereka akan menggelar buka puasa bersama untuk segala jenis puasa sunnah. Bukan hanya Senin-Kamis, juga ayyamul bidh. Sementara bagi yang tidak berpuasa, setiap hari disediakan teh dan kopi gratis, selain air mineral galon, yang bisa dikonsumsi setiap saat. Belakangan ini, memang semakin banyak masjid (dalam struktur komunitas horisontal) yang juga memberikan layanan gratis ini kepada jamaah.
Saya tidak tahu persis apakah keaktifan jamaah Masjid Al Falah juga mencerminkan keaktifan masjid-masjid apartemen lainnya, atau Al Falah merupakan sebuah contoh outlier dari struktur komunitas vertikal. Namun dalam keterbatasan data, saya menduga jika bisa terjadi di Apartemen Bassura City, mengapa tidak bisa terjadi di apartemen lainnya di seantero negeri? Terutama di lingkungan apartemen yang banyak dihuni warga muslim.
Maka, sambil terus menikmati permainan “bunga kembang sepatu mekar” yang terus berlanjut sampai jelang salat Isya, saya bersyukur “menemukan” adanya masjid bawah tanah (dalam arti sebenarnya berdasarkan lokasi fisik, bukan kiasan) yang menjadi melting pot bagi jamaah warga lokal dan asing, serta menautkan jamaah senior dan anak-anak secara guyub, hangat, serta ramah terhadap para musafir yang sedang mampir–seperti saya.
“Lain kali kalau Bapak sedang ada urusan ke Bassura, mampir saja ke sini,” ujar Agus setelah mengetahui saya tinggal di Cibubur. “Kami senang bisa memuliakan para jamaah,” lanjutnya. “Sebab itulah filosofi masjid Al Falah, mulia dengan memuliakan.”
Usai salat Isya, saya tinggalkan masjid di rubanah ini dengan membawa banyak kenangan indah tentang denyut dakwah dalam struktur komunitas vertikal yang renyah. []
16 Januari 2025
*Sosiolog, penulis 25 judul buku dan novel. Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional.