Bagaimana bisa seseorang yang kedatangannya selalu disambut luar biasa di setiap daerah, dengan massa menyemut dalam jumlah sedikitnya puluhan ribu, senantiasa pula kalah dalam survei-survei yang digelar? Benar, Anies Baswedan. Di tiga momen terakhir, Makassar 25 September 2023, Malang 8 Oktober, dan Sidoarjo pada 15 Oktober, jumlah massa yang hadir konon merambah angka ratusan ribu, bahkan juta. Jawa Pos pada 15 Oktober itu memilih judul artikelnya, “Jutaan Massa di Sidoarjo Jalan Sehat Bareng Anies dan Cak Imin, Makin Mantap Hadirkan Perubahan”…
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–Setiap kali kalangan (sok) intelek menyangsikan sebuah hasil survei, polling atau sejenisnya, biasanya kuotasi lama dari Perdana Menteri Inggris pada masanya, Benjamin Disraeli, ini akan muncul ke permukaan. “There are three types of lies—lies, damn lies, and statistics.”
Alhasil, sejak lama statistika dan produk-produk terkait dengannya seperti survei, polling, dan aneka nama lainnya, kadang disangsikan. Sebenarnya bukan (ilmu) statistikanya, melainkan lebih kepada pihak yang memainkan dan bagaimana ilmu itu dimainkan. Persis seperti manakala Jenderal Abdul Haris Nasution bilang,”Not the gun, but the man behind the gun.”
Hari-hari ini, ketika negeri ini menjelang pesta besar rakyat bernama Pemilihan Umum–baik Pileg dan apalagi Pilpres, ketika lembaga survei kembali kebanjiran ‘order’, di antara gemuruh sipongang lembaga-lembaga itu menyuarakan hasil survei mereka, kembali kita mendengar bermunculannya suara kesangsian.
Umumnya mereka mempertanyakan, bagaimana bisa seseorang yang kedatangannya selalu disambut luar biasa di setiap daerah, dengan massa menyemut dalam jumlah sedikitnya puluhan ribu, senantiasa pula kalah dalam survei-survei yang digelar? Benar, Anies Baswedan. Di tiga momen terakhir, Makassar 25 September 2023, Malang 8 Oktober, dan Sidoarjo pada 15 Oktober, jumlah massa yang hadir bahkan “ceuk sakaol” (konon) merambah angka ratusan ribu, bahkan juta. Menurut Jawa Pos, 15 Oktober, massa yang ikut dalam acara yang semula bertajuk “jalan santai” itu mencapai angka jutaan, membuat mereka tak bisa berjalan laiknya langkah manusia normal. “Jutaan Massa di Sidoarjo Jalan Sehat Bareng Anies dan Cak Imin, Makin Mantap Hadirkan Perubahan”, itu judul yang Jawa Pos angkat. Memang, ada sedikit nada promosi pada tajuk tersebut. Mungkin saja karena reporternya tergolong jenis wartawan yang gampang terpukau.
Namun lihatlah angka elektabilitas Anies. Hampir semua lembaga survei mendudukkan Anies pada posisi buncit di antara ketiga Bacapres yang ada. Pada survei mutakhir yang digelar lembaga survei Poltracking Indonesia dalam rentang 25 September hingga 1 Oktober 2023, elektabilitas Anies tertinggal jauh. Prabowo Subianto mencatatkan elektabilitas 40,6 persen Ganjar Pranowo 38,2 persen, sementara Anies jadi pecundang pada angka 13,6 persen.
Survei terbaru Polling Institute, yang dilakukan pada 1 hingga 3 Oktober, menghasilkan angka yang sami mawon dalam arti. Elektabilitas jawara tua Prabowo berada pada posisi teratas dengan 36,5 persen. Ganjar yang nyaris semua acara yang digelarnya adem ayem kekurangan peserta mencatatkan 31,2 persen. Elektabilitas Anies kembali “elek”, yakni di angka 18,7 persen.
Seakan bersipongang saling menguatkan, survei terbaru versi Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC), juga dijuarai Prabowo. Ketua umum partai Gerindra itu disebut meraih elektabilitas 39,3 persen, kali ini Anies disebut meraih 25, 5 persen, dan Ganjar 17,7 persen, angka yang sama dengan kalangan bingung yang menjawab “tidak tahu”.
Begitu pula hasil survei lembaga survei Poltracking. Institusi pimpinan Hanta Yuda itu memberikan mahkota kepada Prabowo yang meraih elektabilitas 38,9 persen, Ganjar 37 persen, dan Anies yang setia jadi juru kunci pada angka 19,9 persen.
Yang paling aktual adalah survei LSI. Peneliti LSI Djayadi Hanan memaparkan, hasil survei yang digelar 2-8 Oktober 2023 itu mencatat Prabowo kembali unggul di angka 37 persen, Ganjar Pranowo di 35,2 persen. Sementara Anies Baswedan paling buncit, yakni pada 22,7 persen.
*
Anies sendiri tampaknya woles-woles saja dengan angka-angka itu. Usai berdialog dengan warga di salah satu kafe di Purwakarta, awal Oktober lalu, Anies akhirnya mengomentari hal tersebut. “Kami menghormati mereka yang menyelenggarakan survei. Kami memiliki optimisme yang tinggi, apalagi kami merasakan apa yang terjadi di masyarakat. Jadi kami paham, mereka perlu mencari nafkah,” kata Anies.
Tetapi tak urung perbedaan angka hasil survei dengan realitas yang dilihat rakyat di lapangan itu pun memunculkan syak wasangka. Mungkinkah lembaga-lembaga survei telah berbohong?
Bisa ya, mungkin pula tidak. Namun peluang tersebut bukan tidak ada, kalau tak bisa dikatakan begitu terbuka. Ada sebuah buku yang sangat laris di paruh kedua abad 20, bercerita tentang statistik, “How to Lie with Statistics” (1954), tulisan Darrell Huff. Meski bukan seorang ahli statistika dan “hanya” seorang jurnalis, buku itu tak hanya laris terjual jutaan copy pada masanya, melainkan juga menjadi buku tentang statistika yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah. Bahkan, pada 1960-an dan 1970-an, buku ini menjadi buku teks standar pengantar statistika bagi mahasiswa di barat.
Kalau memang ada “dusta di antara kita”, tidakkah dengan begitu kita bisa bilang bahwa saat ini telah berkembang sikap Machiavellian dalan kehidupan kita? Atau mungkin para ahli survei itu tiba-tiba menjadi kaum nihilis yang bilang bahwa karena hidup tak berarti apa-apa, hidup pun sekaligus boleh melakukan apa-apa. Semua boleh dilakukan atas nama tidak berartinya hidup.
“Kadang-kadang,”kata Machiavelli, sang penulis “Il Principe” yang sering dikaitkan sebagai buku manual para tiran dan diktator itu,”kata harus jadi tabir beragam fakta.” Jelas, Machiavelli memang menghalalkan tipu daya. Dusta, bagi mereka tak lain senjata bagi setiap perang dan sengketa. Segera kita pun teringat Menteri Propaganda Nazi Jerman, Joseph Goebbels di era Hitler,”Jika Anda berbohong besar dan terus mengulanginya, orang-orang pada akhirnya akan mempercayainya. Kebenaran adalah musuh bebuyutan kebohongan, dan dengan demikian, kebenaran adalah musuh terbesar negara.”
*
Tetapi kalau Anies bisa memaklumi dengan bilang,” Jadi kami paham, mereka perlu mencari nafkah”, kalimat itu tentu hanya boleh ia ucapkan manakala dirinya masih “bukan siapa-siapa”. Sesegera ia menjadi penerima amanah rakyat, ia tak bisa lagi menoleransi praktik kebohongan—bila ada—yang dilakukan telanjang dengan korban sekian banyak warga. Ia harus menghentikan praktik culas itu, bila memang ada.
Apa pun hujjah-nya–bahkan kalau pun mengatakan bahwa kita kini telah berada di era Post-Truth yang penuh dusta dan fitnah–kebohongan, apalagi yang mengorbankan publik, harus dimusnahkan. Nurani kita seharusnya masih sanggup untuk mempertanyakan mereka yang bilang bahwa dalam post-truth era, kebenaran sudah tak relevan lagi dalam komunikasi. Umumnya, mereka ini kalangan yang menjadikan kesedihan Ralph Keyes, pengarang “The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life” saat berkata, “Kita hidup di sebuah lingkungan yang tak punya cukup penangkal bagi kecenderungan kita mengelabui orang lain”, sekadar kalimat tanpa hati. Sebaliknya, kita masih sadar bahwa para pendiri bangsa memimpikan negara ideal itu lebih seperti “baldatun toyyibatun wa Robbun ghafur”. Bukan hanya komunitas besar nation-state yang kenyang makan dan cukup sandang-papan. Kebenaran, bagaimanapun tetaplah harus menjadi matahari dan penerang kemana bangsa harus melangkah.
Bila ada kilah bahwa semua itu wajar di era profesionalisme yang pragmatis, kita juga jadi perlu bertanya, apakah pragmatisme itu tak lain sekadar eufimisme dari “keharusan dan kesediaan untuk main curang”?
Sementara di Barat sana, pada sekitar masa pra-Malaise, pernah berlangsung ‘gerakan pembasmian’ pragmatisme. Pragmatisme, filsafat yang diawali pertengahan paruh kedua abad 19 oleh William James, John Dewey dkk itu memang tak kekurangan pengecam, karena seolah “menolak moralitas yang universal, dan menggantikannya dengan ukuran lain”. Pragmatisme, menurut pengecam yang sangat sohor kemudian, Julien Benda, seperti menggariskan bahwa “kemauan manusia baru bernilai moral sepanjang itu kemauan untuk power (kekuatan, kekuasaan)”.
Julien Benda, lewat bukunya yang bergaung kencang sampai ke era anak-anak milenials bahkan generasi Z, “La Trahison des Clercs” atau “Pengkhianatan Kaum Intelektual“, melaknat fakta manakala moralitas ditekuk-tekuk seenaknya hanya buat kepentingan sesaat, sementara para cendekiawan tak hanya menutup mata dan pura-pura tidur, melainkan juga menceburkan diri ke dalam praktik degil, yakni pemujaan terhadap aktivitas praktis demi keuntungan (materi) tersebut.
Lebih jauh, Benda bahkan mengkritik para cendikiawan jenis itu sebagai “… spesies yang menyebabkan Socrates dan Yesus Kristus mati.”
Sebenarnya, bagi cendikiawan kita, teguran terhadap kemungkinan salah langkah itu tak harus menengok peradaban sebelah. Dari khazanah tamadun Islam sendiri wanti-wanti itu sudah ada. Teguran agar para ulama-cendikiawan tak menjadikan al-fulus sebagai prioritas tujuan aktivitas. Ada Abu Rayhan Ibn Ahmad al-Biruni (973-1048), yang menegur para intelektual agar menghindari pikiran over-pragmatisme itu. “Kita harus membersihkan pikiran kita,”kata Al-Biuni,”.. dari semua hal yang membutakan orang pada kebenaran, yakni adat lama, semangat kelompok, gairah dan persaingan pribadi, juga niat untuk berpengaruh.” Tak mudah (untuk) menjadi seorang cendikiawan, memang. [Inilah.com]