POTPOURRI

Cerita Pendek : Terang Bulan di Limbangan

Anak-anak seusia Wenny sudah tak akan tahu lagi undur-undur. Di Limbangan, dan perkampungan sekitarnya, sudah tak ada lagi rumah panggung berkolong. Di situ tempat undur-undur berlubang.

Oleh   : Usep Romli H.M.

Lama, betapa lama, melupakan bulan. Sejak hidup di kota, yang setiap malam senantiasa benderang. Langit terhalang gedung-gedung tinggi menjulang. Sibuk dengan berbagai acara penting dan tak penting.Tak membuka kesempatan sejenak menatap bulan.

Hanya di Limbangan, tanah kelahiran, bulan selalu ada. Angkasa masih dapat ditatap leluasa. Dan bulan sejak terbit selengkung sisir, hingga terbenam selengkung sabit, dapat terus diperhatikan. Apalagi jika sudah sebesar tampah. Membulat sempurna. Bercahaya. Di atas hamparan awan tipis, setentang ubun-ubun.

Tepat di suatu malam purnama, di tanah kelahiran, aku disambut kebeningan suasana tanpa beban. Memang demikian yang senantiasa ditemukan tatkala merebahkan diri di situ. Menelusuri jejak-jejak masa kanak-kanak, dan remaja, enam puluhan tahun lampau,

Bulan di langit Limbangan masih tetap seperti sedia kala. Masih seperti yang suka disoraki anak-anak dengan gembira :

                         Bulan tok, bulan tok

                         Aya bulan sagede batok

Hanya kini tak ada lagi suara ceria anak-anak bermain bersama bulan, Anak-anak sudah jarang turun ke halaman. Mungkin karena tak ada lagi halaman luas, tempat leluasa berlarian. Sudah terdesak oleh bangunan-bangunan rumah yang terus bertambah. Dan mereka lebih asyik dengan menonton TV dan main gadget. Tak perlu memperhatikan bulan seterang apapun.

Limbangan pernah mengucurkan tangisan darah. Dirusak gangguan keamanan bersenjata selama  13 tahun. Setiap malam diserang gerombolan pengacau. Rumah-rumah dibakar, harta benda dirampas. Nyawa dipergasa.

Oleh pihak tentara dicuriga. Diduga kerja sama dengan gerombolan. Hilang  kebeningan malam. Sirna keceriaan siang.

Tatkala datang masa aman, disambut riang gembira segenap warga. Bulan kembali bersinar benderang. Suara syahdu kecapi mengiringi ketenangan malam. Suara karinding mendenting. Menyentuh kalbu yang menemukan rasa khusyu.

Sejak itu segala berubah. Sekalipun Limbangan tetap punya bulan.

Hingga menjelang dini hari, masih juga ramai. Lampu berbinar. Memantulkan cahaya gairah terpendam . Suara gitar dan nyanyi sember dari kumpulan anak-anak remaja di sisi jalan. Suara musik berdentum dari radio dan televisi di rumah-rumah. Warung-warung tempat makan minum, sudah dinamai kafe, pub dan entah apalagi. Berjajar di setiap kelokan.

Pertanda pengaruh zaman.  Iseng-iseng aku masuk ke sebuah kafe yang pintunya terbuka lebar. Menanyakan jenis-jenis minuman yang kugemari. Yang serba asli dan sederhana.

Seorang pelayan mendekati. Mengangsurkan daftar menu.

“Nggak ada bandrek, bajigur, katimus, rebus singkong?” mencoba bertanya, walaupun dalam daftar menu sudah jelas tak tertera.

“Nggak ada, Pak.”

“Cuma segini ?”menunjuk nama-nama menu yang tersedia. Mie baso, batagor, nasi goreng, mie kocok. Minumannya botolan semua. Mulai dari  minuman ringan hingga bir.

Akhirnya pesan mie baso seporsi, dan teh  pahit segelas. Pikiran dan perasaan menolak keras. Buat apa datang ke Limbangan, masih makan makanan yang banyak tersedia di kota?

“Biarlah, hitung-hitung sukuran. Mumpung ada kesempatan jakan-jalan malam di tanah kelahiran,”hati mencoba memadamkan protes pikiran dan perasaan.

Ada suara batuk tertahan di sudut agak gelap. Dipandang agak lama-lama. Ternyata seorang gadis belia. Duduk menyendiri. Menghadapi sebotol bir berisi setengah.

“Korek !” ia berteriak. Mungkin karena merasa diperhatikan orang. Seorang pelayan mendatanginya. Memberikan korek gas. Segera diambil dan dinyalakan.  Menyulut sebatang rokok yang sudah terselip di bibirnya. Menyedotnya dan menghembuskan asap diikuti suara mengeluh.

“Kok seperti susah?” tanya pelayan.

“Ya begitulah”ia menjawab seenaknya. Mengembuskan asap. Mengangkat gelas. Meneguk isinya hingga habis.

Penasaran kutanya : “Neng asli orang sini ?”

“Asli, Pak. Mengapa ?”

“Ah sekedar ingin tahu saja?”

Ya, sekedar ingin tahu saja. Di kota kecil, yang masih ada terang bulan, ada gadis remaja duduk menyendiri saat tengah malam. Walaupun tak perlu heran juga. Pada abad global serba cepat dan ketat, keadaan semacam itu tak perlu dipersoalkan.

Dicoba diajak duduk bersanding semeja, ia setuju. Duduk di sebelah. Waktu bersalaman, tercium bau parfum menusuk hidung. Cantik memang. Dandanan serasi. Ngota. Dua puluhan kira-kira. Ada semacam lubang kecil di pipi kiri kanannya.

“Wenny,”ia memperkenalkan diri.

Ngobrol singkat-singkat. Tak karuan yang dibicarakan. Mukanya agak memerah. Pengaruh alkohol. Kempot pipinya semakin tampak.

Tiba-tiba muncul kenangan lama, lima puluhan tahun lampau. Ibarat berkelebatan di liang kempot pipi Wenny. Tampak bayangan wajah Armilah, pacar masa pubertasku. Mungkin akibat suasana remang malam dan  pancaran muram bulan di langit dinihari.

Seolah tergelar saat-saat memuaskan dahaga khayal remaja bersama Armilah. Berduaan duduk-duduk di sisi sungai Cimanuk. Di bawah keteduhan pohon kopo dan keriuhan suara burung-burung kecil mematuki buah kecil berwarna hitam itu. Setangkai bunga dadap cangkring merah merona, hanyut di bawa arus pelan air lubuk.

Hampir tak pernah ada obrolan melajur. Lebih sering membungkan. Merasakan gairah terpendam yang tak tahu bagaimana melampiaskannya. Hanya jariku pelan, mengusap pipinya kiri kanan. Mempermainkan lubang kempot dengan lembut campur gemas.

“Jadi Wenny orang sini asli?” kucoba bertanya. Sekedar ingin menghapus kenangan lama yang begitu lekat mendekap.

“Asli. Bokap dan nyokap orang sini, “jawabnya disertai senyum. Semakin menampak-kan sepasang kempot pipinya. Penuh daya tarik.

“Kempot pada pipi Wenny turunan dari siapa? Bokap, nyokap?”

“Ada deh….”Wennyi menutup pipinya dengan kedua tangannya, Matanya mendelik. Namun mulutnya kelihatan menahan senyum.

“Bagai lubang undur-undur….”kataku lagi.

“Apa undur-undur ?”Wenny menampakkan keheranan.

O, ya lupa.  Anak-anak seusia Wenny sudah tak akan tahu lagi undur-undur. Di Limbangan, dan perkampungan sekitarnya, sudah tak ada lagi rumah panggung berkolong. Di situ tempat undur-undur berlubang. Semua rumah sudah bangunan tembok semua.

“Jadi kempot itu dari bokap atau nyokap?”

“Bukan. Dari almarhuman nenekku. Beliau wafat tiga tahun lalu…”

“Oh, nenek Wenny pipinya kempot juga ?”

“Ya. Bahkan lebih kempot lagi.  Wenny sering mengusap-usapnya jika sedang bercanda.”

“Siapa nama nenek Wenny itu?”

“Nenek Armilah. Apa Oom kenal ?”

Lampu padam tiba-tiba. Aliran, istilahnya. Tinggal cahaya bulan, yang sudah condong ke barat, menerangi teras warung. Pelayan segera menyalakan beberapa buah lilin.

Jika listrik tak padam, Wenny mungkin akan melihat wajahku mendadak pucat. Badan gemetar. Dan mulut mengucap pelan. Menyebut nama Armilah. Mendo’akannya agar ia mendapat layak di alam keabadian.

Listrik kembali menyala. Wenny tampak terkejut. Melihat wajahku.

“Oom sakit ?”

Aku menggeleng.

“Kalau sakit, mari pulang ke rumah Wenny. Tak ada siapa-siapa. Bokap dan nyokap sedang bepergian, “Wenny setengah berbisik. Hangat napasnya menyentuh daun telinga. Dan masih bau alkohol.

Tadinya memang berniat mengajak ngobrol lama dengan Wenny. Di warung ini atau di tempat lain. Namun mendengar nama Armilah, niat itu langsung lenyap.

“Terimakasih. Oom mau pulang saja, “aku bangkit. Menjawil pipinya sedikit dan menyisipkan beberapa lembar uang ke tangannya. Lalu menuju tempat kasir. Membayar. “Lain kali saja,ya.”

Bulan masih mengembang. Bulan di langit Limbangan. Seperti mengejek diriku, sebagaimana dulu aku dan kawan-kawan menyorakinya. Mungkin ia tahu, dulu aku mencintai Armilah. Dan sekarang hampir-hampir terseret oleh cucunya.

Terang bulan di Limbangan. Selamat tinggal. [  ]     

Back to top button