Statsiun KA Madinah : Saksi Mati Revolusi Arab
Bangsa Arab yang ikut memerangi Turki, atas nama nasionalisme, gigit jari. Para tokoh mereka, putra-putra Syarif Hussen, seperti Faisal dan Abdullah, hanya diberi kedudukan sebagai “raja” di bawah pengawasan Inggris dan Prancis.
Oleh : Usep Romli H.M.
Sebuah bangunan besar, megah dan kokoh, bercat kuning kecoklatan dan garis-garis hitam, berdiri tegak di kawasan Anbariyah, Madinah, sekitar satu km sebelah barat laut Masjid Nabawi.
Itulah statsiun kereta api Madinah, yang menjadi saksi mati “Revolusi Arab”.
Statsiun yang dibangun abad 19 oleh Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), dari Dinasti Utsmani Turki (1282-1924),direncanakan sebagai pusat jaringan kereta api kawasan Jazirah Arab, mulai Hejaz di bagian barat dan utara, yang meliputi Mekkah dan Madinah, hingga Nejed di bagian timur dan selatan, yang meliputi Riyadh, Dahran dan daerah kaya minyak lainnya. Pemerintah Turki Utsmani menamai nya “Hijaz Railway.
Pada Perang Dunia I (1914-1918), Turki bergabung dengan Jerman dan Austria, melawan Sekutu yang terdiri dari Inggris, Perancis, dan negara-negara Eropa Barat lainnya, serta Amerika Serikat. Turki menanggung risiko paling berat dan merugikan akibat kekalahan mereka dalam perang yang mulai menggunakan senjata api moderen itu. Semua wilayah jajahannya dirampas oleh negara-negara pemenang atau langsung memerdekakan diri.
Semula Turki merasa punya kekuatan hebat di Timur Tengah. Ternyata bangsa Arab yang sedang menggelorakan nasionalisme, membelot. Bahkan memberi dukungan penuh kepada Inggris berkat jasa seorang perwira intelejen Inggris, Thomas Edward Lawrence (1888-1935). TE Lawrence yang sudah “menjelma” menjadi Arab tulen dalam segala hal, berhasil menjalin persahabatan dengan Gu-bernur Turki di Hejaz, Syarif Hussein. Sehingga Arab membenci Turki dan pro- Inggris sepenuhnya. Syarif Hussein, gubernur Turki di Hejaz, yang menjadi salah seorang penggerak “Revolusi Arab”, menyediakan pasukan perang dari kalangan prajurit-prajurit Baduwi yang dipimpin Faisal, putra Syarif Hussein sendiri.
Dalam buku memoarnya yang termashur,“Seven Pillars of Wisdom” (1925), Law-rence mengisahkan kehebatan pasukan Baduwi menghancurkan sarana-sarana militer Turki, seperti gudang mesiu, jembatan, markas militer, dll. Terutama sekali jalan kereta-api “Hijaz Railway” Damaskus-Madinah. Ia juga mengisahkan semangat penuh kengerian tatkala mengerahkan seribu pasukan unta menuju Aqaba, pelabuhan ekonomi terpenting milik Turki di Laut Arab. Juga ketika me-nyerang Damaskus sebagai pusat komando militer tertinggi Turki di seluruh Arab.
Sebagai akibat kekalahan perang, Turki menderita paling parah. Bekas wilayah kekuasaan Utsmaniyah di Timur Tengah,menjadi bancakan Inggris dan Prancis. Selain memperoleh kawasan kaya minyak Irak, Kuwait dan negara-negara Teluk lain, Inggris juga memperoleh Palestina. Sehingga amat mudah mewujudkan pelaksanaan “Deklarasi Balfour” (1917) buatan Menlu Inggris Lord Balfour, yang mengizinkan warga Yahudi masuk Palestina, untuk selanjutnya mendirikan Negara Zionis Israel (1948). Sedangkan Prancis membagi-bagi Siria Raya menjadi negara-negara kecil Jordania, Libanon dan Suriah.
Bangsa Arab yang ikut memerangi Turki, atas nama nasionalisme, gigit jari. Para tokoh mereka, putra-putra Syarif Hussen, seperti Faisal dan Abdullah, hanya diberi kedudukan sebagai “raja” di bawah pengawasan Inggris dan Prancis.
Lawrence sukses membawa bangsa Arab meruntuhkan Turki di Timur Tengah. Bahkan menyemai bibit “revolusi” yang gampang tumbuh subur setiap saat di setiap jengkal bumi Arab, mulai dari Afrika Utara hingga ke Teluk Persia, hingga kini. Tapi gagal memenuhi janji memberikan Palestina—yang nota bene “jajahan” Turki sejak abad 16–kepada bangsa Arab. Karena wilayah itu oleh Inggris bersama konspirasi Barat, diberikan kepada Zionis Yahudi, untuk dijadikan Negara Israel (14 Mei 1948).
Harapan dan kebaikan Lawrence, baik yang tertuang dalam “Seven Pillars of Wisdom”, maupun “Revolt in the Dessert” (1927), hanya terlacak dalam kata-kata dan kalimat-kalimat saja. Tidak terwujud dalam kenyataan. Malah menjadi sumber konflik tiada henti di dunia internasonal, dan “duri dalam daging” Timur Tengah. [ ]